Para wartawan di Hong Kong mengeluarkan sebuah petisi yang mendesak pemerintah mencabut RUU yang membatasi informasi mengenai data pribadi direktur-direktur perusahaan yang bisa diumumkan.
HONG KONG —
Para pengecam berpendapat, amandemen undang-undang itu akan membatasi kebebasan pers dan melindungi direktur-direktur yang mungkin melakukan korupsi dari pengawasan publik.
Usul amandemen tersebut akan menghilangkan keharusan para direktur perusahaan untuk mempublikasikan alamat rumah dan nomor kartu identitas mereka dalam daftar perusahaan yang bisa diakses oleh publik. Usul ini akan diperdebatkan di parlemen Hong Kong sebelum bulan Mei, dan bisa diberlakukan awal tahun depan.
Mak Yin-Ting, Kepala Asosiasi Wartawan Hong Kong, adalah panitia yang membuat petisi untuk menghapus rancangan amandemen tersebut. Ia mengatakan meskipun terkenal karena transparansi bisnisnya, Hong Kong menjadi semakin populer bagi para investor yang ingin menyembunyikan aset-aset mereka.
“Amandemen ini akan sangat menghambat pelaporan investigatif. Kami mendapati bahwa pemerintah menjadi lebih ketat soal kebebasan arus informasi. Kepentingan publik dinomor-duakan,” ujar Yin-Ting.
Meskipun Hong Kong menikmati otonomi hukum dan politik dari Tiongkok, para pengecam menyatakan prihatin bahwa pemerintah Tiongkok daratan mendesak para anggota parlemen Hong Kong untuk melakukan amandemen itu.
Perdebatan ini muncul hanya beberapa bulan setelah kantor-kantor berita Amerika – Bloomberg dan The New York Times – mempermalukan pemerintah Tiongkok dengan tuduhan-tuduhan korupsi yang setidaknya sebagian terbukti melalui riset atas beberapa pusat data perusahaan di Hong Kong.
Riset tersebut menunjukkan bahwa kepentingan-kepentingan bisnis milyaran dollar diinvestasikan oleh keluarga Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao dan Presiden Xi Jinping yang baru ditunjuk.
Mak Yin-Ting mengatakan situs kedua organisasi media Amerika itu masih diblokir di Tiongkok.
Ia menjelaskan, “Laporan adanya upaya menyalurkan kekayaan negara ke Hong Kong melalui keluarga-keluarga para pemimpin itu merupakan tugas sah yang dilakukan oleh wartawan. Jadi kami mendesak pemerintah Tiongkok untuk mencabut larangan tersebut sesegera mungkin, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Tiongkok memberlakukan kebebasan pers”.
Organisasi-organisasi yang mencakup Asosisasi Perbankan Hong Kong – sebuah badan hukum yang mewakili badan-badan keuangan dalam dan luar negeri – setuju bahwa mempertahankan akses publik pada data tersebut merupakan hal yang layak, guna mengamankan reputasi transparansi perusahaan di Hong Kong.
Namun para pendukung amandemen itu mengatakan, direktur perusahaan seharusnya diperbolehkan merahasiakan alamat rumah dan nomor identitas pribadinya. Mike Wong – eksekutif Dewan Perusahaan Hong Kong menyetujui hal ini.
Petisi yang diterbitkan dalam suratkabar lokal hari Senin, merupakan perselisihan terbaru atas pemimpin Hong Kong Leung Chun-Ying. Ribuan warga turun ke jalan-jalan bulan ini, menuduh pemimpin yang didukung Tiongkok itu kurang memiliki visi untuk memberantas kemiskinan yang sedang berkembang di kota itu, atau untuk menjalankan hak pilih yang universal. Beberapa jajak pendapat terbaru menunjukkan kepopuleran Leung Chun-Ying anjlok di bawah 30 persen sejak pidato kebijakan pertamanya.
Usul amandemen tersebut akan menghilangkan keharusan para direktur perusahaan untuk mempublikasikan alamat rumah dan nomor kartu identitas mereka dalam daftar perusahaan yang bisa diakses oleh publik. Usul ini akan diperdebatkan di parlemen Hong Kong sebelum bulan Mei, dan bisa diberlakukan awal tahun depan.
Mak Yin-Ting, Kepala Asosiasi Wartawan Hong Kong, adalah panitia yang membuat petisi untuk menghapus rancangan amandemen tersebut. Ia mengatakan meskipun terkenal karena transparansi bisnisnya, Hong Kong menjadi semakin populer bagi para investor yang ingin menyembunyikan aset-aset mereka.
“Amandemen ini akan sangat menghambat pelaporan investigatif. Kami mendapati bahwa pemerintah menjadi lebih ketat soal kebebasan arus informasi. Kepentingan publik dinomor-duakan,” ujar Yin-Ting.
Meskipun Hong Kong menikmati otonomi hukum dan politik dari Tiongkok, para pengecam menyatakan prihatin bahwa pemerintah Tiongkok daratan mendesak para anggota parlemen Hong Kong untuk melakukan amandemen itu.
Perdebatan ini muncul hanya beberapa bulan setelah kantor-kantor berita Amerika – Bloomberg dan The New York Times – mempermalukan pemerintah Tiongkok dengan tuduhan-tuduhan korupsi yang setidaknya sebagian terbukti melalui riset atas beberapa pusat data perusahaan di Hong Kong.
Riset tersebut menunjukkan bahwa kepentingan-kepentingan bisnis milyaran dollar diinvestasikan oleh keluarga Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao dan Presiden Xi Jinping yang baru ditunjuk.
Mak Yin-Ting mengatakan situs kedua organisasi media Amerika itu masih diblokir di Tiongkok.
Ia menjelaskan, “Laporan adanya upaya menyalurkan kekayaan negara ke Hong Kong melalui keluarga-keluarga para pemimpin itu merupakan tugas sah yang dilakukan oleh wartawan. Jadi kami mendesak pemerintah Tiongkok untuk mencabut larangan tersebut sesegera mungkin, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Tiongkok memberlakukan kebebasan pers”.
Organisasi-organisasi yang mencakup Asosisasi Perbankan Hong Kong – sebuah badan hukum yang mewakili badan-badan keuangan dalam dan luar negeri – setuju bahwa mempertahankan akses publik pada data tersebut merupakan hal yang layak, guna mengamankan reputasi transparansi perusahaan di Hong Kong.
Namun para pendukung amandemen itu mengatakan, direktur perusahaan seharusnya diperbolehkan merahasiakan alamat rumah dan nomor identitas pribadinya. Mike Wong – eksekutif Dewan Perusahaan Hong Kong menyetujui hal ini.
Petisi yang diterbitkan dalam suratkabar lokal hari Senin, merupakan perselisihan terbaru atas pemimpin Hong Kong Leung Chun-Ying. Ribuan warga turun ke jalan-jalan bulan ini, menuduh pemimpin yang didukung Tiongkok itu kurang memiliki visi untuk memberantas kemiskinan yang sedang berkembang di kota itu, atau untuk menjalankan hak pilih yang universal. Beberapa jajak pendapat terbaru menunjukkan kepopuleran Leung Chun-Ying anjlok di bawah 30 persen sejak pidato kebijakan pertamanya.