Amannisa Abdulla membesarkan dua anaknya, usia 9 dan 4, tanpa suaminya. Perempuan Uyghur berusia 34 tahun itu mengatakan suaminya, Ahmed Talib, yang juga warga Uyghur, dideportasi ke China empat tahun lalu dari Uni Emirat Arab (UEA) tempatnya bekerja saat itu.
“Interpol di UEA menelepon saya dan mengatakan mereka mendeportasi suami saya pada 27 Februari 2018,” kata Abdulla kepada VOA. Ia mengatakan suaminya tidak melakukan kejahatan apapun.
Menurut sebuah laporan baru, Republik Rakyat China diyakini telah menargetkan ratusan warga Uyghur lainnya melalui metode serupa dalam beberapa tahun terakhir. Ini menciptakan apa yang dikatakan para peneliti sebagai sistem kompleks yang memungkinkan Beijing untuk melakukan kebijakan represifnya di luar negeri.
BACA JUGA: Alibaba dan Salah Satu Pendirinya Dituduh Dukung Penindasan terhadap Uyghur“China mengoperasikan jaringan global yang menjangkau 44 negara,” kata Bradley Jardine, penulis laporan dari Woodrow Wilson Center “The Great Wall of Steel: China's Global Campaign to Suppress the Uyghurs,” yang merinci pengejaran Beijing terhadap warga Uighur di seluruh dunia yang telah melarikan diri dari China.
Laporan itu mengatakan bahwa sejak 1997, “Republik Rakyat China telah terlibat dalam penindasan transnasional di 44 negara.” Pada Januari 2022, “ada 1.574 kasus penahanan dan pemulangan kembali secara paksa warga Uyghur ke China yang dilaporkan secara publik, di mana mereka menghadapi hukuman penjara dan penyiksaan dalam tahanan polisi.”
Laporan itu mengatakan ada “5.532 kasus tambahan pemerintah China yang menargetkan warga Uyghur di luar negeri menggunakan intimidasi dan pelecehan untuk memantau dan membungkam mereka.”
Jardine mengatakan bahwa selain menggunakan Red Notices — peringatan bahaya yang diedarkan ke seluruh dunia oleh Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) mengenai orang hilang, orang yang dicari karena kejahatan serius, kemungkinan ancaman, dan informasi lainnya — China juga menggunakan taktik “umum”, termasuk ancaman digital seperti serangan phishing, malware, dan pemaksaan melalui ancaman terhadap kerabat di Xinjiang.
Jardine menambahkan bahwa China paling aktif di negara-negara yang memiliki aturan hukum lemah dan kurangnya transparansi peradilan. [my/jm]