YLBHI: 38 Kasus Penodaan Agama Sepanjang Januari-Mei

Salat Jumat dengan jarak sekitar 1 meter satu sama lain di sebuah masjid di Bandung, Jawa Barat, untuk mencegah perebakan virus corona, Jumat (20/3). (Foto: dok).

Sulawesi Selatan memiliki kasus penodaan agama terbanyak sepanjang Januari-Mei lalu, demikian catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

YLBHI mencatat ada 38 kasus penodaan agama dari Januari hingga awal Mei 2020 yang tersebar di 16 provinsi. Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan kasus terbanyak berada di Provinsi Sulawesi Selatan enam kasus, disusul Jawa Timur dan Maluku Utara masing-masing lima kasus.

Dari 38 kasus tersebut, dua di antaranya terkait Covid-19 yaitu kasus pembubaran salat Jumat di Kota Parepare Sulawesi Selatan dan kasus sumbangan nasi di Tanjung Priok Jakarta.

Your browser doesn’t support HTML5

YLBHI : 38 Kasus Penodaan Agama Sepanjang Januari-Mei

"Ini fenomena mengerikan. Jangan-jangan kalau kita lakukan setiap tahun, penistaan agama ada banyak dan rata-rata orangnya tidak mendapat pembelaan yang cukup," jelas Asfinawati saat konferensi pers secara online, Selasa (9/6).

Asfinawati juga menyoroti alasan gangguan ketertiban yang kerap digunakan kepolisian. Setidaknya ada 28 kasus yang diproses polisi karena dianggap mengancam ketertiban masyarakat. Dua puluh tiga di antaranya polisi menyatakan agar masyarakat tidak main hakim sendiri. Padahal gangguan ketertiban atau keamanan publik tidak diatur dalam aturan penodaan agama.

Direktur Eksekutif YLBHI Asfinawati. (Foto: VOA/Sasmito)

Adapun aturan yang digunakan untuk menjerat korban tidak hanya Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, melainkan juga Pasal 45A (2) yang memuat unsur permusuhan atau yang kemudian ditafsir sebagai penistaan agama. "Kasus dengan tersangka anak di bawah 18 tahun cukup banyak yaitu dua kasus dengan tersangka lima orang. Tiga dari lima orang ini berusia 14, 15, 16 tahun," tambah Asfin.

Selain itu ada enam kasus lain dengan usia muda yakni 18-21 tahun sebanyak delapan orang yang tersangkut kasus di media sosial. Atas dasar ini, Asfin merekomendasikan agar pasal-pasal penodaan agama dan penistaan agama di KUHP dan Undang-undang Ormas agar dihapus.

Menurutnya, negara dapat membuat aturan baru mengenai kejahatan yang didasarkan atas kebencian dan diskriminasi berbasis agama jika ingin melindungi umat beragama dari permusuhan dan kebencian SARA.

Perlu Pemilihana Kejahatan Berbasis SARA atau Intoleransi

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan aparat hukum perlu memilah antara kejahatan berbasis SARA atau tindakan intoleransi. Apalagi, kata dia, jika melihat sebagian besar pelaku adalah anak-anak. Karena itu, ia menyarankan aparat agar tidak langsung mengenakan pasal penodaan agama jika ada laporan dari masyarakat.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (Foto: Courtesy)

"Kalau pelakunya, data YLBHI lebih banyak anak-anak. Maka kita bisa yakin, intensinya memang bukan kebencian. Atau yang intensi ini bisa terkait seberapa sering si aktor melakukan tindakan yang sama," jelasnya.

Anam juga mengkritik masuknya pasal tentang penodaan agama dalam rancangan KUHP yang sedang dibahas pemerintah dan DPR. Menurutnya, pasal dalam RKUHP tersebut belum membedakan dengan jelas antara kejahatan dengan tindakan intoleransi. [sm/em]