Seorang anak perempuan penyintas kekerasan seksual asal Bengkayang, Kalimantan Barat, Ade (bukan nama sebenarnya), mengapresiasi langkah DPR RI dan pemerintah dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang pada Selasa (12/4). Adanya UU tersebut diharapkan akan menghapus kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak Indonesia.
“Terima kasih bapak dan ibu anggota DPR dan dari lembaga-lembaga terkait lainnya yang telah mewakili suara anak dalam pengesahan undang-undang TPKS. Dan bagi para penyintas, jangan takut untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat sekalipun karena sudah ada perlindungan hukumnya,” ujar Ade dalam siaran pers Wahana Visi Indonesia (WVI) yang diterima VOA, Rabu (13/4).
Anak perempuan berusia 14 tahun itu berharap hadirnya UU TPKS dapat menciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual serta memberikan perlindungan bagi para penyintas agar berani melapor kepada pihak berwajib.
Jaminan Perlindungan Anak
Analis Kebijakan Publik Wahana Visi Indonesia, Lia Anggiasih, menjelaskan pengesahan UU TPKS ini merupakan momen bersejarah dalam upaya perlindungan anak terhadap kekerasan seksual di Tanah Air. Menurutnya, UU ini memberikan jaminan perlindungan cukup menyeluruh bagi anak. Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan, tetapi menjadi delik laporan.
“Selama ini penegak hukum mendasarkan pemeriksaan berdasar adanya aduan atau tidak, nantinya jika kontak seksual tersebut dilakukan terhadap anak atau kelompok disabilitas, aparat sudah bisa bergerak tanpa menunggu aduan,” ujar Lia.
Selain itu UU TPKS secara tegas mengatur tentang peniadaan persetujuan kontak seksual terhadap anak, pemaksaan perkawinan, dan dana bantuan korban. Ia juga berterima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang senantiasa menerima masukkan dari sejumlah pihak dan organisasi yang fokus pada isu anak terkait pasal-pasal dalam RUU TPKS.
BACA JUGA: Sejumlah Elemen Sesalkan Pengesahan RUU TPKS Tidak Perhatikan Hak DisabilitasNamun, Lia mengingatkan bahwa implementasi UU tetap perlu dikawal agar layanan perlindungan terhadap anak, terutama di daerah di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T) benar-benar efektif. Selama ini anak-anak di daerah 3T tersebut belum mendapatkan fasilitas dan pelayanan perlindungan anak yang memadai.
“Terutama Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di lingkup kepolisian, serta UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah -red) PPA yang masih sangat banyak belum terbentuk di kabupaten/kota. Kedua unit ini merupakan layanan terdepan. Demikian juga halnya dengan kesadaran lingkungan untuk segera merespon jika mengetahui ada kasus kontak seksual terhadap anak,” tegas Lia.
Harus Berani Bersuara
Secara terpisah, Ketua Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST), Soraya Sultan mengatakan hadirnya UU TPKS akan memastikan penanganan kasus kekerasan seksual dapat memberikan efek jera terhadap pelaku. Selama ini penyelesaian kasus kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual yang banyak terjadi di hunian sementara atau huntara di Kota Palu, dikategorikan sebagai tindak pidana ringan dengan hukuman yang ringan.
Hunian sementara merupakan tempat tinggal sementara bagi warga penyintas bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi, 28 September 2018.
“Misalnya kasus pengintipan, percobaan pemerkosaan, kejadiannya di kamp pengungsian, di huntara. Pengalaman selama ini, sebelum ada Undang-Undang TPKS, kalau korbannya dewasa, itu cuma kena misalnya pelecehan, itu tindak pidana ringan. Ancaman pidana uma pidana ringan. Bisa agak berat hukumannya kalau –korbannya- anak, tapi itu kita mesti pressure (memberi tekanan -red) juga,” kata Soraya Sultan kepada VOA, Sabtu (16/4).
Menurut Soraya, setelah UU tersebut disahkan, dibutuhkan upaya semua untuk pihak untuk menyosialisasikannya kepada masyarakat, khususnya pada kelompok rentan. Soraya menekankan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual harus berani bersuara karena dalam sejumlah kasus korban merasa malu melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.
“Tidak lagi seperti dulu-dulu, justru korban pemerkosaan yang malu melapor, pelakunya malah berkeliaran. Itu kejadian-kejadian sebelumnya begitu,” jelas Soraya.
Wujud Kehadiran Negara
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyebut UU TPKS sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, ,ewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual yang semakin marak di masyarakat sesungguhnya memiliki dampak serius bagi korban berupa penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, sosial hingga politik. Kekerasan seksual bisa mempengaruhi hidup korban dan masa depan korban,” kata Bintang Puspayoga dalam sidang Paripurna DPR RI, Selasa (12/4).
Your browser doesn’t support HTML5
Survei Kementerian PPPA yang dirilis Desember 2021 menunjukkan sepanjang tahun lalu sebanyak empat persen laki-laki berusia 13-17 tahun dan delapan persen perempuan berumur 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun.
Sedangkan tiga persen laki-laki berumur 13-17 tahun dan delapan persen berusia 13-17 tahun di pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun. [yl/ah]