Penduduk Dataran Tinggi Golan yang dikuasai Israel hari Minggu (25/8) mengungkapkan kesulitan yang dihadapi komunitas mereka ketika ketegangan antara Israel dan Lebanon terus meningkat.
Israel melancarkan gelombang serangan udara di Lebanon Selatan dalam apa yang disebutnya sebagai serangan pendahuluan untuk mencegah serangan roket dan rudal besar-besaran Hizbullah.
Kelompok militan tersebut menanggapinya dengan mengatakan bahwa mereka menembakkan ratusan roket dan drone untuk membalas pembunuhan seorang komandan penting bulan lalu.
Kedua belah pihak menghentikan baku tembak besar-besaran pada pertengahan pagi, menandakan tidak adanya eskalasi lebih lanjut.
Hal ini terjadi ketika Mesir menjadi tuan rumah perundingan tingkat tinggi yang bertujuan untuk gencatan senjata dalam perang Israel-Hamas yang telah berlangsung selama 10 bulan di Gaza yang diharapkan para diplomat akan meredakan ketegangan regional.
BACA JUGA: Militer Israel Alihkan Perhatian untuk Targetkan Hizbullah di LebanonRose Break, seorang warga Majdal Shams, mengatakan bahwa serangan pada 27 Juli yang menewaskan 12 anak Druze di Dataran Tinggi Golan, telah berdampak pada seluruh desa.
“Apa yang terjadi hari itu sangat mengerikan,” tambahnya, karena dia khawatir eskalasi akan berdampak signifikan pada Majdal Shams.
"Kami sangat gelisah."
Nasser Abu Saleh, warga lainnya, berharap gencatan senjata segera tercapai.
“Kami tidak menunggu pidato dari (pemimpin Hizbullah) Hassan Nasrallah, atau (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu,” tambahnya.
Hizbullah mulai menyerang Israel segera setelah dimulainya perang di Gaza, yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober ke Israel Selatan.
Israel dan Hizbullah baku tembak hampir setiap hari, menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi di kedua sisi perbatasan.
Terdapat 25.000 warga Druze di Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah pada Perang Timur Tengah tahun 1967 dan dianeksasi pada tahun 1981.
Banyak warga Druze di Golan tetap setia kepada Suriah. [ab/uh]