UU Keamanan Nasional Hong Kong Dianggap sebagai Ancaman bagi LSM

Amnesty International menutup kantornya yang telah berdiri selama 40 tahun di Hong Kong sejak 31 Oktober 2021. (REUTERS/Tyrone Siu).

UU keamanan nasional kontroversial yang mulai diberlakukan tahun lalu telah menimbulkan situasi tidak menyenangkan terhadap berbagai LSM di Hong Kong, termasuk bagi organisasi HAM.

Amnesty International menutup kantornya yang telah hadir selama 40 tahun di bekas koloni Inggris itu pada 31 Oktober. Ini merupakan keputusan yang disebut para pakar sebagai “pukulan lainnya terhadap situasi HAM” di Hong Kong.

Human Rights Watch juga meninggalkan Hong Kong setelah dihukum oleh Beijing sebagai pembalasan atas legislasi AS yang mendukung demonstran prodemokrasi Hong Kong pada tahun 2019, kata harian The New York Times.

Amnesty juga mengumumkan penutupan operasi regional lainnya untuk kegiatan riset, advokasi dan kampanye di Asia Timur, Asia Tenggara dan Pasifik pada akhir tahun ini.

BACA JUGA: Pemimpin Hong Kong Tolak Komentari Soal Visa Wartawan Australia

Anjhula Mya Singh Bais, ketua Dewan Internasional Amnesty, mengatakan dalam pernyataan 25 Oktober lalu bahwa “praktis mustahil” bagi mereka untuk bekerja “dengan bebas dan tanpa rasa takut akan pembalasan serius dari pemerintah” di bawah UU keamanan nasional itu.

“Penargetan baru-baru ini terhadap berbagai organisasi HAM lokal dan serikat pekerja mengisyaratkan ditingkatkannya kampanye pihak berwenang untuk membersihkan kota itu dari semua suara pembangkangan. Semakin sulit bagi kami untuk tetap beroperasi di dalam lingkungan yang tidak stabil seperti ini,” ujarnya.

Organisasi itu menuduh pihak berwenang menggunakan UU keamanan nasional itu “secara sewenang-wenang” untuk membatasi hak-hak asasi atas kebebasan mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

Sejak UU itu diberlakukan pada Juni tahun lalu, lebih dari 100 orang, termasuk politisi oposisi, aktivis prodemokrasi dan mahasiswa telah ditangkap atas tuduhan terorisme, menganjurkan pemisahan, berkolusi dengan kekuatan asing dan subversi.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dalam konferensi pers di Hong Kong, Selasa, 16 November 2021.

Akan tetapi pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam mempertanyakan kaitan antara UU itu serta hengkangnya Amnesty dan Human Rights Watch dari Hong Kong.

“Sejak diberlakukannya UU Keamanan Nasional, berbagai asosiasi dan individu telah menjelaskan atau menjustifikasi tindakan mereka berdasarkan UU tersebut, tetapi tidak ada yang dapat membuktikan bahwa inilah yang benar-benar menjadi alasan bagi mereka mengambil keputusan seperti itu,” katanya pada akhir Oktober. “Demikian pula saya tidak dapat mengomentari mengenai penjelasan yang diberikan sebuah organisasi mengenai keluarnya organisasi itu dari Hong Kong.”

Ia malah menegaskan pernyataan terdahulunya bahwa UU kontroversial itu dapat “menjaga hak-hak dan kebebasan” warga Hong Kong.

Anggota parlemen Inggris Andrew Rosindell mengatakan pada 15 November lalu bahwa Amnesty International telah menjadi “benteng dan penegak HAM, bahkan pada hari-hari terkelam” di Hong Kong.

BACA JUGA: UU tentang Lagu Kebangsaan di Sekolah Hong Kong Timbulkan Keprihatinan

Sementara itu dalam artikel 28 Oktober lalu, media pemerintah China Global Times menuduh Amnesty International “terkenal berperan dalam mencampuri urusan internal China” dan “menyulut berbagai gerakan revolusi” di Hong Kong. “Tidak ada ruang bagi organisasi-organisasi asing untuk terlibat dalam subversi melalui apa yang disebut nilai-nilai demokrasi dan HAM Barat,” lanjutnya.

Situasi HAM di kota itu telah memburuk, sejak Hong Kong menghadapi gerakan prodemokrasi terbesar pada tahun 2019, kata Angeli Watt, analis senior mengenai China, Hong Kong dan Taiwan di Freedom House. [uh/ab]