Ramadan tahun ini terasa berbeda dengan lonjakan harga kebutuhan pokok, kata Wael al Sulwi saat dirinya berbelanja persiapan bulan suci Ramadan di Ibu Kota Yaman, Sanaa.
“Ramadan tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, lonjakan harganya gila-gilaan. Dulu orang-orang mampu membeli beberapa barang kebutuhan, tapi tahun ini mereka benar-benar tidak berdaya akibat blokade yang melukai orang dan mempersulit hidup mereka," katanya.
Sentimen yang sama disampaikan warga Sanaa lainnya, Omar al-Kuhali.
“Kami menyambut Ramadan tahun ini dengan sangat prihatin karena tingginya harga bahan makanan. Penyebab utamanya adalah kenaikan harga turunan minyak, yang menyebabkan kenaikan harga secara umum," ujar dia.
Perang di Yaman selama tujuh tahun terakhir telah memecah negara itu ke dalam kelompok Houthi di utara dan pemerintahan yang diakui secara internasional, yang kini bermarkas di sekitar kota Aden di sisi selatan, setelah dipaksa keluar dari ibu kota, Sanaa, oleh Houthi pada 2014.
Perang itu telah mendorong jutaan orang ke dalam kondisi kelaparan. Mata uang yang terjun bebas di selatan dan kurangnya pasokan bahan bakar di utara telah menyebabkan pasokan makanan dan kebutuhan lainnya semakin di luar jangkauan sebagian besar warga Yaman.
Ibadah puasa di bulan Ramadan sendiri biasanya diakhiri dengan berbagai hidangan saat waktu buka puasa.
BACA JUGA: PBB Keluarkan $100 Juta Dana Darurat untuk Tujuh Lokasi Kelaparan di DuniaAkses terhadap bahan bakar menjadi semakin langka di seantero Yaman, terutama di wilayah kekuasaan Houthi akibat blokade yang diberlakukan koalisi pimpinan Arab Saudi, yang mendukung pemerintahan Yaman melawan kelompok Houthi.
Di kota Aden, mata uang riyal telah jatuh sekitar 20 persen terhadap dolar sejak Januari. Yaman sendiri memiliki dua bank sentral yang bersaing, sehingga nilai riyal berbeda-beda tergantung wilayahnya.
“Akibat blokade dan kenaikan harga turunan minyak, harga bahan makanan jadi tidak masuk akal. Orang-orang menderita. Ada orang yang tidak bisa membeli bahan pokok untuk bulan Ramadan dan ini adalah malapetaka," ujar Ahmad Sumay, profesor Universitas Sanaa.
Gencatan senjata selama dua bulan antara pihak-pihak yang bertikai, yang dimulai 2 April lalu, bertujuan untuk memberikan sedikit bantuan dengan mengizinkan pengiriman bahan bakar ke daerah-daerah Houthi. Meski demikian, dampaknya belum terasa. [rd/jm]