Vonis bersalah untuk dua anggota polisi aktif yang melakukan penganiayaan terhadap jurnalis Surabaya, Nurhadi, diapresiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai upaya penegakan hukum terhadap Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, 12 Januari 2022 memutus bersalah dan menjatuhi hukuman penjara 10 bulan kepada dua anggota polisi aktif itu. Namun, AJI menilai hukuman itu masih jauh dari tuntutan jaksa, yaitu 1 tahun 6 bulan penjara.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Heizer, mengatakan vonis terhadap pelaku kekeraan terhadap jurnalis merupakan langkah maju penegakan hukum dengan menggunakan pasal pada Undang-Undang Pers, bukan dengan KUHP.
Pakar Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menyebut ada banyak kemajuan dalam penegakan hukum terkait Undang-Undang Pers pada sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Menurut Herlambang, vonis ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak dapat dibenarkan, dan hukum harus berpihak kepada korban yang menderita banyak kerugian.
BACA JUGA: Amnesty Indonesia: 297 Pembela HAM Menjadi Korban Serangan Sepanjang 2021“Perkembangan baiknya, bahwa kekerasan terhadap jurnalis itu tidak lagi bisa ditolerir, karena hakim di dalam argumen putusannya menegaskan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar di dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini menunjukkan kemajuan. Lebih dari itu adalah ketika ada pertimbangan keputusan menyebut kerugian-kerugian yang diderita, termasuk dampak yang dialami bagi jurnalis dan keluarganya, itu juga dihitung dimasukkan di dalam pertimbangan, dan menjadi bagian yang tak terpisah di amar putusan,” terang Herlambang.
Meski mengapresiasi adanya penegakan hukum, Eben Heizer menilai status terdakwa yang merupakan anggota polisi aktif sedianya memberatkan putusan hakim.
“Hakim rupanya tidak menjadikan status kedua terdakwa yang merupakan anggota Polri aktif itu sebagai hal yang memberatkan. Harusnya kalau kita berkaca pada upaya Kapolri untuk bersih-bersih institusi, bersih-bersih Polri, tindakan yang mereka lakukan ini juga sudah mencoreng nama baik Polri,” imbuh Eben.
Fatkhul Khoir, penasihat hukum Nurhadi, jurnalis Surabaya yang menjadi korban kekerasan, mengaku kecewa dengan putusan hakim yang tidak memerintahkan penahanan kepada terdakwa. Fatkhul Khoir, berharap jaksa mengajukan banding atas putusan hakim itu, karena hukuman yang dijatuhkan belum memenuhi asas keadilan bagi korban kekerasan.
“Hakim sempat memberikan pertimbangan yang meringankan, salah satunya bahwa terdakwa memang tidak pernah ditahan atau tidak pernah melakukan kriminal, saya kira itu tidak seharusnya terjadi. Kalau itu pelakunya adalah masyarakat biasa mungkin bisa kita maklumi, tapi ini kan pelakunya jelas-jelas aparat penegak hukum yang harusnya dia paham soal hukum, justru dia kemudian melanggar hukum,” kata Fatkhul Khoir.
Your browser doesn’t support HTML5
Herlambang yang merupakan pakar di Dewan Pers, berharap adanya komitmen politik hukum yang kuat dari aparat penegak hukum, untuk memberikan keadilan bagi jurnalis korban kekerasan, khususnya pada kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Tanah Air.
“Kasus serupa itu terjadi berulang, terus menerus di berbagai daerah, di Jawa-luar Jawa, bahkan seringkali sama sekali tidak ada proses hukum yang menyentuh kepada mereka yang seharusnya bisa dimintai pertanggung jawaban. Nah, tantangan ini saya kira harus disertai dengan komitmen politik hukum yang kuat dari aparat penegak hukum,” tandas Herlambang. [pr/em]