Anak-anak yang kehilangan orang tua akibat COVID-19 rawan menjadi korban eksploitasi. Kekhawatiran terkait ini, antara lain muncul di Nusa Tenggara Timur, yang terkenal sebagai provinsi dengan kasus perdagangan manusia cukup tinggi.
Tidak semua keputusan untuk mengulurkan bantuan bagi anak-anak yang orang tuanya meninggal selama pandemi didasari oleh niat tulus. Karena itulah, aparat pemerintah daerah cukup berhati-hati terkait hal ini.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi NTT, Iien Adriany, mengungkapkan sejumlah tindak pemanfaatan anak dalam kasus semacam ini. Ada pihak-pihak yang seolah membantu anak-anak tersebut untuk mengakses program bantuan dana dari pemerintah. Namun uang itu digunakan untuk kepentingan sendiri dan tidak diberikan kepada anak bersangkutan.
Modus lain, kata Iien, adalah memanfaatkan mereka dengan cara seolah mengangkat menjadi anak, tetapi hanya menjadikannya sebagai pembantu rumah tangga.
“Setelah dibantu pun harus diikuti, apakah benar-benar dia bantu atau sekadar memanfaatkan. Karena ada, (orang bilang) sudah ikut saya saja, saya rawat. Tapi enggak disekolahkan, cuma disuruh jadi pembantu di rumah. Ini banyak juga yang seperti itu,” kata Iien.
Paparan itu dia sampaikan dalam diskusi Dewan Pimpinan Pusat Patria perkumpulan alumni PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Sabtu (28/8). Diskusi ini membahas pengasuhan alternatif bagi anak terdampak COVID-19 di Provinsi NTT.
Secara rinci, Iien mengatakan pada kasus lokal ada semacam tindakan memanfaatkan kondisi ketika seorang anak kehilangan orang tua mereka. Anak-anak dari kampung itu diajak untuk tinggal dengan orang yang mengaku ingin membantu, tetapi tidak dipenuhi haknya sebagai anak. Orang-orang semacam ini, lanjut Iien, memilih melakukan hal itu daripada memberi gaji mahal untuk pembantu rumah tangga.
“Ini di sini juga angkanya cukup lumayan. Ini juga menjadi PR kita supaya jangan sekadar hanya diambil saudaranya, diambil om-nya, sampai di rumah suruh cuci piring, ngepel, tapi enggak pernah disekolahkan, nggak diurus. Dipekerjakan sebagai pembantu dan dibayarnya dengan makannya itu,” lanjut Iien.
Terkait data jumlah anak-anak yang orang tuanya meninggal akibat COVID-19, Iien Adriany mengaku pihaknya masih berkoordinasi. Dinas-dinas lain juga sedang melakukan pendataan, karena itu harus dilakukan sinkronisasi data di daerah, sebelum masuk ke pusat data nasional.
Selain itu, pendataan juga harus teliti, terutama karena banyak juga anak yang orang tuanya meninggal diduga akibat COVID-19, tetapi tidak melewati proses uji usap yang standar.
“Banyak juga anak yatim piatu itu mungkin secara data dia tidak masuk di dalam data COVID-19. Tetapi dia yatim piatu ditinggal orang tuanya pada saat pandemi ini juga. Kita tidak bisa mengabaikan mereka. Kita tidak bisa hanya mendata yang kemarin pakai swab, nah yang di balik gunung yang nggak pakai swab itu bagaimana?” kata Iien.
Daerah Akui Problem Data
Selain persoalan koordinasi, ketersediaan sumber daya manusia juga menjadi beban. Banyak laporan tertunda, karena petugas di lapangan harus mengutamakan layanan kepada masyarakat terlebih dahulu. Persoalan data menjadi nomor dua, dan pelaporan dilakukan ketika ada waktu. Kondisi semacam ini, dalam beberapa kasus, bisa mengakibatkan data ganda atau tidak terdata sama sekali.
Wakil Ketua DPRD NTT, Inche DP Sayuna, mengaku mereka masih berkutat dengan persoalan data sampai saat ini.
“Ini memang harus diakui bahwa kami tidak punya data, termasuk Satgas COVID-19 itu dia tidak punya data yang berperspektif anak. Dan itu juga sangat menyulitkan bagi kami dalam rangka mengarahkan kebijakan untuk kepentingan anak,” kata Inche.
Inche mengakui data adalah alat navigasi dalam membuat kebijakan agar tepat sasaran. Di sisi lain, provinsi itu belum punya data, dan masih bekerja keras menyusunnya. Bahkan menurutnya, Dinas PPPA yang langsung mengurusi persoalan ini, diyakini juga belum memiliki informasi yang cukup terkait anak-anak yang orang tuanya meninggal akibat COVID-19. Padahal, pandemi sudah berlangsung selama lebih dari 1,5 tahun.
Inche meyakini dalam koordinasi lintas sektor, termasuk dengan Satgas COVID-19, belum ada informasi cukup untuk menyusun data anak-anak dalam kelompok ini. Misalnya, menyangkut status mereka apakah yatim, piatu ataupun yatim piatu.
“Terus terang, dalam kami mengalokasikan anggaran dan membuat kebijakan, kami belum punya data yang cukup baik, guna kami menerjemahkan kebijakan dan anggaran demi kepentingan anak,” tambahnya.
Sejauh ini, perbincangan di DPRD NTT terkait anggaran masih diperuntukkan untuk penanganan COVID-19 secara umum dan belum fokus pada kepentingan anak.
“Satu-satunya anggaran yang kita persiapkan untuk kepentingan penanganan terhadap anak adalah pada bantuan sosial yang ada pada pos anggaran DPRD. Baik di lingkup Badan Keuangan maupun pada Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur,” kata Inche.
Pusat Sediakan Aplikasi Laporan
Data memang masih menjadi persoalan. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), NTT baru memasukkan data sembilan anak dari satu kabupaten saja. Padahal provinsi tersebut memiliki 22 kabupaten atau kota.
Untuk mempermudahnya, Kemen PPPA telah merilis RapidPro, aplikasi berbasis platform Whatsapp yang dikembangkan UNICEF. Seperti disampaikan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar.
“Kemen PPPA menyiapkan aplikasi untuk orang mudah melaporkan, maka muncul kemudian aplikasi dengan mengunaan Whatsapp dengan RapidPro ini. Kita buat untuk memudahkan,” kata Nahar dalam diskusi yang sama.
Karena menggunakan basis aplikasi perbincangan yang popular, sejak beberapa tahun terakhir RapidPro diandalkan untuk menjaring data langsung dari masyarakat.
Nahar menambahkan, aplikasi ini selain mempermudah juga menjadi sumber data kedua bagi pemerintah. Selama ini, pendataan anak yang kehilangan orang tuanya akibat COVID-19 dilakukan oleh Kementerian Sosial bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri. Basis data yang digunakan adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Namun dalam praktiknya, kata Nahar, banyak ditemukan anak yang belum atau tidak memiliki NIK. Karena itulah, diperlukan sumber data penyerta yang tidak memerlukan NIK dalam penyusunannya.
Diharapkan, masyarakat aktif melaporkan kasus anak kehilangan orang tua terdampak COVID-19, melaui RapidPro.
“Kalau kita mengetahui di lingkungan ada anak yag ditinggal orang tuanya, maka di samping laporan ke Ketua RT atau RW setempat, kita juga bisa melaporkan melalui aplikasi ini, dan bisa langsung tercatat dalam sistem data nasional,” ujar Nahar.
Menurut data yang disampaikan Nahar dalam diskusi ini, sampai 28 Agustus 2021 terdapat 10.097 laporan yang masuk. Sebanyak 4.983 anak perempuan dan 5.113 anak laki-laki. RapidPro juga merinci lebih jauh, siapa yang kemudian merawat anak-anak yang ditinggalkan orang tua korban COVID-19 itu, apakah oleh ibu, ayah, kakek-nekek atau pihak lain. [ns/ah]