Jika kita datang ke toko di pinggiran Virginia ini, tampak seperti toko eceran biasa. Di rak-rak ada baju, sepatu, perhiasan, kosmetik, mainan anak-anak, popok bayi, dan banyak lainnya. Yang tidak ada adalah mesin kasir atau pedagang atau petugas yang melayani pembayaran. Semua yang ada di toko ini gratis. Ini semua berkat “Women Giving Back,” suatu LSM di Sterling, di negara bagian Virginia, yang selama 15 tahun terakhir telah membantu perempuan dan anak perempuan Amerika.
“Kami punya program untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Kami melayani perempuan yang keluar dari penjara, korban perdagangan manusia dan perdagangan seks, anak-anak di bawah umur tanpa pendamping yang berada di pusat penahanan atau baru saja datang ke negara ini," ujar Direktur Eksekutif “Women Giving Back,” Nicole Morris.
Terri Stagi, pendiri “Women Giving Back,” mulai bekerja di bidang amal pada atal tahun 2000an. Ketika itu biro iklannya bekerjasama dengan organisasi nirlaba yang membangun tempat perlindungan bagi tunawisma. Dalam perjalannya, biro iklan itu menanyakan pada Stagi apakah ia bersedia menjadi anggota dewan direksi mereka, yang ketika itu semuanya laki-laki.
“Dan kami memutuskan bahwa kami sedianya menemukan cara untuk membuat perempuan yang ada di industri kami menjadi lebih terlibat. Jadi saya keluar dan mewawancarai banyak tempat penampungan dan badan-badan, dan bertanya: apa yang dapat kami lakukan? Laki-laki punya pekerjaan, lalu apa yang dapat saya lakukan untuk dapat memberdayakan perempuan juga? Dan mereka menjawab : kami butuh pakaian! Jadi saya dapat menyampaikan kebutuhan tersebut pada perempuan-perempuan yang ada di industri itu dan mereka datang membantu dengan kekuatan penuh!” paparnya.
Awalnya pekerjaan mereka seperti melakukan obral barang-barang di garasi mobil, yang dilakukan setiap bulan tanpa henti. Namun ketika permintaan yang datang semakin besar dan mereka harus memperluas operasi, mereka menemukan bangunan permanen yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi nirlaba “Women Giving Back.”
“Kami sudah menyiapkannya sebagai butik. Jadi ketika para perempuan itu datang, mereka merasa seperti sedang berbelanja, bukan untuk mendapatkan handout atau petunjuk layanan atau bantuan. Semuanya pun gratis, mereka tidak perlu membayar apapun. Kami memiliki sejumlah sukarelawan yang dengan sigap membantu mereka memilih sesuatu. Kami membantu menemukan pakaian yang tepat untuk mereka," kata Terri Stagi.
BACA JUGA: Layanan Taksi Perempuan Atasi Tren Penurunan Lapangan Kerja Akibat PandemiButik yang dimaksud itu memiliki apapun yang ada di toko-toko eceran biasa – ada yang berdasarkan musim tertentu, barang-barang untuk Halloween, gaun-gaun indah untuk pesta di sekolah dan juga pasokan sekolah.
Hal senada disampaikan Nicole Morris, Direktur Eksekutif Women Giving Back.
“Ini ada beberapa ransel seolah untuk anak yang duduk di banku sekolah dasar. Para sukarelawan telah memenuhi ransel-ransel itu dengan pasokan kebutuhan sekolah bagi anak-anak yang ingin kembali sekolah," katanya.
Hanya ada tiga orang dan lebih dari 4.000 pekerja bantuan yang membantu. Setiap pelanggan dapat memilih 50 barang.
BACA JUGA: Perempuan Palestina Belajar Bahasa Ibrani“Program ini sangat membantu saya, secara emosional dan mental. Program ini mengurangi beban saya," kata Jennifer.
Jenn Haas, mantan pelanggan dan ibu dengan tiga anak yang mengalami aksi kekerasan. Kini ia menjadi Duta Besar “Women Giving Back” dan seorang aktivis.
“Saya berbicara di sejumlah SMA lokal. Saya juga bicara di organisasi-organisasi derma. Saya memberikan sumbang dari apa-apa yang ada di rumah saya," katanya.
Saat ini “Women Giving Back” sedang mencari gedung baru bagi butik mereka. Yang sekarang ini terlalu kecil. Sayangnya ketika gelombang sumbangan yang datang tidak berhenti, jumlah perempuan dan anak perempuan yang datang meminta pertolongan juga tidak pernah berkurang. [em/pr]