WHO Peringatkan Ancaman akibat Kekurangan Penawar Bisa Ular

Seorang peneliti mendemonstrasikan cara mengekstrak bisa dari seekor ular kepada para pelajar di Sao Paulo, Brazil (foto: ilustrasi).

Masalah gigitan ular yang membunuh puluhan ribu orang tiap tahunnya, dipicu oleh banjir akibat perubahan iklim di sejumlah negara yang tidak mempunyai akses untuk obat penawar racun. Demikian peringatan dari WHO pada hari Selasa (17/9). Setiap tahunnya, sebanyak 2,7 juta orang digigit ular berbisa, dandiperkirakan menyebabkan 138.000 kematian.

“Satu orang meninggal karena gigitan ular setiap empat hingga enam menit,” kata David Williams, pakar gigitan ular dari WHO kepada wartawan di Jenewa.

Sekitar 240.000 dari korbannya setiap tahun yang menderita cacat permanen, tambahnya. Bisa ular bisa berakibat kelumpuhan hingga meninggal, gangguanpendarahan yang memicu pendarahan fatal, gagal ginjal, dan kerusakan jaringan yang mengakibatkan cacat permanen serta kehilangan anggota tubuh.

Williams menekankan bahwa kecacatan akibat gigitan ular tidak hanya berdampak pada korbannya, tetapi seluruh keluarganya bisa jatuh miskin karena tingginya biaya pengobatan.Afrika Sub-Sahara misalnya, hanya memiliki akses 2,5 persen pengobatan yang diperkirakan dibutuhkan.

BACA JUGA: Menkes: Kasus Cacar Monyet Varian 1B Belum Terdeteksi di Indonesia

WHO menjelaskan pada tahun 2019 bahwa produksi penawar bisa ular (antivenom) yang dapat menyelamatkan nyawa, telah ditinggalkan oleh sejumlah perusahaan obat sejak tahun 1980an, sehingga memicu kekurangan yang parah di Afrika dan beberapa negara Asia.

India adalah negara yang terkena dampak paling parah di dunia, dengan sekitar 58.000 orang meninggal akibat gigitan ular setiap tahunnya, sementara negara tetangganya, Bangladesh dan Pakistan, juga terkenadampak paling parah.

Bencana banjir besar di Pakistan, Myanmar, Bangladesh, Sudan Selatandan negara-negara lain juga disertai dengan meningkatnya gigitan ular.WHO juga memperingatkan bahwa perubahan iklim berisiko menyebarkan ular berbisa, sehingga mungkin membuat negara-negarayang sebelumnya tidak terkena dampaknya, kini berbahaya. [ps/jm]