Hari Selasa (5/3), petugas dari Kepolisian Resor Kota Yogyakarta membakar 1.083 batang tanaman ganja di sebuah tanah lapang. Ribuan batang ganja itu disita dari sebuah perkebunan di Purwakarta, Jawa Barat. Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol Armaini menyebut, jika sudah jadi dan didistribusikan di pasar gelap, dedaunan ini bisa menghancurkan puluhan ribu pemakainya.
“Ini ada seribu batang lebih, dengan ukuran tinggi 1-3 meter. Katakanlah satu batang bisa menghasilkan 0,5 kilo dikalikan seribu batang sudah lebih dari 500 kilo. Sementara yang diedarkan itu paket kecil-kecil. Setengah kilo itu kalau dipecah jadi banyak paket. Kalau kita kalikan bisa ribuan yang diselamatkan. Itu hanya hitungan matematis,” kata Armaini.
Yogya Pasar Potensial
Dalam perdagangan ganja, dikenal istilah satu baris yang merujuk pada berat 1 ons. Menurut data penangkapan sejumlah pengedar oleh polisi di berbagai daerah, harga satu paket ini bervariasi, mulai Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta.
Your browser doesn’t support HTML5
Seribu batang lebih tanaman ganja yang dibakar ini membuka celah kecil untuk menengok, bagaimana alur perdagangan narkoba jenis ini di Yogyakarta. Awalnya, polisi menangkap Ari, seorang mahasiswa pengedar ganja pada pertengahan Februari lalu, dengan 101 paket ganja di tangannya. Ari memperoleh ganja itu dari Yohan. Polisi akhirnya mengungkap muasal ganja ini dari perkebunan seluas 1,5 hektar di tepi Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Sarwin, seorang petani, menanam ganja itu sejak akhir tahun lalu di lahan milik Perhutani.
AKBP Sudaryaka dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Yogyakarta mengaku, kota pelajar ini adalah pasar yang menggiurkan. Begitu menggiurkan, sampai-sampai DIY pernah menjadi salah satu daerah dengan prevalensi pemakai narkoba tinggi di Indonesia. “Dengan kerja sama seluruh pemangku kebijakan terkait, sekarang kita bisa menekan peredarannya,” kata Sudaryaka.
Data menunjukkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di Yogyakarta berkisar pada angka 2,2 persen. Dengan jumlah itu, tercatat sekitar 60 ribu orang terlibat di dalamnya. Usia pemakai berada dalam rentang 10-59 tahun, dengan dominasi dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika dilihat pada batas usia pelajar dan mahasiswa, Yogyakarta bahkan menduduki tempat tertinggi dalam prevalensi atau persentase pemakai terhadap jumlah penduduk.
Data di Polda DIY menyebutkan, pada 2017 mereka menangani 371 kasus narkoba dengan 462 tersangka. Angka itu meningkat pada 2018 menjadi 448 kasus dengan 551 tersangka. Mayoritas yang tertangkap adalah para pemakai. Dalam operasi khusus, kasus yang terbongkar bisa melebihi rata-rata. Dalam operasi Narkoba-Progo pada 2018 lalu, dalam 14 hari polisi bisa mengungkap 43 kasus penyalahgunaan narkoba di DIY.
Kombes Pol Dewa Putu Gede Artha, Direktur Reserse Narkoba Polda DIY mencatat, Yogya lebih disasar sebagai pasar, bukan produsen. Karena itulah, dalam penyelidikan polisi, pasokan ganja dan narkoba lain selalu dipetakan berasal dari luar daerah.
“Usia dominan tetap 30 tahun ke atas, dengan profesi pekerja. Ini data yang kita himpun dari semua hasil tangkapan Polres-Polres, Polda DIY, mapun BNN. Untuk narkoba yang terbanyak jenis ganja, maupun pil. Obat daftar G, cukup lumayan juga angkanya. Jenisnya yang lebih banyak disalahgunakan dua itu, dan juga tembakau gorilla,” kata Dewa Gede Putu Artha.
Menunggu Peran Kampus dan Sekolah
Di kalangan kampus, upaya untuk mencegah penyalahgunaan narkoba juga marak dilakukan. Kampus Universitas Gadjah Mada memiliki Raja Bandar, atau Gerakan Jauhi Bahaya Napza dan Rokok. Ini adalah tempat berkumpulnya mahasiswa yang berkampanye mencegah konsumsi dua produk itu di kalangan mereka sendiri. “Kami sadar, kampanye semacam ini tidak bisa ditangani oleh satu lembaga saja, perlu peran dari berbagai pihak yang fokus bergerak,” kata I Kadek Sudiarsana dari Raja Bandar.
Menurut Kadek, organisasi ini aktif berkampanye di fakultas-fakultas, dan bahkan diundang berbicara ke kampus lain. Poster dan media sosial menjadi wahana perjuangan mereka.
“Gerakan ini fungsinya adalah pencegahan. Kami tidak berwenang melakukan pemberantasan. Sehingga kami lebih dalam upaya-upaya preventif, bagaimana kita mengajak seluruh komponen masyarakat, khususnya mahasiswa, melakukan kampanye supaya orang tidak terjerumus dalam obat-obatan terlarang,” jelas I Kadek Sudiarsana.
Mengapa ganja memiliki pasar cukup besar di Yogya? Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Feryan Harto Nugroho, status sebagai kota pelajar menjadi salah satu faktor. “Jogja adalah kota pelajar. Kota wisata. Melihat pasarnya, ganja sendiri memang barangnya cukup murah. Sehingga bisa dinikmati oleh oknum pengguna dengan yang sedikit sudah dapat narkoba, sudah dapat ganja,” kata Feryan.
Dua langkah harus berjalan beriringan untuk menahan laju konsumsi narkoba ini, yaitu pemberantasan dan pencegahan. Dua kelompok usia kunci, yaitu pelajar dan mahasiswa harus memperoleh perhatian lebih. Tanggung jawab tidak hanya ada di pemerintah daerah, kepolisian, atau BNN, tetapi masyarakat secara umum. Kampanya yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kaum milenial agar pesannya tersampaikan.
“Kampus harus aktif, sekolah harus aktif. Mau capek turun ke kantin-kantin di luar sekolah. Karena banyak sekali kita temui, kantin di luar pagar sekolah, di sanalah adik-adik kita pakai. Kampus harus ketat dalam penggunaan tempat, banyak fakta barang itu digunakan di ruang sekretariat mahasiswa di jam-jam tertentu,” jelas Feryan Harto Nugroho.
Terhadap tindak lanjut hukum dalam kasus narkoba, kata Feryan, sikap Granat sudah jelas. Rehabilitasi dan bui adalah pilihan yang tersedia. Kuncinya ada pada Tim Asesmen Terpadu (TAT), yang merupakan gabungan instansi penegak hukum. Melalui rekomendasi tim inilah, seseorang yang ditangkap aparat dalam kasus narkoba memiliki pilihan nasib, apakah rehabilitasi atau bui. Karena itu, menurut Granat, tim TAT harus bersih dari intervensi dan permainan kotor. [ns/uh]