Wimar: Politisi Indonesia Berlomba Menangkan Simpati Publik

  • Made Yoni

Wimar Witoelar memberikan paparan tentang pemilu Indonesia di kantor Bank Dunia di Washington DC hari Kamis 9/1 (foto: VOA/Made Yoni).

Komentar itu disampaikan Wimar Witoelar dalam diskusi terbuka mengenai pemilu Indonesia 2014 yang diselenggarakan Asosiasi Staff Bank Dunia, Kamis (9/1) di Washington DC.
Menjelang pemilu parlemen dan pemilihan Presiden yang akan berlangsung bulan April dan Juli 2014, para politisi di Indonesia berupaya mencari formula untuk memenangkan simpati publik, termasuk dengan kampanye kepribadian seperti yang ditunjukkan Jokowi, yang sampai sekarang belum ditetapkan sebagai kandidat presiden oleh PDIP.

Sikap ketua PDIP yang belum mengumumkan kandidat calon presidennya ini dikatakan Wimar Witoelar bisa merugikan partai PDIP sendiri. Wimar Witoelar menduga masalah internal partai dan kekhawatiran Megawati akan kehilangan pamornya melatar belakangi penundaan pengumuman kandidat PDIP.

Wimar Witoelar, mantan juru bicara pada era Presiden Abdurrahman Wahid kepada staff Bank Dunia dan pemerhati politik Indonesia dan Asia di Amerika mengatakan meskipun semangat demokrasi tinggi di Indonesia tapi beberapa bulan menjelang pemilu 2014 tidak bisa diperkirakan dan tidak seorangpun mengetahui bagaimana hasil pemilu nantinya.

Meskipun partai dan kandidat memiliki dana besar untuk membentuk tim sukses atau membeli jam tayang kampanye di televisi tapi ia tidak menganggap suara bisa dibeli.

Berdasarkan pengamatan dalam pemilu sebelumnya, menurut Wimar Witoelar meskipun taktik serangan fajar dilakukan untuk membeli suara di daerah tapi hasil pemilu bisa berbeda.

Bagi Wimar Witoelar ada sisi positif pemilu Indonesia yang tidak bisa diduga hasilnya. Dalam empat pemilu terakhir di Indonesia tidak ada kekerasan yang berarti dan ada keterlibatan pengamat internasional yang mengakui keabsahan pemilu di Indonesia, paling tidak katanya demokrasi berjalan di Indonesia, meskipun belum bisa membuahkan hasil yang membanggakan.

Wimar Witoelar lebih jauh mengatakan kini sulit membedakan ideologi di antara partai dalam pemilu kali ini yang diikuti lebih dari 10 partai, partai mana yang lebih religius melihat tingkat korupsi yang melibatkan partai, bahkan katanya partai yang sekulerpun ingin dipandang religius. Menurutnya isu-isu dan ideologi bukan yang membawa kemenangan meraih kursi melainkan popularitas dan kampanye publik.