Dalam debat calon presiden hari Minggu lalu, calon presiden Joko Widodo yang merupakan petahana mengklaim sudah tidak ada konflik agraria yang terjadi. Pernyataan Presiden Joko Widodo ini dinilai keliru karena konflik agraria masih banyak terjadi di tanah air.
Salah satunya adalah konflik antara perusahaan perkebunan sawit, PT Bukit Bintang Sawit dengan warga di Desa Seponjen, Dusun Pulao Tigo, Desa Sogo,dan Kelurahan Tanjung. Keempat wilayah ini berlokasi di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia di Jakarta, Kamis (21/2), Manajer Kebijakan Eksekutif Walhi Boy Evan Sembiring meminta Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan konflik agraria di Indonesia menjelang akhir masa jabatannya.
"Dia bisa memulai dari Jambi untuk menyelesaikan konflik agraria. Jadi melahirkan preseden keberpihakan negara terhadap rakyatnya, bukan investasi. Jangan lihat dari uangnya, tapi kerusakannya. Adil juga dong lihat kerusakannya dan berapa banyak kerugian yang dialami oleh masyarakat," kata Boy.
Terkait konflik masyarakat dengan PT Bukit Bintang Sejahtera di Muaro Jambi, Boy menjelaskan sesuai putusan MahkamahKonstitusi pada 2016, perusahaan perkebunan sawit wajibmelakukan aktivitasnya berdasarkan dua hal, yakni Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk luasan tertentu dan Hak Guna Usaha (HGU).
Dia menilai bupati Muaro Jambi berwenang mencabutIUP milik PT Bukit Bintang Sawit karena sudahlebihdaridua tahun perusahaan itu tidak mempunyaiHGU, kemudian pada 2015terjadi kebakaran di lahan yangmerekakuasai, dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan baru diperoleh belakangan.
Boy mengatakan konflik yang terjadi sejak 2007 itu menandakan keberadaan konflik agraria di era Jokowi masih ada. Oleh sebab itu, Evan meminta Jokowi menyelesaikan konflik ini di sisa waktu pemerintahannya atau kurang lebih dalam delapan bulan mendatang.
Budiman, warga Desa Seponjen, bercerita konflik antara masyarakat Desa Seponjen dengan PT Bukit Bintang Sawit dimulai sejak 2007, ketika perusahaan tersebut memasuki wilayah itu.
Pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi mengeluarkan izin lokasi seluas seribu hektar berdasarkan Surat Keputusan Nomor 507 Tahun 2007 bertanggal 27 September 2007. Budiman menjelaskan saat itu terdapat 176,4 hektar lahan milik 28 KK dari 175 KK di Desa Seponjen yang diserobot oleh PT Bukit Bintang Sawit.
"Pihak perusahaan menyerobot lahan masyarakat tanpa ada komunikasi maupun musyawarah. Waktu itu, perusahaan ini datang ke desa dengan membagikan uang. Uang tersebut tidak diketahui oleh masyarakat ini uang apa. Ketika masyarakat mengetahui hal itu, masyarakat mulai memberontak untuk tidak mau menerima uang itu. Ketika ditanya, ditelusuri, itu uang pengganti rugi untuk masyarakat," kata Budiman.
Budiman mengungkapkan sampai sekarang PT Bukit Bintang Sawit belum mempunyai Hak Guna Usaha (HGU), tidak ada kemitraan 20 persen yang dibangun dengan desa, dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan baru dikeluarkan perusahaan pada 2016.
Saidi, warga Keluarahan Tanjung, mengatakan PT Bukit Bintang Sawit menguasai lahan di wilayahnya secara ilegal. Dia menambahkan sampai hari ini ada 25 KK di KeluarahanTanjung menuntut lahan mereka dikembalikan. Mereka menolak ganti rugi dari perusahaan sawit tersebut.
Selain itu, lanjutnyaterdapat 42 KK di Dusun Pulao Tigo dan 400 KK di Desa Sogo memintalahan mereka juga dikembalikan. Dia berharap bupati Muaro Jambi saat ini berani bertindak untuk mengembalikan semua lahan masyarakat yang diserobot oleh PT Bukit Bintang Sawit.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Rudiansyah menjelaskan pihaknya mencatat ada181 konflik agraria yang terjadi di Provinsi Jambi. Tahun lalu, setidaknya terdapat 18 desa yang diajukan ke pemerintah untuk dilakukan resolusi konflik. Sayangnya, sampai hari ini di 18 desa tersebut belum dilakukan penyelesaian konflik.
Artinya, menurut Rudiansyah, negara justru tampak enggan menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Jambi.
Dia menambahkan terkait konflik antara masyarakat dengan PT Bukit Bintang Sawit, pendudukdi tiga desa dan satu dusun itu selalu berupaya untuk mendorong dan meminta ketegasan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Lebih lanjut Rudiansyah mengatakan sejak 2015, masyarakat secara intensif mendorong Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi untuk mempercepat penyelesaian konflik. Namun pemerintah kabupaten hanya melakukan fasilitasi belum sampai pada tahap untuk mempercepat penyelesaian konflik.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurutnya terdapat 495 KK yang berkonflik dengan PT Bukit Bintang Sawit dengan luas lahan yang diserobot perusahaan itu adalah 1.373,4 hektare.
Secara keseluruhan, perusahaan itu mempunyai izin lokasi perkebunan sawit seluas dua ribu hektare.
"Cenderung saya melihat negara itu takut dengan korporasi. Kenapa?Sejak 2015 sampai sekarang adalah pihak perusahaan yang datang untuk menemui masyarakat atau yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi, bukan orang yang mempunyai kewenangan atau pemilik dari perusahaan ini, selalu yang dikirimkan adalah staf-staf yang tidak punya kewenangan dalam proses pengambilan keputusan di perusahaan," jelas Rudiansyah.
Rudiansyah mengatakan sekitar seratus hektar lahan sawit milik PT Bukit Bintang Sawit yang mengalami kebakaran pada 2015, merupakan wilayah gambut.
Menurut Rudiansyah, sejak 2015 masyarakat melakukan aksi besar-besaran. Terakhir pada 11-15 Februari lalu, masyarakat menduduki lahan perkebunan sawit milik PT Bukit Bintang Sawit. Langkah ini diambil untuk membuktikan lahan tersebut merupakan milik mereka. Dia menilai kedua calon presiden tidak memperlihatkan komitmen atau visi dan misi yang serius dalam mengupayakan penyelesaian konflik agraria.
Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Usman Kansong mengatakan selama ini konflk agrarian di masa pemerintahan Jokowi relatif bisa diselesaikan. Namun menurutnya untuk menuntaskan semua konflik tersebut memang perlu waktu. [fw/em]