Skandal Penyadapan Telepon AP, Wartawan AS Prihatin Kebebasan Pers

  • Jim Malone

Kantor Associated Press di Manhattan, New York (foto: dok). Pemerintah AS diam-diam mengakses rekaman telepon wartawan dan editor kantor berita Associated Press.

Terungkapnya Departemen Kehakiman AS diam-diam mengambil rekaman telepon dari kantor berita Associated Press terkait penyelidikan yang bocor terus menuai reaksi keras.
Reaksi datang dari organisasi wartawan yang prihatin atas kebebasan pers dan pejabat pemerintah yang peduli keamanan nasional.

Berita bahwa pemerintah diam-diam mengakses rekaman telepon wartawan dan editor kantor berita Associated Press (AP) adalah bentrokan terbaru dari perseteruan yang sudah berlangsung lama antara wartawan, yang mencari kebenaran, melawan kebutuhan untuk melindungi keamanan nasional.

Pemerintah menyita rekaman 20 saluran telepon AP dan baru memberitahu kantor berita itu setelah melakukannya. Dulu, pemerintah biasanya menghubungi kantor berita itu sebelumnya, dan sering terjadi negosiasi tentang akses ke rekaman telepon dan informasi lain terkait kebocoran investigasi.

Tindakan pemerintah itu memicu kemarahan AP dan organisasi berita lain, kelompok-kelompok kebebasan pers dan American Civil Liberties Union.

Lucy Dalglish adalah dekan jurusan jurnalistik pada University of Maryland dan mantan direktur eksekutif Komite Wartawan untuk Kebebasan Pers.

Dalglish mengatakan, "Banyaknya rekaman yang mereka inginkan dan lamanya waktu penyelidikan benar-benar luar biasa dan sangat meresahkan."

Diyakini penyitaan rekaman telepon itu terkait berita AP tahun lalu yang merinci cara pejabat Amerika membongkar rencana teror al-Qaida di Yaman yang mencakup peledakan bom di dalam pesawat yang menuju Amerika.

Meskipun dikecam, Presiden Obama membela penyidikan kebocoran itu dalam jumpa pers di Gedung Putih.

"Saya tidak meminta maaf, dan menurut saya rakyat Amerika tidak akan berharap saya sebagai Panglima Tertinggi tidak perlu khawatir tentang informasi yang bisa membahayakan misi mereka atau mungkin membunuh mereka," bela Obama.

Pengamat menyatakan belum jelas apakah kemarahan media atas berita rekaman telepon itu akan menggalang dukungan publik bagi pers.

John Fortier dari Pusat Kebijakan Bipartisan mengatakan rakyat Amerika umumnya lebih menyukai pendekatan berimbang antara pers yang bebas dan keamanan nasional setelah serangan teroris tahun 2001.

Fortier mengatakan, "Jika kita lihat jajak pendapat, masih ada lembaga opini publik yang signifikan, sejumlah orang yang mengatakan, kami paham mengenai bahaya. Kami menginginkan kebebasan, tetapi kami juga berpendapat ada sejumlah kekuasaan pemerintah yang kami perlukan untuk melindungi kami. Jadi, menurut saya, itu adalah pandangan yang relatif seimbang."

Perdebatan mengenai kasus AP ini membangkitkan upaya Kongres menyetujui rancangan undang-undang perisai yang akan lebih melindungi wartawan dalam kasus di mana pemerintah meminta informasi pribadi dari wartawan dan editor.