Presiden Joko Widodo telah melantik Letnan Jenderal (Letjen) Purnawirawan Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara, menggantikan Letnan Jenderal (Letjen) Purnawirawan Marciano Norman.
Kepada VOA, mantan gubernur DKI Jakarta itu menuturkan tantangan dan ancaman yang siap menghadang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kasus kekerasan 27 Juli 1996 saat ia menjabat Pangdam Jaya.
Sutiyoso juga menanggapi dugaan keterlibatan oknum BIN dalam kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.
Berikut cuplikan wawancara eksklusif VOA Jakarta bersama dengan Kepala BIN Sutiyoso.
VOA: Apa kabar bang Yos ?
Sutiyoso : Baik, alhamdulillah.
Apa yang Bang Yos rasakan saat mendengar Presiden Joko Widodo menunjuk anda sebagai Kepala BIN?
Sebelum saya menjadi Gubernur DKI saat masih di angkatan darat, itu seringkali saya mendapat penugasan. Baik itu di basis ataupun tiba-tiba saya disuruh berangkat operasi. Penugasan itu bagi saya apapun itu saya selalu siap, kapan pun itu.
Ada beberapa pihak yang melihat bahwa BIN kurang cepat dalam memberikan informasi kepada TNI atau Polri untuk menyikapi ancaman terhadap negara.
Jadi tugas BNI itu sangat luas. Semua aspek kehidupan. Ideologikah? Jangan sampai Pancasila dibelokkan menjadi asas lain atau ideologi lain. Oleh karena itu, BIN diberikan kewenangan yang luas untuk bisa masuk mencari keterangan di mana saja.
Sebagian pengguna dunia maya itu justru adalah anak-anak muda. Nah inilah, paham-paham radikalisme, separatisme, terorisme, bisa infiltrasi melalui dunia maya ini. Oleh karena itu kita harus punya alat yang super modern yang bisa menjawab tantangan dan ancaman seperti ini. Baik terhadap infiltrasi dunia maya maupun protect terhadap komunikasi terhadap pejabat tinggi negara khususnya Presiden. BIN itu mengkoordinir semua intelijen. Kepolisian, Kejaksaan, TNI. Nggak boleh jalan sendiri-sendiri.
Tim pengawas intelijen yang saat ini masih dalam pembahasan di Komisi I DPR. Anda sendiri melihatnya seperti apa?
Kalau itu nanti dibentuk, tentu ada mekanisme kerjanya gimana. Jangan sampai (malah) mengganggu BIN itu sendiri. Badan pengawas ini kan turun apabila ada masalah. Ada sebuah kasus. Kalau tidak ya, untuk apa dia mengawasi kita terus. Ya tentu kita nggak nyaman untuk kerja.
Terkait dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, bagaimana untuk mencegah agar peristiwa ini tidak terulang lagi?
Memang di dalam teori operasi penggalangan itu ada penggalangan yang lunak dan ada penggalangan yang keras. Saya tegaskan, ke depannya tidak boleh lagi ada penggalangan dengan cara keras kayak gitu. Kalau ada orang yang kontra, ya kita gunakan cara-cara yang halus. Bukan cara-cara seperti itu. Kalau kasus ini mau diangkat, andaikata kita dianggap punya informasi yang diperlukan, ya pasti kita bantu.
Your browser doesn’t support HTML5
Ada beberapa kelompok masyarakat yang melakukan gugatan kepada bapak terkait kasus 27 Juli 1996. Tanggapan Anda?
Sekali lagi saya tegaskan kepada masyarakat ya, bahwa kasus 27 Juli itu tidak termasuk pelanggaran HAM. Korban lima orang itu jelas sekali akibat apa. Tidak seorang pun akibat tindakan aparat. Jadi di mana salahnya?
Apa yang menjadi perhatian dari Anda untuk bisa mencegah masuknya pengaruh kelompok Negara Islam (ISIS) ke Indonesia?
Islam itu adalah rahmatan lil alamin yang artinya agama yang membawa kedamaian. Jadi paham radikalisme seperti itu sudah pasti bukan Islam. Nah, oleh karena itu kita harus bisa melakukan seperti brainwash. Mencuci otak-otak orang yang sudah sesat ini. Dan BIN harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak. Khususnya dengan pemuka agama.