Extra judicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum merupakan pelanggaran terhadap hak hidup yang telah dijamin oleh konstitusi pada Pasal 28 A dan Pasal 9 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, pada faktanya kasus pembunuhan di luar proses hukum masih terjadi. Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnamasari, mengatakan kasus pembunuhan di luar proses hukum sering kali dilakukan oleh pihak militer dan kepolisian.
“Catatan akhir tahun 2020 YLBHI itu menunjukkan bahwa 64 persen kasus-kasus extra judicial killing kalau kita lihat dari jumlah korbannya itu memang didominasi oleh militer, dan 36 persen dilakukan polisi," kata Era dalam acara Diseminasi Temuan Pembunuhan Sewenang-wenang dalam Penegakan Hukum: Potret Extra Judicial Killing di Indonesia, Minggu (21/2).
"Tapi jika kita lihat dari sebaran atau jumlah kasusnya, sebenarnya kepolisian lebih dominan yaitu sebesar 80 persen. Kasus-kasus extra judicial killing itu diduga melibatkan kepolisian," tambahnya.
Dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum, pihak kepolisian menjadi yang paling disorot. Berdasarkan data YLBHI sepanjang tahun 2018 sampai 2020, terdapat 241 kasus pembunuhan di luar proses hukum yang diduga melibatkan kepolisian dengan korban jiwa mencapai 305 orang.
Era memerinci, di tahun 2018 ada 151 kasus dengan 182 korban jiwa. Pada tahun 2019, ada 21 kasus dengan 77 korban jiwa. Sementara di tahun 2020, YLBHI mencatat ada 44 kasus dengan 46 korban jiwa. Kasus pembunuhan di luar proses hukum paling banyak terkait dengan penanganan demonstrasi yang mencapai 48 persen.
BACA JUGA: Aktivis: Pelanggaran HAM di Indonesia Terus Meningkat“Secara angka jumlah korban jiwa mungkin tahun 2020 tidak sebanyak 2019. Tapi jangan lupa bahwa di 2020 adalah tahun pandemi di mana gerak orang dibatasi, aksi-aksi protes juga sangat jarang dilakukan turun ke jalan. Sehingga kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa situasinya sudah membaik dengan adanya angka ini karena ada situasi pandemi. Sehingga kita tidak bisa menyimpulkan demikian,” ucap Era.
Namun, proses penegakan hukum terhadap oknum polisi yang terlibat dalam dugaan kasus extra judicial killing saat ini dinilai belum maksimal. Menurut YLBHI, lebih dari 80 persen kasus pembunuhan di luar proses hukum seakan senyap di tangan kepolisian.
“Hilang di sini bahwa prosesnya tidak jelas. Jadi orang bisa sampai 10 tahun tidak ada penetapan tersangka. Jangankan sampai ke pengadilan, ditetapkan sebagai tersangka saja sudah tidak ada. Bahkan tidak jelas apakah ini statusnya sudah atau masih penyelidikan," ungkapnya.
"Jadi tidak ada satu progress penegakan hukum di dalam kasus extra judicial killing. Di sini kami catat ada sembilan persen vonis hakim, ini hanya beberapa kasus saja, dan yang ada tersangka itu 10 persen meskipun ada tersangka tapi tetap saja tertunda sampai bertahun-tahun,” lanjut Era.
BACA JUGA: Anggota TNI yang Terlibat dalam Pembunuhan di Sugapa Diminta Segera DiadiliYLBHI pun berkesimpulan bahwa pembunuhan di luar proses hukum masih terus terjadi, bahkan menunjukkan kecenderungan motif yang meluas pada pembatasan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Bukan hanya itu, kasus-kasus extra judicial killing yang terjadi berulang kali juga didorong lantaran tidak adanya penegakan hukum yang efektif dan adil bagi korban. Ditambah dengan tingginya hambatan bagi korban dalam mencari keadilan tidak diiringi oleh dukungan dari lembaga-lembaga pengawas eksternal yang kuat dan mudah diakses.
“Kapolri harus menuntaskan kasus-kasus extra judicial killing demi mengembalikan wibawa penegakan hukum dan memberikan keadilan bagi korban. Kepolisian harus membuka informasi seluas-luasnya atas tindakan extra judicial killing terhadap semua pihak yang ingin mengakses kebenaran dan keadilan,” ujar Era.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan dugaan pembunuhan di luar proses hukum masih sering terjadi hampir di seluruh Polres di Indonesia. Namun, tidak mudah dalam mengungkapkan kasus pembunuhan di luar proses hukum yang melibatkan aparat.
“Jumlahnya (kasus pembunuhan di luar proses hukum) memang fluktuasi, kadang naik atau turun. Kita bisa saja mengatakan extra judicial killing, di mana penegak hukum atau otoritas negara menggunakan satu kekuatan yang berlebihan sehingga menimbulkan kematian bagi korban," katanya.
Penyelidikan tersebut, lanjut Ahmad, memang tidak mudah, Komnas HAM misalnya hanya bisa mengambil kasus-kasus yang dianggap fenomenal saja.
"Bukti-bukti itu tidak mudah mengumpulkannya, untuk kemudian mengonter narasi yang dibangun oleh kepolisian,” katanya yang juga hadir dalam acara tersebut.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Manager Nasution, dibutuhkan sebuah upaya untuk mengungkapkan praktik pembunuhan di luar proses hukum yang mengacu pada prinsip fair trial.
“Terhadap korban praktik extra judicial killing berhak mengajukan perlindungan termasuk dalam upaya untuk mengajukan restitusi,” ucapnya.
Berdasarkan data LPSK di tahun 2020, sedikitnya ada empat wilayah yang melaporkan dan meminta perlindungan terkait adanya dugaan penyiksaan dengan terlapor satu prajurit TNI dan tujuh anggota polisi. [aa/em]