Kemarahan kaum Muslim terhadap video anti-Islam memperbarui debat mengenai kebebasan ekspresi dan memperlebar kesenjangan budaya.
Pada puncak kemarahan kaum Muslim baru-baru ini, salah satu imam terkenal memberitahu jemaatnya bahwa mereka sedang menyaksikan benturan peradaban-peradaban (clash of civilizations). Namun bukan jenis yang seperti Anda kira.
Benturan ini juga ada di dalam Islam, yang menjelaskan wajah ganda dalam kemarahan tersebut.
Kemarahan itu bersifat politis: Etos ekstremisme yang tidak dapat dikompromikan mencari celah melawan suara-suara yang lebih moderat. Ia juga bersifat sosial: Diumpani oleh kombinasi eksplosif dari stagnasi ekonomi, kemarahan atas perang-perang yang dipimpin AS dan, di beberapa tempat, rasa frustrasi akibat harapan yang menjulang atas kebangkitan dunia Arab yang terhantam realita untuk membangun kembali.
Semua hal ini mengarah pada pertanyaan-pertanyaan yang bergema di dunia yang sangat terkoneksikan sekarang ini: Bagaimana supaya dapat hidup berdampingan dengan keterbukaan dan kebebasan berbicara di Barat, dan apakah kekerasan merupakan respon yang sesuai.
“Cara kita protes seharusnya mencerminkan akal sehat dan logika,” ujar ulama asal Mesir Youssef al-Qaradawi dalam ceramah shalat Jumat di ibukota Qatar, Doha, tempat ia memiliki audiens dari seluruh dunia lewat Internet dan acara televisi di jaringan televisi Al-Jazeera.
Seruan-seruan semacam itu, yang banyak muncul dari para pemimpin dan cendekiawan Muslim pada seminggu terakhir, bersaing dengan seruan lain yang mengajak hal sebaliknya. Fraksi-fraksi politik dan ulama garis keras di dunia Muslim dengan cepat mencoba mengkapitalisasi apa yang dianggap sebagai penghinaan keimanan.
“Tidak diragukan lagi bahwa setiap Muslim pada titik tertentu merasa sangat terganggu dengan hinaan terhadap Nabi Muhammad, tapi berapa banyak yang telah melihat video dari film tersebut dan membuat keputusan? Sangat sedikit,” ujar Sami al-Faraj, direktur Pusat Studi Strategi Kuwait. “Dibutuhkan seseorang yang mengorganisir protes-protes tersebut dan mengontrol situasi.”
Situasi tersebut muncul dalam banyak bentuk.
Kelompok Islam ultra konservatif memimpin protes di negara-negara tempat kebangkitan Arab terjadi seperti Tunisia dan Mesir berupaya memamerkan kekuatan melawan kepemimpinan baru dan sekutu-sekutu Barat mereka. Dalam sebuah konflik persepsi, pemerintah Mesir baru yang didominasi kelompok Muslim Brotherhood menyerukan pasukan anti huru-hara untuk melindungi Kedutaan Besar AS melawan para demonstran yang mengklaim “membela” Islam.
Di Libya, para penyelidik AS sedang memeriksa apakah kelompok militan bersenjata menggunakan kemarahan terhadap film tersebut sebagai alat untuk meluncurkan serangan yang telah direncanakan sebelumnya terhadap Konsulat AS di Benghazi, yang membunuh duta besar dan tiga orang Amerika lainnya. Duta Besar AS untuk PBBB, Susan Rice, mengatakan pada Minggu (16/9) bahwa serangan tersebut tidak terkoordinasi dan direncanakan sebelumnya, namun banyak pihak yang menantang pandangan tersebut.
Para demonstran di Yaman mengutuk film tersebut, namun juga menyerukan penolakan terhadap kehadiran militer AS yang terus berlangsung, seperti serangan-serangan terhadap target-target yang dicurigai sebagai pemimpin-pemimpin al-Qaida.
“Jelas ada sikap anti-Amerikanisme yang laten hadir,” ujar Salman Shaikh, direktur lembaga The Brookings Doha di Qatar. “Tapi ini hanya sebuah bagian saja,” ujarnya. “Ini terutama tentang perjuangan jiwa negara-negara ini.”
Di negara-negara lain, dari Nigeria sampai Australia, ulama dan partai garis keras telah memobilisasis demonstrasi yang mengekspresikan kemarahan dan pesan terhadap musuh. Di Iran, demonstran diberi poster-poster yang mencela AS dalam protes-protes yang jelas-jelas diorganisir pemerintah.
Pada Minggu, koran-koran di Iran melaporkan bahwa sebuah yayasan agama telah meningkatkan jumlah hadiah untuk membunuh penulis Inggris Salman Rushdie dari US$2,8 juta menjadi $3,3 juta, sebagai respon atas dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad dalam novelnya “Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses).” Mantan pemimpin tertinggi Iran, almarhum Ayatollah Ruhollah Khomeini mengeluarkan fatwa mati atas Rushdie pada 1989, namun para pejabat Iran kemudian menjauhkan diri dari fatwa tersebut.
Sementara itu, kelompok protes di Bahrain menggunakan Twitter untuk mengorganisir demonstrasi, termasuk pembakaran bendera AS di negara yang menjadi tuan rumah armada Angkatan Laut AS. Partai-partai Islam konservatif di Pakistan mengirimkan SMS, mengumumkan di mesjid dan menelepon warga untuk mendorong demonstrasi, termasuk yang terdiri dari 1.000 orang di kota sebelah barat laut, Peshawar, pada Minggu.
“Kebebasan ekspresi macam apa yang melukai sentimen agama yang lain?” ujar Haider Gul, pemilik toko kelontong yang bergabung dalam protes anti-Amerika.
Pertanyaan tersebut tidak baru, membawa kita kembali pada masa berabad-abad lampau dan keyakinan yang berbeda-beda. Pertanyaan ini timbul lagi pada 2005 dengan adanya kartun Nabi Muhammad di Denmark yang dianggap menghina oleh banyak umat Muslim, dan yang menjadi pusat perdebatan setelah pembunuhan pada 2004 terhadap pembuat film Belanda Theo van Gogh, yang filmnya “Submission” mengkritik perlakuan terhadap perempuan-perempuan Muslim.
Namun video terbaru ini, “Innocence of Muslims,” membawa elemen baru: Bagaimana jika niatnya semata-mata memang untuk memancing reaksi buruk dan kekerasan? Pertanyaan ini mungkin tidak akan mendapat jawaban yang jelas dalam waktu dekat. Perlindungan terhadap kebebasan berbicara di Amerika membawa keuntungan bagi sang pembuat film, Nakoula Basseley Nakoula, yang mengaku sebagai Kristen Koptik dan filmnya merendahkan Nabi Muhammad.
Namun ada kasus-kasus dimana batasan-batasan telah diberlakukan. Tahun lalu, dua orang pastor di Florida dilarang berdemonstrasi di luar sebuah mesjid di Dearborn, Michigan, setelah juri pengadilan memutuskan bahwa hal itu akan mengganggu kedamaian. Salah satu pastor tersebut, Terry Jones, mendorong terjadinya serangkaian aksi protes yang diwarnai kekerasan di Afghanistan, yang menewaskan lebih dari selusin orang, setelah ia membakar Quran pada Maret 2011.
Peristiwa penuh kekerasan dan pertumpahan darah akhir-akhir ini barangkali telah memperbesar kesenjangan budaya.
Google telah menolak permintaan dari Gedung Putih untuk mencabut video tersebut dari situs YouTube miliknya. Namun ia membatasi akses terhadap video tersebut di negara-negara seperti Mesir, Libya dan Indonesia. Sebuah pernyataan dari YouTubue mengatakan bahwa video tersebut masih ada dalam batas pedoman konten. “Ini menjadi tantangan karena apa yang dibolehkan di satu negara dapat menjadi penghinaan di negara lain,” ujar pernyataan tersebut.
Pada saat yang sama, hal ini juga membuka perdebatan di dunia Muslim mengenai apa respon yang dapat diterima. Dalam banyak hal, ini semata-mata perluasan dari konflik internal mengenai kompas moral Islam yang telah mencengkeram agama tersebut selama berpuluh tahun lamanya.
Cendekiawan Muslim dari Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa umat Muslim memiliki kewajiban untuk menentang apapun yang mereka anggap sebagai penghinaan terhadap agamanya, namun juga harus “menghindari penggunaan kekerasan dalam mengekspresikan keberatan mereka.” Di Nigeria, pemimpin Islam terkenal, Sheik Sani Yahaya Jingir, mengatakan bahwa kekerasan tidak pernah membawa “keuntungan apapun bagi Islam.”
Bagi Jumaa al-Qurishi, 38, seorang pustakawan dari Irak: “Ini bukan kebebasan. Ini sebuah aksi kekerasan.”
“Kami mengerti mengenai Amandemen Pertama dan sebagainya,” tulis Khalid Amayreh, komentator dan blogger Islami di Hebron, West Bank. “Namun Anda juga harus mengerti bahwa Nabi (bagi kami) adalah jutaan kali lebih suci daripada Konstitusi Amerika.”
“Amerika memiliki banyak orang bodoh dan fanatik, kami juga demikian. Dan jika Amerika sulit membuat, atau barangkali tidak berniat, untuk menghentikan orang-orang bodoh tersebut, kami juga susah mengekang mereka-mereka di pihak kami.”
Tidak heran jika suara terkeras masih menang, ujar Issandr El Amrani, jurnalis Amerika keturunan Maroko dan peserta program dari Pusat Hubungan Luar Negeri Eropa.
“Luapan kemarahan yang terjadi dapat diperkirakan sekarang ini,” tulisnya dalam koran The National di Abu Dhabi. “Kaum Islamofobia di Barat akan berkata, ‘Sudah kami bilang, mereka itu fanatik,’ dan para penghasut rakyat di sini akan berkata, ‘Sudah kami bilang, mereka tidak menghormati kita.’ Dan politisi di mana pun akan memanfaatkan bahasa kemarahan ini dalam kalkulasi dangkal mereka.”
Di Gaza, Rawhi Alwan, 23, menggambarkan siklus saling menyalahkan ini: “Beberapa Muslim yang gila akan melakukan aksi jahat untuk menanggapi dosa nista.”
Sebelum ia pergi mengikuti demonstrasi yang damai untuk menentang film tersebut pada Jumat, ia mengganti foto profil halaman Facebooknya menjadi gambar yang menyatakan kesetiaan pada Nabi Muhammad. (AP/Brian Murphy)
Benturan ini juga ada di dalam Islam, yang menjelaskan wajah ganda dalam kemarahan tersebut.
Kemarahan itu bersifat politis: Etos ekstremisme yang tidak dapat dikompromikan mencari celah melawan suara-suara yang lebih moderat. Ia juga bersifat sosial: Diumpani oleh kombinasi eksplosif dari stagnasi ekonomi, kemarahan atas perang-perang yang dipimpin AS dan, di beberapa tempat, rasa frustrasi akibat harapan yang menjulang atas kebangkitan dunia Arab yang terhantam realita untuk membangun kembali.
Semua hal ini mengarah pada pertanyaan-pertanyaan yang bergema di dunia yang sangat terkoneksikan sekarang ini: Bagaimana supaya dapat hidup berdampingan dengan keterbukaan dan kebebasan berbicara di Barat, dan apakah kekerasan merupakan respon yang sesuai.
“Cara kita protes seharusnya mencerminkan akal sehat dan logika,” ujar ulama asal Mesir Youssef al-Qaradawi dalam ceramah shalat Jumat di ibukota Qatar, Doha, tempat ia memiliki audiens dari seluruh dunia lewat Internet dan acara televisi di jaringan televisi Al-Jazeera.
Seruan-seruan semacam itu, yang banyak muncul dari para pemimpin dan cendekiawan Muslim pada seminggu terakhir, bersaing dengan seruan lain yang mengajak hal sebaliknya. Fraksi-fraksi politik dan ulama garis keras di dunia Muslim dengan cepat mencoba mengkapitalisasi apa yang dianggap sebagai penghinaan keimanan.
“Tidak diragukan lagi bahwa setiap Muslim pada titik tertentu merasa sangat terganggu dengan hinaan terhadap Nabi Muhammad, tapi berapa banyak yang telah melihat video dari film tersebut dan membuat keputusan? Sangat sedikit,” ujar Sami al-Faraj, direktur Pusat Studi Strategi Kuwait. “Dibutuhkan seseorang yang mengorganisir protes-protes tersebut dan mengontrol situasi.”
Kelompok Islam ultra konservatif memimpin protes di negara-negara tempat kebangkitan Arab terjadi seperti Tunisia dan Mesir berupaya memamerkan kekuatan melawan kepemimpinan baru dan sekutu-sekutu Barat mereka. Dalam sebuah konflik persepsi, pemerintah Mesir baru yang didominasi kelompok Muslim Brotherhood menyerukan pasukan anti huru-hara untuk melindungi Kedutaan Besar AS melawan para demonstran yang mengklaim “membela” Islam.
Di Libya, para penyelidik AS sedang memeriksa apakah kelompok militan bersenjata menggunakan kemarahan terhadap film tersebut sebagai alat untuk meluncurkan serangan yang telah direncanakan sebelumnya terhadap Konsulat AS di Benghazi, yang membunuh duta besar dan tiga orang Amerika lainnya. Duta Besar AS untuk PBBB, Susan Rice, mengatakan pada Minggu (16/9) bahwa serangan tersebut tidak terkoordinasi dan direncanakan sebelumnya, namun banyak pihak yang menantang pandangan tersebut.
Para demonstran di Yaman mengutuk film tersebut, namun juga menyerukan penolakan terhadap kehadiran militer AS yang terus berlangsung, seperti serangan-serangan terhadap target-target yang dicurigai sebagai pemimpin-pemimpin al-Qaida.
“Jelas ada sikap anti-Amerikanisme yang laten hadir,” ujar Salman Shaikh, direktur lembaga The Brookings Doha di Qatar. “Tapi ini hanya sebuah bagian saja,” ujarnya. “Ini terutama tentang perjuangan jiwa negara-negara ini.”
Di negara-negara lain, dari Nigeria sampai Australia, ulama dan partai garis keras telah memobilisasis demonstrasi yang mengekspresikan kemarahan dan pesan terhadap musuh. Di Iran, demonstran diberi poster-poster yang mencela AS dalam protes-protes yang jelas-jelas diorganisir pemerintah.
Pada Minggu, koran-koran di Iran melaporkan bahwa sebuah yayasan agama telah meningkatkan jumlah hadiah untuk membunuh penulis Inggris Salman Rushdie dari US$2,8 juta menjadi $3,3 juta, sebagai respon atas dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad dalam novelnya “Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses).” Mantan pemimpin tertinggi Iran, almarhum Ayatollah Ruhollah Khomeini mengeluarkan fatwa mati atas Rushdie pada 1989, namun para pejabat Iran kemudian menjauhkan diri dari fatwa tersebut.
Sementara itu, kelompok protes di Bahrain menggunakan Twitter untuk mengorganisir demonstrasi, termasuk pembakaran bendera AS di negara yang menjadi tuan rumah armada Angkatan Laut AS. Partai-partai Islam konservatif di Pakistan mengirimkan SMS, mengumumkan di mesjid dan menelepon warga untuk mendorong demonstrasi, termasuk yang terdiri dari 1.000 orang di kota sebelah barat laut, Peshawar, pada Minggu.
“Kebebasan ekspresi macam apa yang melukai sentimen agama yang lain?” ujar Haider Gul, pemilik toko kelontong yang bergabung dalam protes anti-Amerika.
Pertanyaan tersebut tidak baru, membawa kita kembali pada masa berabad-abad lampau dan keyakinan yang berbeda-beda. Pertanyaan ini timbul lagi pada 2005 dengan adanya kartun Nabi Muhammad di Denmark yang dianggap menghina oleh banyak umat Muslim, dan yang menjadi pusat perdebatan setelah pembunuhan pada 2004 terhadap pembuat film Belanda Theo van Gogh, yang filmnya “Submission” mengkritik perlakuan terhadap perempuan-perempuan Muslim.
Namun video terbaru ini, “Innocence of Muslims,” membawa elemen baru: Bagaimana jika niatnya semata-mata memang untuk memancing reaksi buruk dan kekerasan? Pertanyaan ini mungkin tidak akan mendapat jawaban yang jelas dalam waktu dekat. Perlindungan terhadap kebebasan berbicara di Amerika membawa keuntungan bagi sang pembuat film, Nakoula Basseley Nakoula, yang mengaku sebagai Kristen Koptik dan filmnya merendahkan Nabi Muhammad.
Namun ada kasus-kasus dimana batasan-batasan telah diberlakukan. Tahun lalu, dua orang pastor di Florida dilarang berdemonstrasi di luar sebuah mesjid di Dearborn, Michigan, setelah juri pengadilan memutuskan bahwa hal itu akan mengganggu kedamaian. Salah satu pastor tersebut, Terry Jones, mendorong terjadinya serangkaian aksi protes yang diwarnai kekerasan di Afghanistan, yang menewaskan lebih dari selusin orang, setelah ia membakar Quran pada Maret 2011.
Peristiwa penuh kekerasan dan pertumpahan darah akhir-akhir ini barangkali telah memperbesar kesenjangan budaya.
Google telah menolak permintaan dari Gedung Putih untuk mencabut video tersebut dari situs YouTube miliknya. Namun ia membatasi akses terhadap video tersebut di negara-negara seperti Mesir, Libya dan Indonesia. Sebuah pernyataan dari YouTubue mengatakan bahwa video tersebut masih ada dalam batas pedoman konten. “Ini menjadi tantangan karena apa yang dibolehkan di satu negara dapat menjadi penghinaan di negara lain,” ujar pernyataan tersebut.
Pada saat yang sama, hal ini juga membuka perdebatan di dunia Muslim mengenai apa respon yang dapat diterima. Dalam banyak hal, ini semata-mata perluasan dari konflik internal mengenai kompas moral Islam yang telah mencengkeram agama tersebut selama berpuluh tahun lamanya.
Cendekiawan Muslim dari Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa umat Muslim memiliki kewajiban untuk menentang apapun yang mereka anggap sebagai penghinaan terhadap agamanya, namun juga harus “menghindari penggunaan kekerasan dalam mengekspresikan keberatan mereka.” Di Nigeria, pemimpin Islam terkenal, Sheik Sani Yahaya Jingir, mengatakan bahwa kekerasan tidak pernah membawa “keuntungan apapun bagi Islam.”
Bagi Jumaa al-Qurishi, 38, seorang pustakawan dari Irak: “Ini bukan kebebasan. Ini sebuah aksi kekerasan.”
“Kami mengerti mengenai Amandemen Pertama dan sebagainya,” tulis Khalid Amayreh, komentator dan blogger Islami di Hebron, West Bank. “Namun Anda juga harus mengerti bahwa Nabi (bagi kami) adalah jutaan kali lebih suci daripada Konstitusi Amerika.”
“Amerika memiliki banyak orang bodoh dan fanatik, kami juga demikian. Dan jika Amerika sulit membuat, atau barangkali tidak berniat, untuk menghentikan orang-orang bodoh tersebut, kami juga susah mengekang mereka-mereka di pihak kami.”
Tidak heran jika suara terkeras masih menang, ujar Issandr El Amrani, jurnalis Amerika keturunan Maroko dan peserta program dari Pusat Hubungan Luar Negeri Eropa.
“Luapan kemarahan yang terjadi dapat diperkirakan sekarang ini,” tulisnya dalam koran The National di Abu Dhabi. “Kaum Islamofobia di Barat akan berkata, ‘Sudah kami bilang, mereka itu fanatik,’ dan para penghasut rakyat di sini akan berkata, ‘Sudah kami bilang, mereka tidak menghormati kita.’ Dan politisi di mana pun akan memanfaatkan bahasa kemarahan ini dalam kalkulasi dangkal mereka.”
Di Gaza, Rawhi Alwan, 23, menggambarkan siklus saling menyalahkan ini: “Beberapa Muslim yang gila akan melakukan aksi jahat untuk menanggapi dosa nista.”
Sebelum ia pergi mengikuti demonstrasi yang damai untuk menentang film tersebut pada Jumat, ia mengganti foto profil halaman Facebooknya menjadi gambar yang menyatakan kesetiaan pada Nabi Muhammad. (AP/Brian Murphy)