Sebuah perpecahan diplomatik di Timur Tengah semakin parah, Qatar dan Turki di satu sisi, dan Arab Saudi dan negara Arab di Teluk lainnya bersama Mesir di sisi lainnya. Sekutu Amerika dan negara moderat, Yordania, berusaha agak menjauh dari mitra negara-negara Arab di Teluk dan mendekati Qatar dan Turki serta memposisikan di tengah.
Raja Abdullah II dari Yordania sedang memetakan sebuah kebijakan luar negeri yang lebih independen, demikian pengamatan analis. Yordania berusaha agak menjauhi mitra-mitra negara Arab di Teluk. Yordania baru-baru ini memulihkan hubungan diplomatik dengan Qatar dan menunjuk Duta Besar untuk negara itu pertama kalinya dalam dua tahun. Langkah ini dibalas dengan tindakan yang sama oleh Qatar.
Perkembangan ini datang dua tahun setelah Yordania menurunkan tingkat perwakilan diplomatiknya dengan Qatar. Langkah serupa juga dilakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain, yang sering disebut sebagai kuartet Arab karena mereka menuduh Qatar mendukung militan Islamis dan campur tangan dalam urusan dalam negeri.
BACA JUGA: Raja Yordania Dukung Solusi Dua Negara untuk Timur TengahAnalis politik Yordania Osama al-Sharif menjelaskan, "Yordania menyesuaikan kebijakan luar negerinya dan raja mengirim pesan bahwa dia tidak mau jadi bagian dari setiap axis atau koalisi di kawasan, kecuali koalisi untuk memerangi ISIS. Tetapi lepas dari itu, Yordania tidak bergabung dengan koalisi Arab Saudi di Yaman. Yordania telah mengambil langkah-langkah untuk memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan Qatar karena tidak mau jadi bagian dari koalisi anti-Qatar."
Yordania juga memperkuat hubungannya dengan Turki setelah khawatir dengan pengaruhnya yang semakin besar di dunia Arab. Turki membangun pengaruh sebagai negara Muslim Suni yang kuat dan bersaing dengan kekuatan kawasan Arab Saudi di Timur Tengah, mirip dengan Iran yang Shiah bertarung untuk meraih kendali lewat pemanfaatkan proksi dalam konflik kawasan.
Sumber pertikaian utama antara Arab Saudi dan negara-negara Arab di Teluk, serta Mesir di satu sisi, dan Qatar dan Turki di sisi lainnya, adalah Iran, demikian menurut Günter Meyer, yang memimpin Penelitian di Dunia Arab di University of Mainz, Jerman.
Qatar memiliki kerja sama militer dengan Iran dan kedua negara bersama-sama mengoperasikan sebuah lapangan gas alam di Teluk. Meskipun Qatar berusaha berperan sebagai penengah, kata Meyer, Saudi tidak menyetujuinya. Ditambahkannya bahwa perpecahan ini juga berdampak di Libia. Di sana, Mesir dan Arab Saudi mendukung komandan milisi Libia, Khalifa Hifter, sementara Qatar dan Turki mendukung pemerintah di Tripoli. (jm/my)