VOA: Apa pendapat Anda mengenai pemilihan presiden di Indonesia tahun ini?
Forrester: Saya bisa katakan bahwa ini adalah salah satu pemilihan paling transparan dalam sejarah demokrasi. Sesuatu yang belum disadari oleh banyak orang. Tetapi dengan begitu banyaknya warga yang mengawasi, fakta bahwa mereka dapat melihatnya di Internet dan mengikuti penghitungan suara di setiap TPS, setiap kabupaten di seluruh Indonesia dan juga melakukan penghitungan sendiri, ini memastikan bahwa pemilihan ini suatu hal yang luar biasa menurut saya, demokrasi membaik dan semakin matang. Satu-satunya pengecualian bagi saya adalah kedua kandidat tidak menggunakan pendekatan yang sama. Jokowi, sebagai pemenang dan pemimpin, selama ini berada di posisi yang menguntungkan. Pesaingnya, Prabowo, mengalami kesulitan dalam proses ini dan ada sinyal mengenai ketidakmatangan dalam sistem yang membuat ia tidak dapat menyetujui hasilnya sewaktu diumumkan atau bahkan sebelum diumumkan. Tetapi secara keseluruhan, saya angkat jempol untuk Indonesia dalam hal ini.
VOA: Apa yang harus menjadi prioritas presiden terpilih Joko Widodo begitu ia mulai menjabat?
Forrester: Banyak yang harus ia prioritaskan, termasuk di antaranya mengurangi subsidi harga BBM dan merencanakan program yang lebih baik mengenai pembangunan prasarana. Ia akan perlu membangun koalisi legislatif di parlemen, karena mungkin ia akan perlu meminta bantuan parlemen soal perundang-undangan untuk melaksanakan agendanya. Tetapi yang jelas, lapangan kerja dan ekonomi, bersama-sama dengan prasarana, harus menjadi prioritas teratasnya. Angka pertumbuhan Indonesia hanya 5 – 5,2 persen. Ini tidak memadai untuk menyerap banyak tenaga kerja muda yang baru lulus dari SMA atau bahkan perguruan tinggi. Kebijakan-kebijakan ekonomi juga harus ditinjau ulang dengan serius. Menurut saya, tidak bijak jika Jokowi melanjutkan kebijakan yang diambil selama ini. Ini menjadi opini sebagian besar di kalangan bisnis.
VOA: Mana yang perlu diprioritaskan, agenda domestik atau internasionalnya?
Forrester: Agenda domestiknya menjadi hal paling menantang baginya. Menurut saya ia tidak perlu terlalu banyak memasukkan prioritas dalam urusan internasional. Pendahulunya, SBY, melaksanakan tugas dengan baik selama dua masa jabatannya dengan mengangkat nama Indonesia di arena internasional dalam berbagai forum; lingkungan hidup, bisnis, dan sebagainya. Ini menyedot banyak perhatian terhadap demokrasi di Indonesia, bagaimana negara ini cepat pulih setelah krisis finansial tahun 2008 dan bahkan sebelum itu, pada masa jabatan pertamanya, bangkit kembali dari krisis finansial tahun 1998. Tetapi mengingat latar belakang Jokowi, kekuatannya adalah ia memiliki pengalaman menjadi walikota, gubernur, dan kini negara. Ia perlu mengajukan solusi yang lebih praktis untuk memajukan perekonomian dan infrastruktur di negara ini. Pemerintahan sebelumnya mengalami kesulitan melakukan hal tersebut, terutama pada masa jabatan keduanya.
VOA: Bagaimana dengan pendapat beberapa kalangan bahwa ia kurang punya pengalaman internasional?
Forrester: Dia bukannya belum pernah bepergian ke luar negeri. Sewaktu menjadi pengusaha furniture, ia harus ke luar negeri untuk mengunjungi para pelanggannya, jadi ia pernah ke Amerika Serikat. Saya sendiri pernah bertemu Jokowi sewaktu ia menjadi walikota Solo dan kami mengunjungi pabrik furniturenya bersama-sama. Ia menceritakan kunjungannya ke North Carolina ke sebuah pasar furniture besar di sana. Jadi menurut saya ia punya pengetahuan yang bagus mengenai cara kerja internasional dari sudut pandang bisnis. Tetapi, Indonesia kan juga tidak menghadapi ancaman internasional sekarang ini. Tidak ada kekhawatiran mengenai keamanan internasional. Dia, sebagai pemimpin negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia seharusnya punya pengaruh juga mengenai apa yang terjadi di Timur Tengah. Ia dapat mengomentari peristiwa di sana, ia dapat mengirim utusan ke sana. Tetapi ia tidak perlu membuatnya sebagai prioritas. Menurut saya dunia ingin melihat Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dapat melakukan lebih banyak pembaruan, modernisasi, dan menyelesaikan sejumlah isu yang menghalangi negara ini berkembang sebagaimana seharusnya, mengingat potensi dan sumber daya alamnya yang luar biasa, iklimnya yang baik dan berbagai kelebihan lainnya.
VOA: Di bawah kepemimpinannya nanti, apakah Joko Widodo akan melakukan perubahan besar-besaran?
Forrester: Saya perkirakan tidak akan ada perubahan besar. Menurut saya mungkin ada beberapa perubahan kecil yang secara keseluruhan akhirnya akan menjadi perubahan besar. Jokowi seorang yang berhati-hati tetapi juga praktis. Birokrasi akan mendapat peringatan darinya dengan blusukan-blusukan yang dilakukannya. Setidaknya itulah yang dikemukakan selama kampanye. Tetapi saya berharap ia akan bersikap lebih praktis terkait isu tertentu dalam hal perdagangan internasional dan investasi asing. Ia akan memerlukan penjelasan yang lengkap dari banyak orang dari beragam latar belakang untuk benar-benar mengetahui apa yang menjadi tantangan sesungguhnya. Ia belum membahasnya secara jelas dalam kampanye dan agendanya, jadi dalam hal ini agak sulit berkomentar mengenai apa yang harus ia lakukan. Saya perkirakan tidak akan ada perubahan besar, setidaknya dalam enam bulan mendatang.
VOA: Apa hal mendesak yang perlu ia lakukan sekarang ini?
Forrester: Ia harus membangun koalisi yang lebih baik di dalam parlemen. Sudah ada tanda-tanda bahwa ia mungkin mampu membangun koalisi dengan beberapa partai yang tidak termasuk koalisi awal pada pemilu ini. Ia memerlukan agenda yang lebih solid di parlemen. Ini perlu kerja keras. Ia harus mengembangkan pendekatan yang lebih baik untuk pembiayaan infrastruktur. Ia perlu melakukan pendekatan yang lebih profesional dalam pengambilan kebijakan bidang ekonomi. Dan tampaknya ia berkomitmen untuk menempatkan lebih banyak teknokrat dan profesional dalam posisi-posisi senior di pemerintahan. Menurut saya ini akan lebih bermanfaat bagi Indonesia agar perdagangan dan investasi lebih terbuka lagi dibandingkan dengan sekarang ini. Ada berbagai jenis larangan impor dan ekspor yang dirancang dalam beberapa tahun belakangan, yang menurut saya sesuai dengan kepentingan jangka panjang Indonesia. Ia perlu meninjau dengan serius hal-hal tersebut dan mungkin meninjaunya agar defisit neraca berjalan sekarang ini tidak begitu besar lagi. Ini isu yang masih terus dihadapi Indonesia. Defisit neraca berjalan akan mempersulit upaya menarik investasi. Dan ini juga akan semakin mempersulit Indonesia melakukan pembayaran karena nilai rupiah tidak sesuai dengan nilai riilnya. Semuanya itu saling terkait. Jika Indonesia tidak dapat mengekspor komoditas yang mendatangkan banyak pendapatan atau komoditas setengah-jadi, maka tidak akan ada penghasilan valuta asing. Jadi Ia harus meninjau semuanya secara lebih menyeluruh dan mengaitkan semua kebijakan dari berbagai kementerian agar dapat terjalin kerjasama. Ini akan memerlukan banyak upaya dan ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan sesegera mungkin.
VOA: Apa yang perlu diperhatikan pemerintah mendatang untuk menjalin hubungan bisnis Amerika dan Indonesia yang sukses?
Forrester: Amerika Serikat dan Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang kuat. Kami salah satu yang terbesar, atau malah mungkin investor asing terbesar di Indonesia. Bisnis kami sedang bersiap-siap, bahkan pada waktu kita berbicara ini, untuk menginvestasikan beberapa miliar, hingga 70 atau 80 miliar dolar dalam lima tahun mendatang jika pemerintah dan kebijakan-kebijakannya berjalan lancar. Energi dan pertambangan merupakan bidang terkuat bagi investasi asing, khususnya dari Amerika Serikat. Akan sangat membantu dan penting sekali untuk meninjau dengan cermat kebijakan energi dan pertambangan sekarang ini, karena banyak perselisihan mengenai kontrak yang masih perlu diselesaikan. Ada larangan ekspor yang mungkin diajukan ke arbitrasi internasional atau WTO. Saya kira pemerintahan Jokowi tidak ingin masalah-masalah ini terus ada di sektor yang begitu penting bagi Indonesia, yakni energi dan sumber daya alam. Tapi itulah yang ia hadapi dari pemerintahan sebelumnya. Ada pula kebijakan impor terhadap buah dan sayuran Amerika yang belum terselesaikan di WTO. Begitu pula ada beberapa masalah yang muncul dalam bidang perbankan, ada sejumlah perubahan peraturan yang dapat berdampak bagi bank-bank internasional di Indonesia. Jadi ia harus betul-betul mencermati nasionalisme ini, atau menurut saya, proteksionisme, secara kritis. Sebagai pengusaha ia mungkin dapat melihat apa yang perlu diubah, apa yang dapat dipertahankan. Tetapi sekarang ini, ada ketidakseimbangan dalam hal ini yang mungkin membuat para investor Amerika sedikit nervous untuk melanjutkan rencana mereka. Mereka akan menunggu siapa yang akan duduk di pemerintahan, siapa saja di kementerian, dan apa yang akan menjadi kebijakan mereka.