China, Jumat (17/4) menyatakan lebih banyak orang yang meninggal di Wuhan dalam krisis COVID-19 daripada yang diperkirakan semula.
Wuhan, episentrum penularan wabah di China, meningkatkan jumlah kematian di sana lebih dari 50 persen.
Para pejabat kesehatan di sana menyatakan, ada 1.290 orang lagi yang meninggal dalam wabah itu, membuat seluruhnya menjadi 3.869 orang yang meninggal.
Para pejabat juga menambahkan 325 kasus lagi, membuat seluruhnya menjadi 50.333 kasus terkonfirmasi.
Menurut pernyataan itu, ada sejumlah alasan bagi selisih angka tersebut, termasuk di antaranya lonjakan pasien semata-mata akibat “sumber daya medis yang kewalahan dan kapasitas perawatan di institusi medis” serta karena sebagian orang yang meninggal di rumah tidak dimasukkan ke perhitungan awal.
Para pejabat kesehatan asing meragukan laporan awal mengenai jumlah pasien dan kematian di China, dengan menyatakan angka di negara itu terbilang rendah dibandingkan dengan di negara-negara lain.
BACA JUGA: Pelajar Asing di Wuhan Khawatir Nasib KeluargaZhao Linjian, seorang juru bicara kementerian luar negeri, Jumat (17/4) mengatakan, China tidak pernah berupaya menutup-nutupi. Ia mengatakan revisi angka tersebut merupakan hasil verifikasi statistik untuk lebih menunjukkan lagi dampak virus tersebut.
Sekarang ini ada lebih dari 2 juta kasus COVID terkonfirmasi di seluruh dunia dan hampir 150 ribu kematian, sebut Johns Hopkins.
Kehidupan Anak-Anak ‘Jungkir Balik’
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa meskipun anak-anak tampaknya terhindar dari gejala terparah COVID-19, kehidupan mereka benar-benar jungkir balik.
Ia menyerukan negara-negara agar melindungi anak-anak dan menjaga kesejahteraan mereka. Guterres juga mengatakan jutaan anak tidak bersekolah dan tidak mendapatkan makanan yang mereka andalkan di sekolah.
BACA JUGA: Tangkal Hoaks, PBB Banjiri Internet dengan Informasi Terkait CoronaLockdown terhadap masyarakat di berbagai penjuru dunia, lanjutnya, juga berarti bahwa anak-anak yang terkurung di rumah mereka dapat “menjadi korban sekaligus saksi mata kekerasan dan kesewenang-wenangan dalam rumah tangga.
AS Prioritaskan Keselamatan Rakyat
Hari Kamis (17/4), Presiden AS Donald Trump mengatakan keselamatan dan kesehatan rakyat Amerika akan menjadi prioritas utama dalam langkah pemerintahannya untuk memulai kembali kehidupan normal di negaranya.
Trump dan tim penanggulangan virus coronanya mengungkapkan rencana mereka untuk secara bertahap memulai kembali kehidupan normal dan membuat warga Amerika kembali bekerja. Ia mengatakan beberapa daerah di Amerika siap memulai kembali kehidupan normal dan bahwa sedikitnya 29 negara bagian siap untuk itu dalam waktu dekat. Keputusan untuk memulai kehidupan normal akan diserahkan kepada gubernur negara bagian dan para pemimpin setempat, lanjut Trump.
Pengumumannya dikeluarkan beberapa jam setelah Wali Kota Washington DC Muriel Bowser memperpanjang penutupan kota ini dua pekan lagi hingga 15 Mei. Ia mengatakan langkah itu akan berlaku hingga jumlah kasus baru turun secara konsisten selama dua pekan.
BACA JUGA: Trump Paparkan Tiga Tahap Pembukaan Kembali Kegiatan di ASJumlah pasien COVID-19 terus bertambah di AS. Per hari Kamis (17/4), di Amerika tercatat lebih dari 677 ribu kasus dan hampir 35 ribu kematian, sebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hampir sepertiga kasus di AS ditemukan di negara bagian New York. Para pejabat kesehatan menyatakan kurva penularan virus corona di AS melandai tetapi epidemi itu masih lama akan berakhir.
Perkembangan COVID-19 di Eropa
Presiden Komisi Eropa hari Kamis menyampaikan permintaan maaf yang tulus kepada Italia, episentrum penyebaran COVID di Eropa, karena tidak menawarkan bantuan pada awal perebakan wabah di negara itu.
“Terlalu banyak yang tidak ada di sana sewaktu Italia membutuhkannya,” kata Ursula von der Leyen kepada Parlemen Eropa.
Luigi di Malo, menteri luar negeri Italia mengatakan, permohonan maaf von der Leyen merupakan tindakan kebenaran yang penting.
BACA JUGA: Menlu Jerman Kecam Keputusan Trump Hentikan Dana WHOSejumlah negara di Eropa juga membuat rencana untuk secara bertahap kembali ke kehidupan normal, meskipun kasus terkonfirmasi dan kematian di seluruh dunia terus meningkat. Kanselir Jerman Angela Merkel berencana mengizinkan sebagian sekolah dibuka kembali mulai 4 Mei, menyusul rencana serupa di Denmark, Italia, Australia dan Spanyol. Merkel mengatakan sebagian toko akan dibuka kembali pekan depan.
WHO, Kamis (16/4) menyatakan pekan depan akan mengeluarkan pedoman untuk negara-negara mengenai bagaimana mereka dapat melonggarkan restriksi yang diberlakukan dalam menanggapi pandemi sambil membendung penyebaran virus mematikan itu.
Tetapi di negara-negara di mana krisis masih berkembang, pemerintah terpaksa memberlakukan langkah-langkah yang lebih keras.
PM Jepang Shinzo Abe, Kamis (16/4) menetapkan situasi darurat bagi seluruh negara itu, memperluas situasi darurat parsial yang diumumkan 7 April lalu yang mencakup Tokyo dan enam daerah lainnya. Ia mengatakan langkah baru itu akan tetap berlaku hingga 6 Mei, dengan tujuan mengurangi lalu lintas selama musim liburan Minggu Emas, yang dimulai pada akhir April dan berlanjut hingga awal Mei.
Di Inggris, Menteri Luar Negeri Dominic Raab, mewakili PM Boris Johnson yang sedang memulihkan diri dari COVID-19, Kamis mengumumkan bahwa lockdown nasional diperpanjang hingga sedikitnya tiga pekan.
Di Kanada, PM Justin Trudeau mengatakan negaranya belum siap untuk melonggarkan restriksi. Ia mendesak rakyat Kanada agar bersabar, seraya menyatakan restriksi akan masih akan berlangsung beberapa pekan lagi.
BACA JUGA: AS Setop Bantuan, WHO Minta Mitra Bantu Tutupi Kekurangan DanaJuga Kamis (16/4), Gedung Putih merilis rencana aksi pemerintah untuk mendukung upaya internasional memerangi COVID-19, dengan memerangi wabah itu di sumbernya. Rencana itu mencakup paket layanan komprehensif untuk mendukung mitra-mitra internasional AS, yang “dibangun berdasarkan bantuan kemanusiaan dan kesehatan global pemerintah AS sekarang ini yang substansial dan telah lama berlaku, sebanyak 170 miliar dolar di luar negeri selama 20 tahun ini, sebut Gedung Putih dalam suatu pernyataan.
Pengumuman itu muncul sehari setelah Trump menghadapi kecaman internasional karena menangguhkan dana bagi WHO sewaktu organisasi itu sedang menghadapi krisis kesehatan global besar.
Trump menyalahkan organisasi itu karena gagal dalam tugasnya memberitahu dunia mengenai ancaman pandemi virus corona secara tepat waktu. [uh/ab]