Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), Selasa (29/9), mengumumkan akan menyelidiki laporan yang baru dirilis tentang dugaan eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap beberapa warga Kongo yang dilakukan oleh pekerja bantuan WHO yang menangani wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo.
Penyelidikan selama satu tahun oleh The New Humanitarian dan Thomson Reuters Foundation mencakup wawancara dengan 51 perempuan yang menyampaikan beberapa laporan pelecehan selama krisis Ebola selama 2018-2020, terutama oleh para pria yang mengaku bekerja untuk WHO.
Penyelidikan itu juga mengidentifikasi pelanggaran oleh anggota-anggota Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Medecins Sans Frontieres, Oxfam, World Vision, badan urusan migrasi Amerika IOM, badan derma medis (ALIMA) dan Kementerian Kesehatan Kongo.
Mayoritas pengakuan itu mengatakan sejumlah laki-laki kerap membujuk para perempuan untuk minum-minum dan mungkin melamar mereka, memaksa berhubungan seks dengan imbalan lapangan pekerjaan, atau memutuskan kontrak mereka jika ditolak.
Sebagian perempuan dipekerjakan dengan kontrak jangka pendek dan dijanjikan gaji lebih besar dibanding standar upah di daerah itu. Ada pula yang mengaku dikunci di ruangan-ruangan oleh sejumlah laki-laki yang meminta pekerjaan atau mengancam akan memberhentikan mereka jika tidak dipatuhi.
Sekitar 80 persen penyintas di seluruh dunia tidak melaporkan adanya serangan seksual. Pelecehan di Kongo tidak jauh berbeda. Survei ini merupakan bagian dari penyelidikan yang mendapati bahwa 18 badan yang terlibat dalam upaya mengatasi perebakan Ebola di Kongo tidak menerima laporan tentang pelecehan atau eksploitasi seksual.
Sebagian besar perempuan yang diselidiki mengatakan mereka tidak tahu bagaimana melaporkan pelecehan atau eksploitasi seksual yang dialami.
Separuh pejabat senior PBB dan pekerja LSM mengukuhkan bahwa skema aktivitas seksual demi mendapat pekerjaan merupakan hal yang rentan terjadi di Republik Demokratik Kongo pada masa penanganan Ebola itu. [em/ft]