Warga Bali Harap Moratorium Pembangunan Bisa Kendalikan Pariwisata yang Kebablasan

Papan bertuliskan "Tanah Dijual" terlihat di tengah hamparan sawah di Canggu, Kabupaten Badung, Bali, 22 Oktober 2024. (Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP)

Kelompok pemerhati lingkungan hidup, Walhi, menyatakan bahwa pertumbuhan pesat akomodasi pariwisata di Pulau Dewata sudah sangat kebablasan.

Warga Bali yang jenuh dengan pembangunan pariwisata yang masif berharap rencana penghentian sementara pembangunan hotel di Pulau Dewata dapat mengembalikan ketenangan seperti di masa lampau.

Khawatir dengan pariwisata yang semakin tak terkendali, banyak warga Bali merindukan masa lalu yang lebih tenang, seperti yang dirasakan penduduk di kota-kota wisata terkenal Eropa, seperti Barcelona, Palma de Mallorca, atau Venesia.

Menanggapi hal itu, pemerintah baru-baru ini mengumumkan rencana moratorium pembangunan hotel, vila, dan klub malam selama dua tahun di Bali, meskipun rencana ini belum dikonfirmasi oleh pemerintah Presiden Prabowo Subianto.

Dulu, Canggu yang memiliki pemandangan Samudra Hindia dan sawah yang luas, adalah desa pesisir yang damai di Bali selatan. Namun, kondisi tersebut berubah setelah para peselancar asing menemukan ombak yang bagus untuk berselancar beberapa dekade lalu, dan kemudian turis berbondong-bondong mendatangi tempat itu.

Papan bertuliskan "20 unit terjual habis" terlihat di tengah hamparan sawah di Canggu, Kabupaten Badung, Bali, 22 Oktober 2024. (Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP)

Sekarang, desa tersebut dipadati dengan hotel dan penginapan, jalan-jalannya dipenuhi mobil, skuter, dan truk.

Warga setempat, seperti Kadek Candrawati (23 tahun), khawatir bahwa isu lingkungan kini hanya menduduki urutan nomor dua bagi pemerintah.

"Canggu kini lebih ramai... ketenangan dan kehijauannya perlahan menghilang," kata Kadek, yang memiliki jasa penyewaan sepeda motor yang menghasilkan Rp7 juta per bulan.

"Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan Bali tetap hijau, lestari, dan budaya lokal terpelihara," katanya kepada AFP.

"Saya berharap pariwisata Bali dapat terus tumbuh, tetapi keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan tetap terjaga."

Bangunan baru terlihat di depan hamparan sawah di Canggu, Kabupaten Badung, Bali, 22 Oktober 2024. (Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP)

Singapura Baru

Hutan hujan tropis yang subur, sawah, dan pantai selancar yang dulu sepi kini berubah menjadi tempat resor mewah dan destinasi populer bagi backpacker, sehingga menarik wisatawan untuk datang kembali ke Bali.

Saat jumlah wisatawan turun drastis akibat pandemi COVID, pemerintah berusaha menarik kembali orang asing ke Bali dengan menawarkan visa nomaden digital dan program visa investor emas.

Namun, insentif seperti itu tidak lagi dibutuhkan saat ini.

Data resmi pemerintah menunjukkan Bali berhasil menyedot hampir tiga juta wisatawan mancanegara hanya dalam enam bulan pertama tahun ini, sebagian besar berasal dari Australia, China, dan India.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa kelompok turis asing membelanjakan rata-rata Rp25 juta per kunjungan tahun lalu, meningkat dari Rp18 juta pada 2019 sebelum pandemi COVID-19.

BACA JUGA: Pemerintah Rencanakan Reformasi Besar-Besaran Pariwisata Bali

Masih belum jelas apakah Prabowo berniat untuk membatasi pendapatan tersebut.

Pemerintah Joko Widodo sendiri pernah berjanji untuk membekukan pembangunan terkait pariwisata dan proyek kereta api ringan guna memperlancar lalu lintas di Bali.

Namun, Prabowo, yang belum memberikan komentar terkait rencana tersebut, diragukan akan memutuskan untuk menerapkan moratorium di Bali.

Dalam pertemuan dengan pejabat setempat baru-baru ini, ia malah berjanji akan membangun bandara internasional kedua untuk menjadikan Bali sebagai "Singapura baru, Hong Kong baru... pusat ekonomi."

Kelompok pemerhati lingkungan hidup, Walhi, menyatakan bahwa pertumbuhan pesat akomodasi pariwisata di Pulau Dewata sudah sangat kebablasan.

Sebuah vila yang sedang dibangun dikelilingi hamparan sawah di Canggu, Kabupaten Badung, Bali, 22 Oktober 2024. (Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP)

"Bali kini dibangun secara berlebihan, ruang terbuka hijau yang berubah menjadi bangunan," ujar Direktur Eksekutif Walhi, Made Krisna Dinata.

"Moratorium yang diusulkan seharusnya menjadi peraturan yang tidak hanya menghentikan pembangunan, tetapi juga melindungi lahan."

Kerusakan pada keindahan alam Bali kini semakin tampak nyata.

Pantai-pantai yang biasanya bersih kini dipenuhi sampah plastik, sementara penggunaan air tanah yang berlebihan membuat lebih dari separuh sungai di Bali mengering.

Pariwisata yang berlebihan juga memberi tekanan pada sistem irigasi Subak, yang mengaliri sawah-sawah di Bali, karena semakin banyak lahan hijau yang digantikan bangunan. Sistem Subak sendiri telah diakui sebagai warisan budaya oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO.

Sampah plastik mengotori pantai Sanur di Bali, 10 April 2019. (Foto: Johannes P. Christo/Reuters)

Air Laut Kotor

Kekhawatiran warga lokal semakin meningkat setelah viralnya sebuah video penggalian tebing batu kapur di Pecatu, Bali selatan, yang menyebabkan bongkahan tanah ambrol ke laut.

"Banyak pelatih selancar kehilangan mata pencaharian mereka karena tamu tidak mau berselancar karena air laut yang kotor," kata peselancar berusia 42 tahun Piter Panjaitan di dekat Ungasan.

Perilaku tidak pantas turis juga semakin memicu kemarahan warga lokal, terutama setelah ada orang asing yang berpose telanjang di tempat-tempat suci.

"Ada banyak masalah dengan tamu yang datang ke sini," kata Piter.

Pemerintah menyatakan bahwa rencana moratorium pembangunan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara keuntungan ekonomi dari pariwisata dan pelestarian keindahan alam Bali.

BACA JUGA: Pesona Wisata Bali Tercoreng Masalah Sampah

Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun, mengatakan bahwa moratorium ini akan memindahkan fokus pembangunan pariwisata ke wilayah yang lebih jauh dari Bali selatan, yang saat ini menjadi pusat perhatian utama.

Namun, tidak semua orang mendukung usulan moratorium tersebut.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, meminta agar dilakukan kajian lebih mendalam sebelum moratorium diterapkan. Ia mengatakan langkah tersebut bisa berdampak buruk bagi penduduk setempat yang bergantung pada sektor pariwisata.

"Ketika terjadi kelebihan pasokan, moratorium dapat diterima untuk mencegah persaingan. Namun, sekarang permintaan justru meningkat," katanya.

"Tingkat hunian kami telah mencapai 80 hingga 90 persen,” imbuhnya. [ah/ft]