Sejak kudeta militer pada Februari lalu, militer Myanmar telah menumpas para pemrotes saat pertempuran berlangsung antara pihak sipil dan militer, yang siap siaga menyasar pasukan pemberontak yang menentang pemerintahan junta.
Sementara pertempuran berlangsung, warga Myanmar juga harus berjuang untuk dapat mengakses internet, karena puluhan kota dilaporkan tidak memiliki jaringan.
Myanmar secara berkala mengalami pemutusan hubungan internet sepanjang tahun, yang menurut pihak junta dilakukan demi menjaga “stabilitas” dan mencegah disinformasi dan berita palsu.
Htaike Htaike Aung, seorang aktivis kebebasan internet di Myanmar, Selasa, memposting di akun media sosial miliknya bahwa akses terhadap internet di 25 kota telah terputus.
Pemerintahan militer membantah melakukan pemutusan tersebut dan sebaliknya menuduh pasukan pertahanan warga setempat melakukan pemutusan internet itu, demikian pernyataan tersebut seperti dilaporkan oleh organisasi berita Mizzima.
Masalah internet di Myanmar pada tahun ini dibeberkan dalam sebuah laporan dari Freedom House, sebuah lembaga penelitian nirlaba. Organisasi ini mengukur kebebasan internet dari negara-negara berdasarkan berbagai macam faktor, seperti pembatasan isi dan pelanggaran hak pengguna pada skala 100 poin.
Myanmar berada di peringkat nomor 30 pada 2020, tetapi tahun ini naik menjadi nomor 17, yang masuk ke dalam kategori “tidak bebas.”
BACA JUGA: PBB: Myanmar Hadapi Risiko ‘Mengkhawatirkan’ dengan Meningkatnya Kemungkinan Perang SaudaraDalam laporan tersebut disebutkan bahwa pihak junta mulai menutup internet tidak lama setelah kudeta dan kemudian mengambil alih kendali telekomunikasi Myanmar.
Situasi politik di negara itu mengakibatkan salah satu operator besar di Myanmar, Telenor yang merupakan perusahaan asal Norwegia, menghentikan operasinya di negara itu.
Militer juga memblokir platform media sosial dan setidaknya tujuh media online. (jm/my)