Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk secara teknis sudah bangkrut meski belum secara hukum. Ini karena utang perseroan itu hingga saat ini sudah mencapai $9,75 miliar atau setara dengan Rp138,93 triliun.
“Ini yang sekarang kita sedang berusaha, bagaimana kita bisa keluar dari situasi yang sebenarnya technically bankrupt karena technically semua kewajiban Garuda semuanya sudah tidak dibayar. Bahkan gaji pun mungkin sudah kemudian ditahan,” ungkap pria yang akrab disapa Tiko itu saat rapat dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Selasa (9/11).
Ia menjelaskan sampai saat ini aset perseroan tersebut bernilai $6,93 miliar, sementara liabilitasnya, yakni kewajiban, termasuk utang, mencapai $9,75. Dengan angka ekuitas negatif senilai $2,8 miliar, Garuda mencatatkan diri sebagai badan usaha milik negara (BUMN) dengan sejarah ekuitas paling buruk. Sebelumnya, rekor itu dipegang oleh PT Asuransi Jiwasraya.
Your browser doesn’t support HTML5
Dari jumlah kewajiban perseroan tersebut, kata Tiko, utang dari sewa pesawat jumlahnya paling besar yang mencapai $9 miliar atau setara Rp128 triliun.
“Ini yang menjadi satu situasi yang sulit karena di satu sisi Garuda memang mempunyai constructure yang tinggi, utangnya tinggi dan revenue base-nya tergerus signifikan karena pandemi COVID-19. Jadi saya sering ditanya, Garuda ini kinerjanya turun karena apa? Apakah karena korupsi, atau karena COVID-19? Ya dua-duanya memang menjadi penyebab yang bersama-sama membuat kondisi Garuda saat ini tidak baik,” jelasnya.
Sempat Untung
Tiko menjelaskan sebenarnya pada 2019, Garuda sudah memperoleh keuntungan yang cukup besar dari rute perjalanan domestik yang mencapai $240 juta per bulannya. Namun, sama halnya dengan maskapai penerbangan lainnya, pandemi COVID-19 memperburuk kondisi perseroan itu sehingga keuntungan yang diperoleh pun turun secara signifikan.
“Kalau kita lihat mulai dari Januari turun revenue per bulannya, dulu disekitaran $235-250 juta, peak-nya pada tahun 2019. Akhirnya drop pernah di $27 juta per bulan, yang saat ini ada dikisaran $70 juta,” jelasnya.
Upaya Penyelamatan
Meski dalam situasi yang cukup sulit, kata Tiko, Kementerian BUMN melakukan beberapa langkah untuk menyelamatkan satu-satunya maskapai penerbangan pelat merah tersebut dengan melakukan restrukturisasi. Pertama adalah melakukan transformasi bisnis. Perseroan itu, menurutnya, pada masa lalu memiliki banyak inefisiensi baik dari sisi rute maupun operasional, sehingga Garuda kini akan berusaha mengoptimalisasikan rute domestik secara masif.
“(Rute) Internasionalnya kita kurangi secara signifikan dan internasional hanya beberapa yang kita serve dan itu pun sebagian besar karena adanya volume kargo yang baik. Jadi kita tidak lagi mempunyai rute-rute long haul seperti Amsterdam, London, dan sebagainya di-shutdown, rute-rute yang sepi seperti Korea di-shutdown dan kita akan menyisakan masih ada volume kargo yang memadai,” jelasnya.
Jumlah pesawat juga akan menurun sangat drastis dari jumlah 202 pesawat yang dimiliki saat ini. Ia mengatakan, sebagian dari jumlah itu sudah diambil atau di-grounded oleh pihak lessor. Ia berharap jika rencana bisnis perseroan itu berjalan dengan lancar mungkin jumlah pesawatnya akan berada dikisaran 168. Jenis pesawat juga akan dikurangi dari 13 menjadi 7 untuk mengurangi biaya perawatan yang mahal.
Tiko menjelaskan, langkah selanjutnya adalah melakukan negosiasi ulang kontrak pesawat yang diharapkan menyamai benchmark internasional. Ia berencana untuk mengubah konsep kontrak pesawat dengan beberapa lessor menjadi power by hour. Ini artinya Garuda tidak melakukan pembayaran dalam jumlah yang pasti, melainkan berdasarkan jam pemakaian pesawat.
“Lalu, meningkatkan kontribusi kargo, jadi ini dulu juga bisnis yang kurang dilihat, sekarang Pak Irfan (direktur utama, red) ) dan tim fokus untuk meningkatkan bailey capacity Garuda karena ini menjadi bisnis baru yang lebih stabil secara volume dan pendapatannya,” katanya.
Dari sisi rute, Garuda akan memotong jumlahnya secara signifikan dari 237 menjadi 140, dan akan memfokuskan diri pada rute-rute yang super premium.
Pihaknya juga akan terus melakukan negosiasi ulang dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi keuangan dengan harapan bisa menurunkan kewajiban perseroan dari $9,75 miliar menjadi $2,6 miliar. Renegosiasi tersebut juga akan dilakukan dengan pihak perbankan termasuk Bank Himbara dan Pertamina.
“Ini memang menjadi kunci. Kalau disampaikan bahwa yang menjadi kunci utama suksesnya restrukturisasi Garuda adalah persetujuan dari kreditur karena tanpa itu, tidak mungkin pemegang saham bisa bergerak. Nasib Garuda ini bukan hanya ada di tangan pemegang sahamnya tapi di tangan krediturnya, karena krediturnya harus juga menyadari bahwa tanpa ada signifikan cut, maka neraca Garuda yang tadi ekuitas negatif tidak akan balance,” tuturnya.
“Kami sedang bernegosiasi secara aktif selama 1-2 bulan terakhir, dengan para lessor, bank termasuk Bank Himbara, Pertamina, dan memang krediturnya harus mengakui bahwa kondisi Garuda memang harus ada pengurangan utang yang signifikan dikarenakan kalau tidak ada pengurangan utang neracanya yang secara teknis sudah bangkrut, tidak akan survive,” pungkasnya.
Suntikan Dana
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan kondisi Garuda yang disampaikan oleh Kementerian BUMN adalah sebuah fakta. Menurutnya, satu-satunya opsi untuk menyelamatkan maskapai tersebut adalah dengan menyuntikan dana dalam jumlah sangat besar.
“Apakah pemerintah mau menyuntik dana lagi atau tidak kepada Garuda? Itu pertimbangannya kalau murni bisnis pasti tidak ya, karena menyuntik dana sampai Rp100 triliun sangat besar dan untuk membangun atau mendirikan airline baru start dari nol itu mungkin cukup Rp3 triliun-Rp5 triliun sudah jadi itu barang,” ungkap Alvin kepada VOA.
Ia menekankan, meskipun pihak pemerintah menyodorkan berbagai proposal restrukturisasi utang kepada para kreditor, lessor, vendor dan lain-lain, penyelesaiannya harus realistis. Bagaimana pun, katanya, pihak-pihak tersebut ingin mendapatkan kepastian mengenai kapan utang-utang tersebut akan dibayar. Dengan kondisi yang cukup berat ini, katanya, pemerintah bisa memilih opsi untuk menutup Garuda, kemudian menjual nama Garuda kepada entitas baru sebagai maskapai baru, tetapi tetap menggunakan nama Garuda. Namun, sekali lagi ia menggarisbawahi tanpa ada suntikan dana segar, mustahil perseroan itu bisa bertahan.
“Langkah selanjutnya ya sekarang sudah tidak ada waktu lagi untuk Garuda, harus cepat. Pemerintah sejak tahun lalu menjanjikan Garuda akan disuntik dana Rp8 triliun, tapi kenyataannya baru cair Rp1 triliun. Belum tahu sisanya kapan dan ini menjadi ketidakjelasan bagi direksi Garuda, mereka kan mau ada kejelasan untuk negosiasi dengan kreditur dan lessor,” jelasnya.
“Ya harus ada kucuran dana, tanpa itu nonsense. Kalau utangnya kisaran Rp100 triliun, minimal setengahnya (kucuran dana dari pemerintah) supaya Garuda bisa bernapas lagi. Karena dengan setengah juga bisa memberikan kreditur, lessor dan lain-lain kejelasan dan memberi ruang gerak bagi Garuda,” tambahnya.
Ia mengatakan, manajemen perusahaan yang berantakan dan pengawasan pemerintah yang kurang menempatkan Garuda dalam posisi yang sangat sulit seperti sekarang ini.
“Kalau ada korupsi, tidak efisien dan sebagainya pada Garuda ini kan tidak mendadak tiba-tiba menjadi seperti ini. Kondisi Garuda hari ini, kan akumulasi dari praktek yang tidak sehat, tidak efisien selama bertahun-tahun. Garuda sebagai BUMN tiap tahun diperiksa oleh BPK, Garuda sebagai perusahaan juga melakukan RUPS setiap tahun dengan Kementerian BUMN, dan Kemenkeu sebagai bendahara negara. Selama bertahun-tahun ini ngapain saja itu semua? Ada pembiaran atau yang mengawasi juga tidak kompeten?,” pungkasnya. [gi/ab]