Warga di Suriah sulit menemukan keceriaan Ramadan di tengah perang saudara, langkanya makanan, harga yang melambung dan situasi di kamp pengungsian.
DAMASKUS —
Seiring datangnya bulan Ramadan yang dimulai Rabu (10/7), banyak warga Suriah yang berpuasa namun mereka berjuang menemukan keceriaan dan kehangatan yang biasanya ada pada bulan itu di tengah perang saudara yang sudah mencapai tahun ketiga.
Di salah satu kota yang dikuasai kelompok pemberontak, masyarakat harus menghiba untuk mendapatkan makanan yang sangat terbatas di sebuah dapur umum. Sementara itu, di sebuah kamp pengungsi di perbatasan Yordania, warga Suriah berpuasa di tengah terik dan debu gurun pasir, jauh dari keluarga.
Lembaga pangan PBB mengatakan bahwa tujuh juta orang saat ini bergantung pada bantuan makanan untuk bisa bertahan. Pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar negara itu, serta harga-harga yang melambung tinggi pada beberapa bulan terakhir, telah membuat banyak warga Suriah berjuang untuk hidup.
“Orang-orang datang ke dapur umum, menghiba mendapatkan remah-remah, membuat hati saya hancur,” ujar seorang aktivis di kota Maarat al-Numan di utara Suriah yang dikuasai pemberontak.
Ia mengatakan para aktivis menggunakan dapur umum untuk membagikan hidangan berbuka puasa sederhana yang terdiri dari nasi, sayuran dan sup untuk sekitar 400 keluarga yang paling membutuhkan. Ia hanya menyebut dirinya Abu Anas, karena takut dengan keselamatan dirinya.
Di kamp pengungsi Zaatari di padang pasir Yordania, banyak dari 120.000 warga Suriah yang tinggal di tenda-tenda di sana rindu rumah dan menderita.
“Berpuasa di kamp pengungsi ini sangat berat,” ujar Abu Qusai, 32, seorang pekerja bangunan asal provinsi Daraa, tempat pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad dimulai pada Maret 2011.
“Udara kering seperti tulang dan debu-debu beterbangan. Kami haus, kotor dan sangat tidak nyaman. Kami sudah muak.”
Puasa kali ini jatuh pada musim panas Timur Tengah yang ganas dengan siang hari yang panjang dan suhu yang bisa mencapai 50 derajat Celsius.
Bahkan mereka yang dianggap cukup beruntung karena dapat tinggal di rumah mengurangi pengeluaran untuk hidangan khas Ramadan karena mata uang mereka jatuh tajam, yaitu 270 pound untuk US$1. Hal ini membuat harga-harga akan naik lagi, meski menurut warga harga-harga sudah naik lima kali lipat.
Meski demikian, para warga di Damaskus mengatakan suasana lebih baik daripada tahun lalu, saat para pemberontak mencoba menyerbu ibukota. Pada beberapa bulan terakhir, militer telah membuat serangan dan berhasil membersihkan pemberontak dari banyak daerah di pinggiran ibukota dan bagian tengah negara. Terdorong situasi ini, banyak warga Suriah di luar negeri pulang untuk mengunjungi kerabat mereka Ramadan ini.
Pada Rabu, Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan mereka membutuhkan $27 juta setiap bulan untuk mengatasi peningkatan jumlah warga Suriah yang kelaparan karena perang dan krisis pengungsi di luar negeri.
Jika badan itu tidak menyediakan makanan, “mereka tidak akan bisa makan,” ujar Muhannad Hadi, koordinator darurat WFP di Suriah pada sebuah konferensi pers di New York.
Krisis makanan sebagian disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar, kurangnya impor dan para petani yang mengabaikan lahannya karena situasi yang tidak aman untuk bekerja.
“Saya sudah berhenti membeli daging,” ujar Qassem al-Zamel, seorang pegawai berumur 37 tahun.
Pemilik pasar swalayan Adib Mardini, 62, mengatakan semakin sedikit orang yang berbelanja meski ia telah menurunkan harga. “Orang sudah kehabisan uang,” ujarnya. (AP/Albert Aji dan Diaa Hadid)
Di salah satu kota yang dikuasai kelompok pemberontak, masyarakat harus menghiba untuk mendapatkan makanan yang sangat terbatas di sebuah dapur umum. Sementara itu, di sebuah kamp pengungsi di perbatasan Yordania, warga Suriah berpuasa di tengah terik dan debu gurun pasir, jauh dari keluarga.
Lembaga pangan PBB mengatakan bahwa tujuh juta orang saat ini bergantung pada bantuan makanan untuk bisa bertahan. Pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar negara itu, serta harga-harga yang melambung tinggi pada beberapa bulan terakhir, telah membuat banyak warga Suriah berjuang untuk hidup.
“Orang-orang datang ke dapur umum, menghiba mendapatkan remah-remah, membuat hati saya hancur,” ujar seorang aktivis di kota Maarat al-Numan di utara Suriah yang dikuasai pemberontak.
Ia mengatakan para aktivis menggunakan dapur umum untuk membagikan hidangan berbuka puasa sederhana yang terdiri dari nasi, sayuran dan sup untuk sekitar 400 keluarga yang paling membutuhkan. Ia hanya menyebut dirinya Abu Anas, karena takut dengan keselamatan dirinya.
Di kamp pengungsi Zaatari di padang pasir Yordania, banyak dari 120.000 warga Suriah yang tinggal di tenda-tenda di sana rindu rumah dan menderita.
“Berpuasa di kamp pengungsi ini sangat berat,” ujar Abu Qusai, 32, seorang pekerja bangunan asal provinsi Daraa, tempat pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad dimulai pada Maret 2011.
“Udara kering seperti tulang dan debu-debu beterbangan. Kami haus, kotor dan sangat tidak nyaman. Kami sudah muak.”
Puasa kali ini jatuh pada musim panas Timur Tengah yang ganas dengan siang hari yang panjang dan suhu yang bisa mencapai 50 derajat Celsius.
Bahkan mereka yang dianggap cukup beruntung karena dapat tinggal di rumah mengurangi pengeluaran untuk hidangan khas Ramadan karena mata uang mereka jatuh tajam, yaitu 270 pound untuk US$1. Hal ini membuat harga-harga akan naik lagi, meski menurut warga harga-harga sudah naik lima kali lipat.
Meski demikian, para warga di Damaskus mengatakan suasana lebih baik daripada tahun lalu, saat para pemberontak mencoba menyerbu ibukota. Pada beberapa bulan terakhir, militer telah membuat serangan dan berhasil membersihkan pemberontak dari banyak daerah di pinggiran ibukota dan bagian tengah negara. Terdorong situasi ini, banyak warga Suriah di luar negeri pulang untuk mengunjungi kerabat mereka Ramadan ini.
Pada Rabu, Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan mereka membutuhkan $27 juta setiap bulan untuk mengatasi peningkatan jumlah warga Suriah yang kelaparan karena perang dan krisis pengungsi di luar negeri.
Jika badan itu tidak menyediakan makanan, “mereka tidak akan bisa makan,” ujar Muhannad Hadi, koordinator darurat WFP di Suriah pada sebuah konferensi pers di New York.
Krisis makanan sebagian disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar, kurangnya impor dan para petani yang mengabaikan lahannya karena situasi yang tidak aman untuk bekerja.
“Saya sudah berhenti membeli daging,” ujar Qassem al-Zamel, seorang pegawai berumur 37 tahun.
Pemilik pasar swalayan Adib Mardini, 62, mengatakan semakin sedikit orang yang berbelanja meski ia telah menurunkan harga. “Orang sudah kehabisan uang,” ujarnya. (AP/Albert Aji dan Diaa Hadid)