Setiap hari kerja, Andika Hidayatullah mengendarai sepeda motornya menerjang kemacetan jalanan ibu kota Jakarta dari rumahnya di Depok. Dia mengatakan bahwa jalanan yang macet membuat perjalanan yang seharusnya hanya 40 menit menjadi dua kali lebih lama. “Mobil seharusnya digunakan oleh empat orang,” kata Andika (26). “Tapi kebanyakan pekerja di sini mengendarai mobil sendiri ke tempat kerja dan itu membuat kemacetan yang luar biasa.”
Sebuah laporan organisasi kesehatan masyarakat global “Vital Strategies” yang didasarkan dari penelitian Institut Tekonologi Bandung menyebutkan bahwa emisi kendaraan merupakan sumber polusi udara terbesar di Jakarta, satu dari berbagai masalah kemacetan kota yang mendorong seruan untuk koordinasi yang lebih baik antara kota dan masyarakat di sekitarnya.
Tahun lalu, ada hari di mana sebuah perusahaan asal Swiss “IQAir” menempatkan kualitas udara Jakarta sebagai yang paling tercemar di antara kota-kota besar lainnya di dunia.
Willy Sastrawijayadi (37 tahun), mengatakan udara yang tercemar membuat dia merasa sakit selama beberapa hari. “Hal ini mempengaruhi sistem pernapasan, entah itu batuk atau merasa seperti terserang flu.”
Kemacetan Jakarta Salah Satu Yang Terburuk di Dunia
Jakarta memiliki sekitar 10 juta penduduk, namun wilayah Jabodetabek memiliki lebih dari 30 juta penduduk. Dalam hal kota dengan kemacetan lalu lintas terburuk di dunia, spesialis navigasi Tom Tom menempatkan Jakarta di peringkat ke-30 tahun lalu. Peringkat pertama dianggap sebagai yang terburuk di antara 387 kota di 55 negara. Jakarta memiliki kereta komuter dan bus, tetapi kebiasaan lama terbukti sulit untuk dihilangkan.
“Transportasi umum saat ini jauh lebih baik daripada 10 atau 20 tahun lalu,” kata Ahmad Gamal, profesor bidang perencanaan kota Universitas Indonesia. “Tetapi orang-orang belum meninggalkan sepeda motor dan mobil mereka.”
Ditambahkannya, salah satu alasan yang mendasari masalah kualitas hidup ini adalah karena Jakarta dan masyarakat di sekitarnya belum bekerja sama untuk berkoordinasi di tingkat regional.
“Jakarta punya semua jenis perkantoran, semua industri, tetapi sebagian besar proyek perumahan, mereka mungkin perlu pergi sedikit lebih jauh karena harga tanah di Jakarta jauh lebih mahal,” kata Gamal. “Jadi, tentu saja, daerah-daerah yang berdekatan dengan Jakarta memiliki kepentingan yang lebih besar untuk mendorong pembangunan (yang berlebihan).”
Gamal menambahkan pembangunan yang berlebihan di daerah hulu menyebabkan aliran sungai meluap ke hilir di Jakarta dan membanjiri lingkungan perkotaan. “Begitu banyak lahan di hulu sungai yang dibangun secara berlebihan dan tidak mampu menyerap banyak air.”
Setelah hujan deras, Zainudin dan tetangganya di DAS Ciliwung harus membersihkan lumpur setebal 30 cm di dalam rumah mereka. “Kami sudah terbiasa dengan hal ini,” ujar Zainudin, 58, yang mengaku telah tinggal di tepi sungai Ciliwung sepanjang hidupnya.
Sementara di pesisir Jakarta Utara, pemerintah membangun tanggul laut. Tepat di sisi lain tanggul laut tersebut terdapat Masjid Wal Adhuna yang sudah tidak digunakan lagi karena selalu tergenang. Sebagian kecil wilayah Jakarta Utara telah tersapu oleh meningkatknya permukaan air laut akibat perubahan iklim, dan kini berpacu dengan waktu untuk mencegah lebih banyak lagi wilayah Jakarta yang hilang. Sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.
“Bagian utara Jakarta menghadapi tantangan terbesar karena air laut naik, sementara daratannya tenggelam,” kata Gamal.
Gamal merujuk pada fakta bahwa banyak warga Jakarta mendapatkan air dari berbagai sumur ilegal yang menyedot air tanah, menjadi alasan utama mengapa kota ini sekarang tenggelam. Pemerintah sedang membangun jaringan pipa untuk mengalirkan air bersih ke seluruh kota, namun Gamal mengatakan bahwa proyek tersebut membutuhkan waktu 30 tahun untuk menyelesaikannya.
Dewan Aglomerasi
Pemerintah pusat sedang menyusun rencana untuk membentuk dewan Aglomerasi untuk Jakarta Raya untuk mengkoordinasikan semua pemerintah daerah dan lokal. Namun, Gamal mengatakan bahwa masih belum jelas apakah dewan ini akan memiliki wewenang yang diperlukan untuk bisa berhasil.
“Ini akan berhasil jika ada otoritas yang berada di atas pemerintah daerah, yang mendengarkan kebutuhan mereka dan mampu membuat rencana yang mengikat mereka."
Sementara itu, orang-orang seperti Andika Hidayatullah mengatakan bahwa mereka hanya berharap pemerintah memikirkan dirinya. "Saya sudah muak dengan kemacetan dan udara yang buruk," katanya. [th/em]