Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (23/10) melaporkan telah mencapai kemajuan dalam upaya mencegah dan menanggapi kasus-kasus pelecehan seksual, tetapi mengakui bahwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh staf WHO masih menjadi masalah.
“Selama dua tahun terakhir ini WHO telah mengintensifkan upaya untuk mencegah dan merespon segala bentuk pelanggaran seksual, eksploitasi seksual dan pelecehan seksual,” ujar Direktur Pencegahan dan Tanggapan terhadap Pelecehan Seksual di WHO, Gaya Gamhewage. “Namun angkanya masih terus meningkat karena alasan sederhana, yaitu belum semua kasus muncul ke permukaan. Jadi untuk beberapa waktu mendatang jumlahnya akan terus meningkat. Tetapi bukan berarti apa yang kita lakukan tidak memberi dampak apapun. Faktanya, apa yang kita lakukan juga mengangkat masalah ini ke permukaan,” tambahnya.
Angka-angka itu tampaknya membuktikan hal tersebut. Selama 12 bulan terakhir, Kantor Layanan Pengawasan Internal atau IOS melaporkan pihaknya sedang menyelidiki 287 tuduhan pelecehan seksual di seluruh wilayah kerja WHO.
BACA JUGA: Sejumlah Negara Desak WHO Ambil Tindakan terhadap Pelecehan Seksual di dalam OrganisasinyaSekitar 83 kasus dari total kasus yang dilaporkan terkait dengan wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo, di mana 25% warganya diduga pernah dilecehkan oleh personel WHO.
“Sejak tahun 2021, kami telah memasukkan nama 25 tersangka pelaku pelanggaran seksual ke arsip atau data base Clear Check PBB untuk mencegah mereka mendapat pekerjaan di dalam jaringan PBB di masa depan,” kata Direktur IOS Lisa McClennon.
Republik Demokratik Kongo (DRC) mengumumkan wabah Ebola ke-10 pada tanggal 1 Agustus 2018 di provinsi-provinsi bagian timur yang bergejolak di negara itu. Saat WHO menyatakan epidemi ini berakhir pada tanggal 25 Juni 2020, wabah ini telah merenggut 2.299 nyawa.
PBB membuka unit investigasi khusus pada November 2021, yang terutama dipicu oleh skandal seksual yang melibatkan personel PBB dan pihak lain yang merespons wabah Ebola yang mematikan.
McClennon mengatakan 83 tersangka pelaku yang diidentifikasi dalam laporan itu terkait dengan misi tahun 2018-2020 di DRC.
“WHO telah melakukan tindak lanjut yang diperlukan setiap kasus ini, termasuk informasi yang dibagikan kepada otoritas nasional, rujukan ke badan-badan PBB lainnya, dan mengeluarkan surat penutupan kasus kepada mereka yang diduga sebagai subyek,” tambah McClennon. “Meskipun laporan-laporan itu bersifat rahasia, kami mengambil tindakan disipliner untuk kasus-kasus yang terbukti.”
WHO melaporkan jumlah tersangka pelaku pelecehan seksual tertinggi ditemukan di Afrika dan Mediterania Timur. “Kami tidak suka mengungkapkan di mana asal negara staf itu karena kami dapat mengidentifikasi tersangka pelaku dan hal itu justru dapat menganggu jalannya penyelidikan,” ujar Gamhewage. [em/rs]