Vatikan mengukuhkan, Kamis (29/9), pihaknya telah memberlakukan sanksi disipliner pada pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Uskup Carlos Ximenes Belo menyusul tuduhan bahwa ia melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki di Timor Leste pada 1990-an.
Pengakuan Vatikan datang sehari setelah sebuah majalah Belanda, De Groene Amsterdammer, membeberkan tudingan terhadap uskup Katolik yang dihormati itu, dengan mengutip dua orang yang diduga sebagai korban Belo. Menurut majalah itu, ada sejumlah korban lain yang belum melapor di Timor Leste, di mana gereja memiliki pengaruh yang sangat besar.
Melalui sebuah pernyataan, juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, mengatakan kantor yang menangani kasus pelecehan seksual menerima tuduhan “mengenai perilaku uskup itu'' pada 2019 dan dalam waktu satu tahun telah menjatuhkan sejumlah sanksi. Sanksi-sanksi itu termasuk membatasi gerak Belo, dan melarangnya menjalin kontak dengan anak di bawah umur.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa tindakan Vatikan itu bahkan telah “dimodifikasi dan diperkuat'' pada November 2021, dan bahwa Belo telah secara resmi menerima hukuman pada kedua kesempatan tersebut.
Namun, Vatikan tidak memberikan penjelasan mengapa Paus Yohanes Paulus II mengizinkan Belo mengundurkan diri sebagai kepala gereja di Timor Leste awal tahun 2002, dan mengirimnya ke Mozambik, tempat ia bekerja dengan anak-anak.
Berita tentang perilaku Belo mengejutkan masyarakat di negara Asia Tenggara yang mayoritas warganya Katolik dan miskin itu, di mana ia dianggap sebagai pahlawan karena memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.
"Kami di sini juga terkejut mendengar berita ini,'' kata seorang pejabat di Keuskupan Agung Dili di Timor Leste, Kamis, yang berbicara kepada Associated Press dengan syarat namanya dirahasiakan. Yang lain mengatakan mereka akan tetap mendukung Belo karena kontribusinya bagi negara dan perjuangannya untuk kemerdekaan.
“Kami menerima dan patuh pada setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Vatikan tentang tuduhan terhadap Uskup Carlos Ximenes Belo, apakah itu benar atau salah,'' kata Gregoriu Saldanha, yang memimpin Komite 12 November, sebuah organisasi pemuda yang didirikan setelah pembantaian di Santa Cruz selama pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Ia mengatakan pada konferensi pers di Dili bahwa “kami akan tetap mendukung Uskup Belo, karena kami menyadari, sebagai manusia, Belo memiliki kelemahan atau kesalahan seperti orang lain. Jika ia melakukan kesalahan, itu kesalahan pribadinya, tidak ada hubungannya dengan agama.''
Ia menambahkan bahwa ``Kita tidak bisa mengabaikan kebaikannya dan apa yang telah diperjuangkannya untuk rakyat Timor Leste. Belo adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan kita. Sebagai pemimpin gereja Katolik, ia telah memberikan dukungan dan solidaritas untuk perjuangan rakyat.''
De Groene Amsterdammer mengatakan dua tersangka korban Belo diidentifikasi hanya sebagai Paulo dan Roberto. Majalah itu mengatakan, hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa pelecehan yang dilakukan Belo diketahui oleh pemerintah Timor Leste dan para pekerja kemanusiaan dan gereja.
''Uskup itu memerkosa dan melecehkan saya secara seksual pada malam itu,'' kata Roberto seperti dikutip majalah itu. "Pagi-pagi sekali ia menyuruh saya pergi. Saya takut karena hari masih gelap. Jadi saya harus menunggu sebelum saya bisa pulang. Ia juga memberi saya uang. Itu dimaksudkan agar saya tutup mulut. Dan untuk memastikan saya akan kembali," lanjutnya.
Belo memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1996 bersama ikon kemerdekaan Timor Leste Jose Ramos-Horta karena mengampanyekan solusi yang adil dan damai untuk konflik di negara asal mereka sewaktu negara berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia. [ab/uh]