Jamaah Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, menerima sejumlah intimidasi dari kelompok anti Syiah, yang memaksa mereka pindah aliran ke Sunni.
SURABAYA —
Sekitar 30 orang jamaah Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, dipaksa menandatangani surat pernyataan pindah aliran dari Syiah ke Sunni, menyusul terjadinya konflik yang memaksa warga Syiah mengungsi dari kampungnya, Agustus lalu.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Andy Irfan Junaidi mengatakan, warga Syiah itu mendapat tekanan untuk berpindah keyakinan, atau akan dibakar rumahnya. Andy menyesalkan keterlibatan pemerintah dan aparat di tingkat bawah, karena pemerintah yang seharusnya segera mewujudkan perdamaian di Sampang, tidak mampu mencegah potensi konflik muncul kembali.
“Kami prihatin dan melihat ini sebagai suatu upaya tidak sehat dari pemerintah dalam mendorong resolusi konflik di Sampang. Sejak awal kami telah mengingatkan pemerintah dan memberikan masukan-masukan tentang apa dan bagaimana untuk kita bisa mendorong resolusi konflik yang berbasis toleransi kepada kelompok minoritas. Tetapi hari ini kita melihat ternyata pemerintah tidak melakukan upaya-upaya itu,” ujar Andy.
“Yang terjadi justru sebaliknya, aparat pemerintah di lapangan bekerja sama dengan beberapa tokoh yang anti toleran, untuk memberikan desakan, bahkan dalam titik tertentu memberi ancaman kepada masyarakat Syiah.”
Gubernur Jawa Timur Soekarwo membantah adanya pemaksaan untuk pindah keyakinan, meski pihaknya mengakui ada upaya mengajak warga Syiah mengikuti Sunni.
“Gerakan penekanan tidak ada, tapi maksudnya itu iya memang begitu. Itu wajar toh, dari satu kelompok ini agar mereka ikut itu wajar. Terjadinya juga karena kasus itu (perbedaan keyakinan), terjadinya konflik. Tetapi menjadi suatu gerakan penekanan, tidak,” ujarnya.
Andy Irfan Junaidi, yang juga relawan untuk pengungsi Syiah menegaskan, pemerintah harus memberikan perlindungan yang sama terhadap setiap warga negaranya, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas. Penyelesaian konflik melalui dialog yang adil, ujarnya, harus dikedepankan pemerintah demi terciptanya perdamaian di Sampang.
“Pejabat pemerintah, baik dari Sampang maupun wilayah provinsi hanya melakukan sosialisasi dan menawar tanpa memberikan ruang dialog yang cukup bagi pengungsi, untuk memilih dan memberikan alternatif-alternatif yang logis dan adil buat mereka,” ujar Andy.
“Tanpa dialog yang adil, maka sampai kapan pun tidak akan ada penyelesaian, dan kayaknya pemerintah justru akan tetap bersikukuh pada relokasi. Dan apabila itu yang terjadi, maka ini tentu ini akan semakin memperkuat asumsi kita sejak awal, bahwa pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas di Indonesia.”
Soekarwo mengutarakan, pihaknya telah mengupayakan penanganan yang baik kepada pengungsi, termasuk dengan menyediakan rumah sementara di lokasi yang jauh dari kawasan konflik. Sementara itu, terkait perbedaan keyakinan yang menimbulkan konflik, Soekarwo mengatakan, bahwa hal tersebut masih dalam penanganan Kementerian Agama bersama tokoh agama setempat.
“Dalam rangka mendamaikan, kita berikan tempat. Terakhir, sampai 31 rumah kita siapkan, di sana juga tidak mau. Tapi kalau [terkait] keyakinan, saya tidak masuk, itu fungsinya Kementerian Agama, NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Ijabi, ABI, dan kemudian Majelis Ulama Indonesia, untuk saling membicarakan itu,” ujar Soekarwo.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Andy Irfan Junaidi mengatakan, warga Syiah itu mendapat tekanan untuk berpindah keyakinan, atau akan dibakar rumahnya. Andy menyesalkan keterlibatan pemerintah dan aparat di tingkat bawah, karena pemerintah yang seharusnya segera mewujudkan perdamaian di Sampang, tidak mampu mencegah potensi konflik muncul kembali.
“Kami prihatin dan melihat ini sebagai suatu upaya tidak sehat dari pemerintah dalam mendorong resolusi konflik di Sampang. Sejak awal kami telah mengingatkan pemerintah dan memberikan masukan-masukan tentang apa dan bagaimana untuk kita bisa mendorong resolusi konflik yang berbasis toleransi kepada kelompok minoritas. Tetapi hari ini kita melihat ternyata pemerintah tidak melakukan upaya-upaya itu,” ujar Andy.
“Yang terjadi justru sebaliknya, aparat pemerintah di lapangan bekerja sama dengan beberapa tokoh yang anti toleran, untuk memberikan desakan, bahkan dalam titik tertentu memberi ancaman kepada masyarakat Syiah.”
Gubernur Jawa Timur Soekarwo membantah adanya pemaksaan untuk pindah keyakinan, meski pihaknya mengakui ada upaya mengajak warga Syiah mengikuti Sunni.
“Gerakan penekanan tidak ada, tapi maksudnya itu iya memang begitu. Itu wajar toh, dari satu kelompok ini agar mereka ikut itu wajar. Terjadinya juga karena kasus itu (perbedaan keyakinan), terjadinya konflik. Tetapi menjadi suatu gerakan penekanan, tidak,” ujarnya.
Andy Irfan Junaidi, yang juga relawan untuk pengungsi Syiah menegaskan, pemerintah harus memberikan perlindungan yang sama terhadap setiap warga negaranya, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas. Penyelesaian konflik melalui dialog yang adil, ujarnya, harus dikedepankan pemerintah demi terciptanya perdamaian di Sampang.
“Pejabat pemerintah, baik dari Sampang maupun wilayah provinsi hanya melakukan sosialisasi dan menawar tanpa memberikan ruang dialog yang cukup bagi pengungsi, untuk memilih dan memberikan alternatif-alternatif yang logis dan adil buat mereka,” ujar Andy.
“Tanpa dialog yang adil, maka sampai kapan pun tidak akan ada penyelesaian, dan kayaknya pemerintah justru akan tetap bersikukuh pada relokasi. Dan apabila itu yang terjadi, maka ini tentu ini akan semakin memperkuat asumsi kita sejak awal, bahwa pemerintah tidak mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas di Indonesia.”
Soekarwo mengutarakan, pihaknya telah mengupayakan penanganan yang baik kepada pengungsi, termasuk dengan menyediakan rumah sementara di lokasi yang jauh dari kawasan konflik. Sementara itu, terkait perbedaan keyakinan yang menimbulkan konflik, Soekarwo mengatakan, bahwa hal tersebut masih dalam penanganan Kementerian Agama bersama tokoh agama setempat.
“Dalam rangka mendamaikan, kita berikan tempat. Terakhir, sampai 31 rumah kita siapkan, di sana juga tidak mau. Tapi kalau [terkait] keyakinan, saya tidak masuk, itu fungsinya Kementerian Agama, NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Ijabi, ABI, dan kemudian Majelis Ulama Indonesia, untuk saling membicarakan itu,” ujar Soekarwo.