Perang di Sudan dapat menelan lebih banyak korban jiwa apabila tidak ada tindakan segera, sementara kelaparan dan penyakit merebak di tengah meningkatnya pertempuran dan sulitnya lembaga pemberi bantuan mengakses wilayah tersebut, kata pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Kairo, Mesir, Selasa (8/10).
Perang selama hampir 18 bulan di Sudan telah menyebabkan krisis pengungsian dalam negeri terbesar di dunia, di mana lebih dari 25 juta orang, atau separuh populasi negara itu, sangat membutuhkan makanan dan layanan kesehatan, kata direktur regional WHO dalam jumpa pers.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Hanan Balkhy, mengatakan bahwa para ibu dan anak di negara itu menderita gizi buruk dan sekarat akibat minimnya akses terhadap pengobatan penyakit kolera yang merebak di seantero Sudan.
Perkiraan jumlah kematian di sana mencapai puluhan ribu jiwa, akan tetapi angka sebenarnya sangat tidak pasti. Kendali negara itu pun terbelah antara militer Sudan dan lawannya, Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Force/RSF), dengan fasilitas-fasilitas kesehatan yang hancur.
Di ibu kota Sudan, Khartoum, sebanyak 75 persen fasilitas kesehatan tidak beroperasi, sementara situasi di sisi barat dan selatan negara itu diperkirakan lebih buruk, menurut WHO.
Lebih dari 20.000 kasus kolera tercatat tahun ini di sebagian dari 18 negara bagian di Sudan. Perebakannya terjadi lebih cepat dibanding tahun lalu, kata Dr. Richard Brennan, direktur kedaruratan regional WHO.
Kampanye vaksinasi oral akan dimulai dalam beberapa hari ke depan menyusul tibanya pasokan vaksin berjumlah 1,4 juta dosis, yang akan disusul dengan 2,2 juta dosis lainnya dalam beberapa minggu ke depan.
Perang di antara kedua faksi dimulai pada pertengahan April 2023, setelah persaingan keduanya terungkap usai pembahasan rencana peralihan ke pemerintahan sipil yang didukung komunitas internasional. [rd/ab]