Kamera televisi menyoroti dari kejauhan sejumlah petugas kesehatan mengenakan pakaian hazmat biru dan putih, seperti di film-film sains fiksi Hollywood, hilir-mudik di pelabuhan Pulau Sebaru Kecil.
Mereka sibuk memeriksa puluhan kru warga negara Indonesia yang turun dari KRI Soeharso, pada 2 Maret lalu, setelah berhasil dievakuasi dari kapal pesiar "Diamond Princess" yang dibekap wabah virus corona di Yokohama, Jepang. Para kru WNI tampak seluruhnya mengenakan masker.
BACA JUGA: 21 Orang di Kapal Pesiar "Grand Princess" Positif CoronaEvakuasi kru WNI "Diamond Princess" adalah salah satu dari sekian banyak pemberitaan mengenai upaya pemerintah meredam wabah virus corona, yang menghiasi layar kaca selama berminggu-minggu.
Namun, di mata Nurkholis, warga Yogyakarta, pemberitaan itu justru menakutkan. Pemberitaan di televisi yang tiada henti, tidak banyak memberi edukasi bagaimana menghadapi virus itu sejak awal.
“Kalau saya melihatnya memang, antara mendidik sama menakutkan itu, lebih berat ke menakutkannya. Jadi, membuat situasi malah bikin makin panik bagi sebagian masyarakat yang menonton,” ujar Nurkholis.
Nurkholis mengaku makin jeri saat melihat di layar kaca seorang reporter televisi yang menggunakan masker respirator saat melakukan laporan langsung. Masker jenis ini biasa dipakai para pekerja bangunan atau dalam kondisi ancaman gas berbahaya.
Reporter tersebut menyampaikan laporan usai pengumuman Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tentang dua kasus pertama positif Virus Corona pada 2 Maret lalu. Dia memberi laporan langsung dari dekat rumah dua pasien virus corona pertama tersebut di perumahan tempat mereka tinggal di Depok, Jawa Barat. Baginya yang dilakukan jurnalis tersebut berlebihan.
“Dampak psikologis buat orang-orang yang cenderung punya sifat panik itu jadi malah ini. Faktanya, sekarang orang mencari masker saja susah karena diborong. Itu dampak yang kelihatan, di apotek itu sudah langka, masker itu,” lanjutnya.
Nurkholis berharap media menjadi sumber edukasi dan solusi bagi masyarakat dalam menghadapi Virus Corona. Misalnya, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki daya tahan tubuh, makanan yang sebaiknya dikonsumsi, atau tips sederhana lain semacam berjemur di pagi hari. Informasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk melawan kepanikan akibat informasi dari sumber-sumber tidak jelas.
Panduan dari AJI
Pemberitaan mengenai virus corona di Indonesia sudah muncul sejak wabah ini merebak di Wuhan, China. Pemulangan WNI dari kota itu dan upaya karantina mereka memperoleh porsi pemberitaan lebih banyak. Setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif pertama, berita virus corona di media Indonesia semakin melimpah.
Yang cukup memprihatinkan, identitas dua pasien positif corona bocor ke publik. Kawasan perumahan, bahkan kota Depok di mana keduanya tinggal tiba-tiba menjadi pusat pemberitaan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kemudian mengeluarkan panduan peliputan bagi media di Indonesia.
Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia dalam pernyataan resmi menyebut tiga panduan utama yang seyogyanya ditaati jurnalis. Pertama, media sepatutnya tidak membuka identitas terduga penderita corona sebagai upaya meminimalisasi bahaya dari pemberitaan media. AJI menilai, ada potensi korban mengalami penderitaan dan menghadapi bahaya, seperti perundungan atau diasingkan.
Kedua, menurut AJI, media perlu menonjolkan perannya mendidik publik, menjalankan fungsi kontrol sosial, dan bukan malah menakut-nakuti atau membuat publik lebih panik.
Your browser doesn’t support HTML5
Ketiga, media dan jurnalis perlu memiliki kesadaran meliput peristiwa wabah virus corona secara aman. Dalam peliputan, jurnalis perlu mengikuti saran ahli atau otoritas agar tidak ikut menjadi korban. Salah satu caranya adalah dengan memakai peralatan keamanan yang memadai, tetapi tidak berlebihan.
“Penggunaan alat keamanan hendaknya disesuaikan dengan tingkat bahayanya dan jangan tergoda untuk mendramatisir keadaan. Misalnya, cukuplah pakai masker kesehatan, tidak perlu memakai masker anti-gas air mata, saat membuat laporan secara live,” papar Abdul Manan.
Lebih Banyak Kehebohan
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito di Yogyakarta telah berupaya memberi edukasi tentang percegahan sejak awal kasus ini merebak di China, pada akhir Desember 2019. Namun, humas RSUP dr Sardjito, Banu Hermawan, menilai sebagian pemberitaan lebih menonjolkan kehebohan.
“Ada teman-teman media massa itu memberitakan masih sifatnya parsial-parsial atau potongan, dan itu diambil dari sisi berita yang paling menghebohkan,” ujar Banu kepada VOA.
Ada banyak sisi yang tidak digali lebih dalam oleh media tentang wabah virus corona untuk memberikan edukasi bagi masyarakat. Misalnya, bagaimana virus ini muncul dan penyebarannya. Media lebih berkonsentrasi pada kisah-kisah mengenai para korban. Padahal yang dibutuhkan sejak awal adalah pemahaman agar masyarakat bisa tenang dan tahu cara yang tepat untuk tidak tertular.
“Sejak corona beredar, itu kami sudah menegaskan, masker digunakan hanya untuk yang sakit. Tetapi masyarakat masih takut, bahwa itu airborne, penularan lewat udara. Sehingga semua masyarakat pakai masker,” ujar Banu.
Yang cukup memprihatinkan, kata Banu, masyarakat ternyata lebih percaya informasi hoaks yang disebarkan melalui media sosial atau aplikasi percakapan. Namun, ketika pihaknya memberikan informasi dan edukasi melalui media massa, respons masyarakat datar.
RSUP dr Sardjito sendiri beberapa kali menjadi korban hoaks. Misalnya, hoaks tentang tenaga kesehatan di rumah sakit itu yang tertular atau masuknya pasien virus corona. Hoaks-hoaks tersebut tentunya dibumbui narasi menakutkan. Akibatnya, jumlah kunjungan pasien rawat jalan dikabarkan sempat menurun.
Pihak rumah sakit, kata Banu, berkoordinasi dengan kepolisian untuk menekan jumlah hoaks itu. Selain itu, pihaknya juga terbuka mengonfirmasi informasi seputar virus corona dan selalu mencari rujukan ilmiah dari pakar di di rumah sakit.
Perlu Evaluasi Dewan Pers
Pakar komunikasi dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Lukas Ispandriarno, menilai ada media yang serius ingin memberikan informasi yang benar dan terverifikasi dan ada media yang tampak memanfaatkan isu virus corona untuk mendongkrak khalayak.
Media tipe kedua, kata Lukas, gemar menampilkan judul berita sensasional, yang mudah viral dan membuat kaget pembaca. Selain itu, mereka juga cenderung tidak berhati-hati atau kurang melakukan verifikasi ketika mengutip informasi.
“Dan itu itu sudah dilakukan sejak lama, oleh mereka. Perlu diperhatikan dan perlu diingatkan juga. Belum lagi misalnya, televisi yang reporternya memakai maskes respirator, itu kan keterlaluan. Dia itu mau apa, mau mencari simpati atau mau menimbulkan kepanikan, atau mau menentramkan,” kata Lukas.
Warganet yang ramai mengupas cara media melaporkan virus corona, kata Lukas, sebenarnya sudah menjadi kontrol terhadap kerja media. Namun, hal itu belum cukup. Menurut Lukas, pemerintah juga bisa menyatakan bahwa jenis pemberitaan semacam itu merugikan. Alasannya, komunikasi publik yang sudah diupayakan pemerintah, seolah dirusak oleh cara peliputan yang dilakukan sejumlah media.
Dewan Pers, lanjut Lukas, sudah bisa melakukan studi dalam beberapa hari terakhir media mana yang menyemai kepanikan dan mana yang serius memberikan edukasi pada masyarakat.
“Tantangan untuk menyajikan informasi secara cepat, itu harus didasari oleh disiplin verifikasi. Kalau tidak, ya lalu berlindung di balik kebebasan pers, tetapi sama sekali tidak ada tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Kalau masyarakat sudah panik, bagaimana tanggung jawab pers?” pungkas Lukas. [ns/uh]