Mawar, seorang penyintas TPPO dihadirkan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Jumat (21/7) sore, untuk memberi gambaran bagaimana skema kejahatan yang membawanya hingga ke Myanmar. Di hadapan peserta diskusi TPPO dan penipuan daring, Mawar mengisahkan perjalanan menegangkan yang dia alami.
Tawaran awalnya datang dari sesorang kepada teman Mawar.
“Awalnya itu aku ditawari dari teman. Teman aku juga mau terbang. Awalnya ditawari ke Dubai sebagai telemarketing di bidang kecantikan. Dan sebelum saya terbang ke luar negeri itu, saya adalah konsultan di salah satu klinik kecantikan di Jakarta,” ujar Mawar.
Gaji yang dijanjikan adalah $800 per bulan atau sekitar Rp 12 juta.
Yang pertama menerima tawaran itu adalah teman Mawar, yang kemudian terbang ke “Dubai” terlebih dahulu. Sejak saat itu, dia aktif mengontak Mawar yang akhirnya percaya dan memutuskan untuk menyusul. Setelah proses pembuatan paspor selesai, dan Mawar siap berangkat, kawannya memberi tahu bahwa seluruh karyawan di kantor telemarketing itu dipindahkan ke Thailand.
Mawar awalnya menolak datang ke Thailand karena dia inginkan adalah bekerja di Dubai. Namun akhirnya dia menyerah dengan rayuan kawannya, dan diterbangkan ke Bangkok. Di bandara Bangkok, dia dijemput seseorang yang juga menjemput dua penumpang lain dari China.
“Ini perjalanan pertama aku ke luar negeri,” kata Mawar sambil menceritakan bagaimana dia harus mengatasi kebingungan selama di bandara.
BACA JUGA: Ungkap Jaringan Sindikat Internasional TPPO Penjualan Ginjal, Bekasi Jadi Markas, Kamboja Jadi TujuanDi Bangkok, Mawar dan sejumlah orang lain diinapkan di sebuah hotel selama 3 hari. Setelah itu, mereka kembali diterbangkan ke Mae Sot, sebuah kota ke perbatasan Thailand-Myanmar. Dari kota inilah, rombongan menyeberang sungai dan menuju ke Kota Myawaddy. Mawar menggambarkan kota ini sebagai kawasan dengan banyak tentara bersenjata laras panjang.
Dubai yang disebut teman mawar, ternyata adalah sebuah kota kecil di Myanmar yang penuh dengan tentara. Di kota inilah, Mawar akhirnya dipekerjakan oleh sindikat penipuan daring.
“Tugasnya mencari member di aplikasi dating (kencan), dikumpulkan nomor sebanyak-banyaknya, lalu dimasukkan ke salah satu link (tautan) yang sudah disediakan leader,” lanjutnya.
Setiap pekerja menipu korban dengan cara yang sama. Melalui telepon genggam, calon korban dikirimi tautan tertentu. Ketika tautan dibuka, pelaku akan “menguasai” telepon genggam korban. Dengan cara inilah, rekening korban biasanya dikuras.
Mawar adalah satu dari ribuan korban TPPO antarnegara yang kemudian dipaksa bekerja dalam skema penipuan dari Myanmar. Dia dipulangkan dalam rangkaian upaya penyelamatan Warga Negara Indonesia (WNI) korban TPPO di lingkup Asia Tenggara.
Kejahatan yang Kompleks
Komisaris Besar Polisi Burkhan Rudi Satria dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri mengakui, kejahatan ini tidak sederhana.
“Problemnya adalah, bahwa dia adalah korban TTPO. Seorang korban TPPO tidak bisa dipidanakan karena dia berada di bawah tekanan tertentu. Siapa yang menekan? Orang sana. Hukumnya yang berlaku, hukum sana. Ini masalah hukum antarnegara,” ujar Rudi.
Penipuan daring sebenarnya bukan persoalan baru bagi polisi Indonesia. Rudi menceritakan, pada sekitar 2014 polisi menemukan sebuah rumah di Bekasi yang berisi 24 penipu asal Bangladesh dan India. Ketika itu, mereka masih menggunakan jalur telepon kabel dan menipu warga di dua negara itu.
“Pola ini sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Di Vietnam, Myanmar dan Kamboja agak kenceng baru-baru ini,” kata dia.
BACA JUGA:
WNI Kebelet Kerja di Luar Negeri, Permudah Sindikat TPPO Mencari KorbanDi masa lalu, korban TPPO biasanya adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki keahlian tertentu dan tidak berpendidikan. Posisi saat ini, justru kelompok masyarakat yang teredukasi baik yang menjadi korban. Prestise bekerja di luar negeri, mendorong seseorang mudah menerima tawaran iklan pekerjaan, yang akhirnya membawa mereka menjadi korban TPPO.
Rudi menyebut masyarakat perlu menerima pemahaman yang baik tentang bagaimana kejahatan ini beroperasi. Jika tidak, korban akan terus berjatuhan.
“Kalau penegakan hukum, semua bisa kita tegakkan. Gampang cari pelaku. Tapi problemnya, apa akan begitu terus,” tambah Rudi.
Lonjakan Kasus
Kementerian Luar Negeri mencatat, kasus penipuan daring di kawasan Asia Tenggara baru melonjak pada dua tahun terakhir. Meski begitu, menurut Andy Rachmianto, Direktur Jenderal Protokoler dan Konsuler, Kementerian Luar Negeri, lonjakan itu terjadi sangat drastis.
“Catatan yang ada pada kami, selama dua tahun terakhir ini paling tidak sudah lebih dari 2.400 kasus korban online scamming yang kita tangani. Saya mendapat informasi, masih ratusan lagi kasus-kasus yang sedang kita tangani,” ujarnya.
Di sejumlah negara kawasan Asia Tenggara, kata Andy, data kasus kejahatan TPPO dengan online scamming pada 2021 baru terjadi sekitar 200 kasus. Karena itulah, bisa dikatakan terjadi lonjakan luar biasa karena dalam dua tahun angkanya berubah menjadi 2.400 kasus lebih.
BACA JUGA: Aktivis Sebut Indonesia Berada dalam Keadaan Darurat Perdagangan Orang“Ini cakupannya sangat luar biasa, magnitude-nya juga sangat luar biasa dan terjadi di negara-negara tetangga kita,” ujarnya.
Jika dirunut, Kemenlu mencatat bahwa kasus penipuan daring yang melibatkan WNI korban TPPO, awalnya terjadi di Shihanoukville, Kamboja. Di kota tepi Teluk Thailand inilah, Kemenlu menerima laporan keberadaan WNI yang disekap oleh sindikat penipuan daring. Dari waktu ke waktu, kata Andy, kasusnya terus bertambah dan merambah negara sekitar seperti Myanmar, Laos, Vietnam hingga Filipina. Laporan terakhir, kasus juga ditemukan di Timur Tengah.
Mengingat besarnya kasus, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) berkomitmen untuk mengatasi kejahatan ini. Andy mengatakan, dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) pemimpin ASEAN pada Mei di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, semua kepala negara sepakat mengeluarkan deklarasi khusus terkait penipuan daring, yaitu deklarasi Pemberantasan Perdagangan Orang Akibat Penyalahgunaan Teknologi (Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology). [ns/ft]