Tiga warga Indonesia keluarga Situmeang turut menjadi korban luka dalam insiden penembakan di Colorado hari Jumat (20/7). Berikut wawancara dengan Anggiat Mora Situmeang oleh reporter VOA, Eva Mazrieva.
Eva: Pertama kali kami dari VOA Siaran Indonesia ingin menyampaikan simpati atas musibah yang Bapak alami. Satu hal yang tentunya tidak kita inginkan.
Anggiat Situmeang: Terima kasih banyak Mbak Eva.
Eva: Saya mendapat informasi bahwa Bapak malam itu menyaksikan film “Batman – The Dark Knight Rises” itu jam 00:05 di ruang bioskop kedua. Benarkah demikian?. Lalu bagaimana detil penembakan yang terjadi di dalam ruangan?
Anggiat: Iya Mbak. Movie yang jam 00:01 sudah penuh, lalu dibuka lagi jam 00:05 di teater 9 – yang kami tonton, dan karena penuh sesak jadi dibuka lagi jam 00:10 di teater 16. Filmnya sama tapi malam itu pemutaran perdana jadi penuh sesak. Teaternya ini berdekatan. Saya masuk di teater 9, cari-cari bangku di tengah-tengah. Tepat pukul 00:05 film ini diputar. Kira-kira film berjalan lima menit, saya lihat ada benda melayang dari depan kanan ke tembok kiri di sisi saya. Benda ini melewati beberapa penonton.
Eva: Benda ini bukan peluru?.
Anggiat: Bukan. Warnanya hitam seperti pentungan. Ukurannya sejengkal dan mengeluarkan desis. Saya pikir ini bagian dari entertainment movie – pertunjukkannya. Jadi penonton di sekitar saya tertawa dan bertepuk tangan. Karena saya lihat benda itu melayang ke depan kanan saya, tiba-tiba orang itu berdiri menghadap saya, dan mulailah terjadi tembakan.
Eva: Orang yang Bapak lihat itu berpakaian biasa atau mengenakan kostum tertentu?
Anggiat: Seperti statement saya kepada polisi disini, saya pertama kali mengira ia orang kulit hitam. Tapi ternyata statement saya itu salah karena ia justru mengenakan topeng seperti yang ada di film.
Eva: Lalu mulailah terjadi penembakan?
Anggiat: Iya! Pertama kali rentetan lima peluru. Disitu saya sadar ini bukan bagian dari pertunjukkan. Saya bilang ke anak dan istri, ini penembakan. Saya suruh mereka tiarap. Kondisi tiarap tidak bisa langsung ke lantai seperti tentara, karena ruang antar baris tempat duduk sangat sempit, jadi kami tiarap di kursi. Jadi kami seperti menungging saja. Itu penembakan pertama. Lalu berhenti sekitar 30 detik, dilanjutkan rentetan tembakan kedua kurang lebih 10-12 peluru. Salah satunya kena lantai di bawah saya, percikan lantai mental ke mata kiri saya. Sampai sekarang mata saya memar. Lalu tembakan berhenti lagi sekitar 30 detik. Nah disitulah saya ambil keputusan dengan keluarga untuk lari – keluar dari gedung. Anak saya di depan, istri dan saya lari di belakang mereka. Saya tidak tahu mengapa anak saya itu lari justru ke arah penembak. Saya sebagai orang tua tidak mau pisah. Masa anak dan istri ke kanan, saya malah ke arah sebaliknya. Saya juga feeling penembak itu tidak diam tapi bergerak kesana kemari. Dalam session ini saya sudah tidak melihat dimana sang penembak itu. Yang jelas saya terakhir lihat dia berdiri di baris pertama teater itu. Jadi kami lari ke pintu exit di depan, butuh waktu sekitar 10 detik untuk cari dimana pintunya karena suasana sangat gelap. Di situlah kami kena tembak!. Di pintu itu kami berlima. Saya paling belakang, istri, anak dan dua orang lagi laki-laki dan perempuan. Di situ kena tembak tiga orang – si Rita istri saya, (anak saya) si Prodeo et Patria. Saya ini…. Ah…. . Pintu sudah terbuka. Maaf saya tidak kuat Bu… Saya tidak tahan untuk tidak…. Maaf saya jadi nangis Bu…. Maaf sebentar yaa. Saya menyesal sekali. Sudah sampai pintu kok malah kena tembak. Saya menyesal menyuruh mereka keluar. Andaikan masih tiarap pasti tidak kena tembak. Saya tidak habis menyesal….
Eva: Ini insting kita sebagai manusia Pak. Kita pasti mencari jalan untuk selamat.
Anggiat: Iya Bu. Laki-laki yang kena tembak di depan saya itu, kakinya rusak. Besar sekali dia. Dipanggul sama temannya yang perempuan. Prodeo masih jalan. Rita jatuh di lantai, jadi saya panggul dia kurang lebih 30 kaki, saya tidak kuat lagi. Saya kehabisan nafas dan saya bilang sama mereka, “stop Prodeo sampai di sini saja lah!”. Karena memang lampu polisi dari kejauhan sudah terlihat. Tapi saya sudah kehabisan nafas. Tidak bisa ngomong lagi. Saya sadarkan istri saya ke tembok. Dia sudah tidak bisa ngomong. Saya lihat darah keluar tapi gak tahu dari mana. Tiba-tiba anak saya memanggil dengan suara lemas. Ini lagi Bu… Maaf…. Saya tidak kuat. Saya menangis kalau ingat bagian ini. Anak itu panggil saya. “Dad – aku kena tembak juga!”. Jadi dia waktu di pintu exit sebenarnya sudah tertembak, tapi masih menolong orang. Saya betul-betul sedih. Dia bilang “Dad – coba lihat dulu. Ini belakang saya sakit sekali!”. Terus saya angkat bajunya dan lihat lobang di pinggang bagian bawah. Jadi kalau dia nafas atau bergerak keluar darah mengucur. Saya sedih sekali. Maaf Bu….. . Akhirnya saya tuntun dia duduk dekat mamaknya. Disitu pun dia masih ngurus mamaknya. Dia berulang kali bilang “Mom – you have to say something… Please Mom! Please”. Dia takut sekali mamaknya pergi karena sudah diam saja. Terkulai lemas tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk mengangkat kepala.
Eva: Setelah itu polisi datang?
Anggiat: Iya! Kami dibawa ke rumah sakit tidak dengan ambulan tapi dengan mobil polisi. Kami didudukkan bertiga di belakang mobil polisi. Satu perempuan lagi didudukkan di bangku depan. Kami dilarikan di university hospital. Kaki Rita saya ikat dengan kaos atau semacam jaket begitu milik salah seorang penonton yang saya temukan. Selanjutnya Rita dipindahkan ke RS Denver karena ini khusus rumah sakit untuk tulang.
Eva: Ibu Rita masih menjalani operasi sekarang?
Anggiat: Iya! Kami sedang menunggu di luar.
Eva: Operasi ini untuk mengeluarkan proyektil peluru atau mengobati luka terkena peluru?
Anggiat: Dokter sebut itu “fragment” (kepingan). Saya tidak tahu apa bedanya itu bullet dengan “fragment”. Yang jelas di lengan kirinya ada dua lobang dan merusak siku. Saya gak jelas sikunya lepas atau patah. Tapi menurut dokter cukup berat karena tidak hanya bisa dibersihkan dan dibuang “fragment”nya tapi juga dibetulkan sikunya. Untuk yang kaki “fragment”nya dibiarkan, tidak diambil.
Eva: Bagaimana dengan Prodeo?
Anggiat: Anak saya itu juga dibiarkan. Memang yang bersarang itu peluru tapi dibiarkan karena menurut dokter peluru berhenti di tempat yang aman, di lemak. Peluru berhenti di pinggang sebelah kanan. Tidak ada surgery. Dianggap luka biasa dan akan sembuh kembali lukanya.
Eva: Jadi menurut dokter, peluru itu tidak akan menimbulkan dampak apapun untuk perkembangannya?
Anggiat: Nah ini juga yang membingungkan karena saya memang tidak bisa menyerap keterangan dokter sepenuhnya. Ketika mereka bilang “the bullet stop in the safe place”, saya gak paham apa itu “safe place”. Saya butuh anggota keluarga yang paham soal medis. Saya sebetulnya ingin juga dapat keterangan, apa akibat dari keberadaan peluru itu disana?. Bagaimana kalau si Prodeo yang sekarang kelas 10 ini nanti ikut PE (pelajaran olah raga)?. Atau ada rencana untuk diangkat dalam 1-2 tahun. Apalagi anak saya baru 14 tahun.
Eva: Apa benar rumah sakit tempat korban dirawat sekarang dijaga pihak berwenang dan Bapak sendiri sudah berulangkali diinterogasi mereka?
Anggiat: Iya. Saya sudah diwawancarai enam kali oleh orang yang berbeda-beda. Sampai-sampai pakaian, celana dan sepatu saya diambil. Saya sempat jalan-jalan satu hari penuh dengan seragam rumah sakit yang terbuat dari kertas. Hanya beralas sandal rumah sakit. Susah sekali pertama-tama di Denver ini. Tapi saya sudah sempat pulang ke rumah, ambil pakaian untuk istri dan anak saya. Apalagi saya dengar banyak pejabat kita mau datang, yaaa saya harus rapi sedikit lah! Hahaha….
Eva: Adakah anggota keluarga dari Indonesia yang akan datang ke Denver?
Anggiat: Ada adik ipar saya, saudara kembar si Rita – namanya Rina – yang akan bertolak dari Jakarta. Sedang menunggu bantuan bapak-bapak berwenang di Jakarta supaya dimudahkan pemberangkatannya. Semoga ia bisa jadi teman si Rita untuk pengobatan.
Eva: Mengingat profesi Bapak sebagai “perawat”. Apakah akan cuti sejenak dari pekerjaan ini?
Anggiat: “Saya ini khan CNA (certified nurse aid) di dua tempat Bu. Saya bekerja tujuh hari dalam seminggu. Di Heritage Club dan Aspen Viestas – keduanya “nursing home”. Isteri saya juga tapi hanya di satu tempat saja”.
Eva: Baik Pak Anggiat, terima kasih sekali atas kesempatan wawancara yang diberikan. Sampaikan salam kami dari VOA untuk ibu Rita dan Prodeo agar diberi kekuatan dan cepat sembuh kembali.
Anggiat: Terima kasih banyak Mbak Eva.
Anggiat Situmeang: Terima kasih banyak Mbak Eva.
Eva: Saya mendapat informasi bahwa Bapak malam itu menyaksikan film “Batman – The Dark Knight Rises” itu jam 00:05 di ruang bioskop kedua. Benarkah demikian?. Lalu bagaimana detil penembakan yang terjadi di dalam ruangan?
Anggiat: Iya Mbak. Movie yang jam 00:01 sudah penuh, lalu dibuka lagi jam 00:05 di teater 9 – yang kami tonton, dan karena penuh sesak jadi dibuka lagi jam 00:10 di teater 16. Filmnya sama tapi malam itu pemutaran perdana jadi penuh sesak. Teaternya ini berdekatan. Saya masuk di teater 9, cari-cari bangku di tengah-tengah. Tepat pukul 00:05 film ini diputar. Kira-kira film berjalan lima menit, saya lihat ada benda melayang dari depan kanan ke tembok kiri di sisi saya. Benda ini melewati beberapa penonton.
Eva: Benda ini bukan peluru?.
Anggiat: Bukan. Warnanya hitam seperti pentungan. Ukurannya sejengkal dan mengeluarkan desis. Saya pikir ini bagian dari entertainment movie – pertunjukkannya. Jadi penonton di sekitar saya tertawa dan bertepuk tangan. Karena saya lihat benda itu melayang ke depan kanan saya, tiba-tiba orang itu berdiri menghadap saya, dan mulailah terjadi tembakan.
Eva: Orang yang Bapak lihat itu berpakaian biasa atau mengenakan kostum tertentu?
Anggiat: Seperti statement saya kepada polisi disini, saya pertama kali mengira ia orang kulit hitam. Tapi ternyata statement saya itu salah karena ia justru mengenakan topeng seperti yang ada di film.
Eva: Lalu mulailah terjadi penembakan?
Anggiat: Iya! Pertama kali rentetan lima peluru. Disitu saya sadar ini bukan bagian dari pertunjukkan. Saya bilang ke anak dan istri, ini penembakan. Saya suruh mereka tiarap. Kondisi tiarap tidak bisa langsung ke lantai seperti tentara, karena ruang antar baris tempat duduk sangat sempit, jadi kami tiarap di kursi. Jadi kami seperti menungging saja. Itu penembakan pertama. Lalu berhenti sekitar 30 detik, dilanjutkan rentetan tembakan kedua kurang lebih 10-12 peluru. Salah satunya kena lantai di bawah saya, percikan lantai mental ke mata kiri saya. Sampai sekarang mata saya memar. Lalu tembakan berhenti lagi sekitar 30 detik. Nah disitulah saya ambil keputusan dengan keluarga untuk lari – keluar dari gedung. Anak saya di depan, istri dan saya lari di belakang mereka. Saya tidak tahu mengapa anak saya itu lari justru ke arah penembak. Saya sebagai orang tua tidak mau pisah. Masa anak dan istri ke kanan, saya malah ke arah sebaliknya. Saya juga feeling penembak itu tidak diam tapi bergerak kesana kemari. Dalam session ini saya sudah tidak melihat dimana sang penembak itu. Yang jelas saya terakhir lihat dia berdiri di baris pertama teater itu. Jadi kami lari ke pintu exit di depan, butuh waktu sekitar 10 detik untuk cari dimana pintunya karena suasana sangat gelap. Di situlah kami kena tembak!. Di pintu itu kami berlima. Saya paling belakang, istri, anak dan dua orang lagi laki-laki dan perempuan. Di situ kena tembak tiga orang – si Rita istri saya, (anak saya) si Prodeo et Patria. Saya ini…. Ah…. . Pintu sudah terbuka. Maaf saya tidak kuat Bu… Saya tidak tahan untuk tidak…. Maaf saya jadi nangis Bu…. Maaf sebentar yaa. Saya menyesal sekali. Sudah sampai pintu kok malah kena tembak. Saya menyesal menyuruh mereka keluar. Andaikan masih tiarap pasti tidak kena tembak. Saya tidak habis menyesal….
Eva: Ini insting kita sebagai manusia Pak. Kita pasti mencari jalan untuk selamat.
Anggiat: Iya Bu. Laki-laki yang kena tembak di depan saya itu, kakinya rusak. Besar sekali dia. Dipanggul sama temannya yang perempuan. Prodeo masih jalan. Rita jatuh di lantai, jadi saya panggul dia kurang lebih 30 kaki, saya tidak kuat lagi. Saya kehabisan nafas dan saya bilang sama mereka, “stop Prodeo sampai di sini saja lah!”. Karena memang lampu polisi dari kejauhan sudah terlihat. Tapi saya sudah kehabisan nafas. Tidak bisa ngomong lagi. Saya sadarkan istri saya ke tembok. Dia sudah tidak bisa ngomong. Saya lihat darah keluar tapi gak tahu dari mana. Tiba-tiba anak saya memanggil dengan suara lemas. Ini lagi Bu… Maaf…. Saya tidak kuat. Saya menangis kalau ingat bagian ini. Anak itu panggil saya. “Dad – aku kena tembak juga!”. Jadi dia waktu di pintu exit sebenarnya sudah tertembak, tapi masih menolong orang. Saya betul-betul sedih. Dia bilang “Dad – coba lihat dulu. Ini belakang saya sakit sekali!”. Terus saya angkat bajunya dan lihat lobang di pinggang bagian bawah. Jadi kalau dia nafas atau bergerak keluar darah mengucur. Saya sedih sekali. Maaf Bu….. . Akhirnya saya tuntun dia duduk dekat mamaknya. Disitu pun dia masih ngurus mamaknya. Dia berulang kali bilang “Mom – you have to say something… Please Mom! Please”. Dia takut sekali mamaknya pergi karena sudah diam saja. Terkulai lemas tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk mengangkat kepala.
Eva: Setelah itu polisi datang?
Anggiat: Iya! Kami dibawa ke rumah sakit tidak dengan ambulan tapi dengan mobil polisi. Kami didudukkan bertiga di belakang mobil polisi. Satu perempuan lagi didudukkan di bangku depan. Kami dilarikan di university hospital. Kaki Rita saya ikat dengan kaos atau semacam jaket begitu milik salah seorang penonton yang saya temukan. Selanjutnya Rita dipindahkan ke RS Denver karena ini khusus rumah sakit untuk tulang.
Eva: Ibu Rita masih menjalani operasi sekarang?
Anggiat: Iya! Kami sedang menunggu di luar.
Eva: Operasi ini untuk mengeluarkan proyektil peluru atau mengobati luka terkena peluru?
Anggiat: Dokter sebut itu “fragment” (kepingan). Saya tidak tahu apa bedanya itu bullet dengan “fragment”. Yang jelas di lengan kirinya ada dua lobang dan merusak siku. Saya gak jelas sikunya lepas atau patah. Tapi menurut dokter cukup berat karena tidak hanya bisa dibersihkan dan dibuang “fragment”nya tapi juga dibetulkan sikunya. Untuk yang kaki “fragment”nya dibiarkan, tidak diambil.
Eva: Bagaimana dengan Prodeo?
Anggiat: Anak saya itu juga dibiarkan. Memang yang bersarang itu peluru tapi dibiarkan karena menurut dokter peluru berhenti di tempat yang aman, di lemak. Peluru berhenti di pinggang sebelah kanan. Tidak ada surgery. Dianggap luka biasa dan akan sembuh kembali lukanya.
Eva: Jadi menurut dokter, peluru itu tidak akan menimbulkan dampak apapun untuk perkembangannya?
Anggiat: Nah ini juga yang membingungkan karena saya memang tidak bisa menyerap keterangan dokter sepenuhnya. Ketika mereka bilang “the bullet stop in the safe place”, saya gak paham apa itu “safe place”. Saya butuh anggota keluarga yang paham soal medis. Saya sebetulnya ingin juga dapat keterangan, apa akibat dari keberadaan peluru itu disana?. Bagaimana kalau si Prodeo yang sekarang kelas 10 ini nanti ikut PE (pelajaran olah raga)?. Atau ada rencana untuk diangkat dalam 1-2 tahun. Apalagi anak saya baru 14 tahun.
Eva: Apa benar rumah sakit tempat korban dirawat sekarang dijaga pihak berwenang dan Bapak sendiri sudah berulangkali diinterogasi mereka?
Anggiat: Iya. Saya sudah diwawancarai enam kali oleh orang yang berbeda-beda. Sampai-sampai pakaian, celana dan sepatu saya diambil. Saya sempat jalan-jalan satu hari penuh dengan seragam rumah sakit yang terbuat dari kertas. Hanya beralas sandal rumah sakit. Susah sekali pertama-tama di Denver ini. Tapi saya sudah sempat pulang ke rumah, ambil pakaian untuk istri dan anak saya. Apalagi saya dengar banyak pejabat kita mau datang, yaaa saya harus rapi sedikit lah! Hahaha….
Eva: Adakah anggota keluarga dari Indonesia yang akan datang ke Denver?
Anggiat: Ada adik ipar saya, saudara kembar si Rita – namanya Rina – yang akan bertolak dari Jakarta. Sedang menunggu bantuan bapak-bapak berwenang di Jakarta supaya dimudahkan pemberangkatannya. Semoga ia bisa jadi teman si Rita untuk pengobatan.
Eva: Mengingat profesi Bapak sebagai “perawat”. Apakah akan cuti sejenak dari pekerjaan ini?
Anggiat: “Saya ini khan CNA (certified nurse aid) di dua tempat Bu. Saya bekerja tujuh hari dalam seminggu. Di Heritage Club dan Aspen Viestas – keduanya “nursing home”. Isteri saya juga tapi hanya di satu tempat saja”.
Eva: Baik Pak Anggiat, terima kasih sekali atas kesempatan wawancara yang diberikan. Sampaikan salam kami dari VOA untuk ibu Rita dan Prodeo agar diberi kekuatan dan cepat sembuh kembali.
Anggiat: Terima kasih banyak Mbak Eva.