Wisata relawan atau voluntourism kian popular dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin berkembangnya minat orang-orang muda untuk berpergian. Wisata yang satu ini tidak hanya mengajak pesertanya melakukan perjalanan ke daerah-daerah terpencil di berbagai penjuru Indonesia, dan bahkan luar negeri, tapi juga membantu memberdayakan komunitas setempat. Salah satu jenis wisata relawan yang paling diminati adalah yang terfokus pada bidang pendidikan.
Karina Nadila, runner up 2 Putri Indonesia 2017, menceritakan bagaimana keterlibatannya dalam kegiatan wisata relawan mengubah hidupnya. “Waktu saya pertama kali ikut 1000 Guru, tidak hanya mereka yang mendapat pengalaman dari kami, orang-orang luar. Tapi saya juga mendapat banyak pelajaran dari mereka,” jelasnya.
Pengalamannya bersama organisasi nirlaba 1000 Guru tidak hanya mengantarkan putri perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur ini meraih posisi bergengsi di ajang pemilihan itu, tapi juga mengobarkan semangatnya untuk memajukan pendidikan di Indonesia, terutama di kawasan-kawasan terpencil.
Ia mengikuti kegiatan wisata relawan dengan 1000 Guru beberapa bulan menjelang karantina Putri Indonesia 2017. Penjalanannya ke kawasan-kawasan terpencil di NTT tidak hanya membuatnya melihat keindahan alam yang tidak biasanya tapi juga membuka matanya mengenai betapa terbelakangnya pendidikan di sana.
Karina, contohnya, menceritakan betapa banyak anak-anak pedalaman yang tidak tahu bahwa mereka tinggal di Indonesia. Yang mereka tahu hanya nama kampungnya. Banyak di antara mereka juga tidak bisa membaca dan menulis. Kurangnya ketereksposan mereka pada dunia luar juga membatasi pengetahuan mereka soal cita-cita.
“While anak-anak di ibu kota ingin jadi YouTuber, influencer, digital creator atau kerja di start-up, mereka tahunya jadi guru atau polisi. Itu standar jawabannya. Tapi ada satu yang kami tanya berkali-kali, sampai tiga kali, dan dia jawab cuma ingin jadi ibu. Itu karena ibunya hebat dalam mendidik atau membesarkan dia, atau pengetahuan dia hanya sampai di situ saja,” jelasnya.
Karina sendiri terbilang rajin mengikuti program-program wisata relawan 1000 Guru. Selain ke pedalaman NTT, ia juga sempat menjelajah kawasan-kawasan terkucil lain, seperti pedalaman Lampung dan Entikong, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Ia mengaku, ia bersama sejumlah peserta lainnya berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka dengan anak-anak pedalaman dalam suasana yang akrab dan penuh keceriaan.
Your browser doesn’t support HTML5
Apa yang diajarkan para peserta wisata relawan bukanlah sesuatu yang serius seperti halnya pendidikan di sebuah sekolah umum, melainkan berbagai hal ringan, seperti membuat origami, mendongeng, menceritakan alam dan isinya, dan mengajarkan bahasa selain bahasa ibu mereka.
“Pada momen seperti itu, kami bisa memberi tahu pada mereka, ada sesuatu yang besar di luar kampung mereka. Lo harus keluar dari kampung lo, belajar setinggi-tingginya, raih ilmu setinggi-tinginya. Terus, lo bangun kampung lo,” lanjutnya.
Ibu satu anak yang masih bayi itu, meyakini pendidikan adalah solusi utama mengatasi kemiskinan. Tak heran, dalam forum-forum di mana suaranya bisa didengar, Karina sibuk mengampanyekan pentingnya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya di kawasan-kawasan pedalaman.
Menurut Jemi Ngadiono, pendiri 1000 Guru, sewaktu memulai program wisata relawan dalam organisasinya pada 2012, pesertanya tidak banyak.
“Awal kali bikin traveling and teaching itu pesertanya hanya tiga orang, kemudian meningkat menjadi tujuh orang, kemudian 20 (orang), kemudian 30 (orang). Kita akhirnya punya 40 cabang di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Dengan puluhan cabang yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, 1000 Guru mencatat ada sekitar 150.000 orang yang pernah berpartisipasi, dengan banyak di antara mereka melakukannya berulang kali.
Mengapa wisata relawan begitu popular belakangan ini? Jemi mengatakan, sebagian alasannya adalah karena adanya tren social traveling dan kecanduan banyak orang, terutama kalangan milenial dan gen Z terhadap media sosial. Kecanduan itu sendiri, menurutnya, karena tingginya ketereksposan mereka pada Instagram, Facebook, Twitter dan Tik Tok selama masa pandemi.
Wisata relawan, menurut Jemi, pada intinya memenuhi kebutuhan mereka akan konten yang menarik. Lewat program ini, di akun media sosial, peserta bisa memposting keindahan alam dan kegiatan mereka yang positif.
“1000 Guru mengambil kesempatan itu. Kita menggabungkan bagaimana kita bisa traveling plus membantu anak-anak di sekitar tempat kita traveling,” ujarnya.
Jemi sendiri menganggap wisata relawan sebagai kegiatan penting yang seharusnya mendapat dukungan banyak pihak. Pasalnya, selama ini, komunitas di sekitar lokasi wisata sering menjadi pihak yang paling sedikit memetik manfaat dari kemajuan yang dicapai wilayahnya.
“Kalau kita pergi ke tempat wisata, yang untung itu adalah yang punya tiket, yang jualan tiket, yang punya hotel, yang punya pesawat. Tapi untuk masyarakat lokal, yang sudah menjaga alam menjadi indah, menarik, yang menjadi daya tarik orang untuk datang itu, mereka dapat apa?,” imbuh Jemi.
Fakta ini dibenarkan Nila Tanzil, pendiri Taman Bacaan Pelangi, sebuah LSM yang memfokuskan misinya pada pengembangan perpustakaan di kawasan-kawasan terpencil, khususnya Indonesia timur. Karena keprihatinanya pada keadaan ini, ia mengembangkan sebuah biro perjalanan yang disebut Travel Sparks yang menggandeng LSM yang didirikannya. Travel Sparks menawarkan kegiatan wisata relawan yang memaksimalkan partisisipasi masyarakat penghuni destinasi wisata.
“Jadi mulai tour guide-nya. Dan semua yah, seperti pemiliki kapal, mobil, semuanya adalah masyarakat setempat,” kata Nila.
Nila menegaskan, Travel Sparks tidak berorientasi mengejar keuntungan, tapi memberdayakan masyarakat setempat sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak pedalaman, khususnya di kawasan timur Indonesia. Perempuan yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di bidang pendidikan di Curtin Universirty, Australia, ini mengistilahkan biro perjalanannya sebagai social enterprise.
“Sebagian profitnya langsung disalurkan untuk Taman Bacaan Pelangi, dan semua yang terlibat dalam Travel Sparks adalah masyarakat setempat. Jadi keuntungannya bukan untuk si pemegang saham,” imbuhnya.
Seperti halnya 1000 Guru, kegiatan komunitas yang ditawarkan dalam wisata relawan Travel Sparks bukanlah sesuatu yang berat, namun sangat bermanfaat. Pada intinya, program ini ditujukan untuk memberi inspirasi, tidak hanya kepada anak-anak di kawasan pedalaman, tapi juga kepada para pesertanya.
Anak-anak pedalaman dipicu untuk mendapat pendidikan lebih tinggi, meraih kehidupan yang lebih baik dan membangun kampung mereka, sementara para peserta yang umumnya berasal dari kota besar disadarkan oleh fakta bahwa mereka patut bersyukur karena kehidupan dan kualitas pendidikan yang lebih baik dan terpicu untuk memajukan pendidikan di kawasan pendalaman.
“We asked them ‘mereka punya keahlian apa?’ Misalnya, ada yang jago sulap, mereka akan diminta mengajarkan sulap pada anak-anak. Ada yang jago fotografi, maka kita akan meminta mereka mengajarkan fotografi,” lanjut Nila.
Para peserta Travel Sparks didorong untuk menceritakan apa dan siapa mereka, untuk memicu keingintahuan anak. Karena para peserta Tavel Sparks umumnya ekspatriat, tidak mengherankan ada banyak profesi yang tidak dikenal anak-anak pedalaman. Beberapa yang pernah terlibat adalah mantan Dubes AS dan professor dari Universitas Harvard.
“Yang paling simple adalah darimana mereka berasal, lalu sharing tentang negara mereka, dan profesi mereka," imbuhnya.
Menurut Jemi, untuk bisa terlibat dalam kegiatan 1000 Guru bukanlah hal sulit. Peserta umumnya disyaratkan setidaknya sudah lulus SMA, namun pelajar SMP dan SMA juga bisa ikut terlibat sepanjang telah mendapatkan izin orang tua. Peserta juga disyaratkan memiliki kondisi kesehatan yang baik, mengingat beberapa lokasi mengharuskan peserta melewati medan yang sulit.
Bagi mereka yang tidak punya latar belakang mengajar, kata Jemi, 1000 Guru akan memberikan pengarahan dan pelatihan. Ketika akhirnya pun mereka mengajar, peserta akan didampingi tim pemantau dan guru setempat. Kehadiran guru setempat sendiri umumnya untuk mengatasi kendala bahasa.
Biaya yang dikenakan kepada para peserta sangat bervariasi tergantung lokasi tujuan. Untuk wisata regional, biayanya berkisar dari Rp300 ribu hingga Rp500 ribu; untuk nasional, sekitar Rp3 juta hingga Rp 4 juta; dan untuk internasional, seperti ke Thailand, Myanmar dan Kamboja, berkisar dari Rp5 juta hingga Rp7 juta.
Berbeda dengan 1000 Guru, biro perjalanan Travel Sparks tidak menawarkan paket khusus, melainkan mengemas paket sesuai keinginan peserta. Biayanya sangat bervariasi tergantung pilihan hotel, transportasi, jenis kegiatan, dan permintaan khusus lainnya. Namun pada intinya, paket yang dikemas itu mengundang wisatawan domestik dan mancanegara untuk mengeksplorasi dan merasakan kehidupan lokal yang otentik sambil menjadi sukarelawan di Taman Bacaan Pelangi.
Baik Jemi maupun Nila mengatakan, keprihatian mereka pada dunia pendidikan lah yang melatarbelakangi kegiatan kemanusiaan mereka.
Jemi mengatakan, ia mendirikan 1000 Guru karena pengalaman hidupnya. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, yang bertransmigrasi dari Jawa ke Lampung. Karena ketidakmampuan orangtuanya itu, setelah lulus SMP, ia dikirim ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, dan ditempatkan di panti asuhan. Selepas SMA, ia bekerja serabutan, seperti menjadi juru ketik di tempat sewa komputer dan pegawai pengepakan di pabrik.
Kesulitan ekonomi tidak mengurungkan niatnya untuk mengenyam pendidikan tinggi dan meraih kehidupan lebh baik. Jemi pada akhirnya berhasil meraih ijazah Diploma-3 dari Universitas Bina Sarana Informatika untuk jurusan penyiaran, dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sebagai editor dan juru kamera di sebuah rumah produksi.
Setelah sempat berpindah-pindah kerja, Jemi merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perjalaan hidupnya menunjukkan betapa pentingnya pendidikan, dan betapa terbelakangnya pendidikan di kawasan-kawasan pedalaman. Ia merasa hidupnya akan lebih berarti jika bisa memajukan pendidikan anak-anak di kawasan pedalaman. Pada 2008, ia memberanikan diri membangun komunitas 1000 Guru, dan pada 2012, ia meresmikan komunitas itu sebagai sebuah yayasan dengan puluhan cabang di berbagai penjuru Indonesia.
Nila mendirikan Taman Bacaan Pelangi karena terbatasnya akses anak-anak di daerah terpencil pada kegiatan membaca, sesuatu yang disukainya sejak kecil.
Didirikan pada tahun 2009 di Pulau Flores, LSM Taman Bacaan Pelangi saat ini sudah membangun 207 perpustakaan di sekolah-sekolah dasar yang yang tersebar di 19 pulau di Indonesia, antara lain Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Papua.
Untuk mendorong pengembangan perpustakaan-perpustakaan itu, mayoritas keuntungan yang dihasilkan oleh biro perjalanan yang didirikan Nila, Travel Sparks, akan masuk ke organisasi itu. Para wisatawan juga dianjurkan, tidak diwajibkan, menyumbangkan buku anak-anak atau alat tulis dan mengirimkannya langsung ke perpustakaan di mana mereka menjadi relawan. Pendapatan yang diperoleh biro ini sebagian juga disalurkan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak perempuan dari keluarga yang tidak mampu.
“Kami ingin wisatawan yang berwisata di Indonesia dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat tuan rumah yang mereka kunjungi. Pemandu wisata, pengemudi, kapten kapal, semua orang yang terlibat dalam perjalanan semuanya penduduk setempat karena kami juga bertujuan untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan, meningkatkan mata pencaharian penduduk setempat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” kata Nila. [ab/uh]