Sebuah perguruan tinggi baru membuka pintu kelas-kelasnya musim panas ini di Berkeley, California.
Nama kampus ini Zaytuna College. Bila nama tersimak Islami, memang karena Zaytuna adalah perguruan tinggi Islam, dan merupakan yang pertama di Amerika Serikat.
Suasana Kampus
Pemandangan suasana kampus Zaytuna tak ubahnya kampus-kampus lain di California.
Para mahasiswa hilir-mudik di halaman kampus yang bermandikan sinar matahari, bergegas menuju kelas masing-masing. Tapi, di dalam kelas, para mahasiswi duduk di sisi terpisah dengan rekan-rekan lelakinya. Para mahasiswa laki-laki kebanyakan berjenggot, dengan kepala tertutup peci. Hanya seorang mahasiswi yang terlihat rambutnya di ruang kelas ini. Yang lainnya, menutup kepala dengan jilbab sederhana.
Dosen mengajar dalam bahasa Arab. Untuk bersiap menyambut semester musim gugur, Zaytuna menyediakan kelas-kelas bahasa Arab. Apa yang saja dapat dipelajari di Zaytuna? Seperti perguruan tinggi lainnya di Amerika, mahasiswa akan mempelajari sejarah Amerika, antropologi, filosofi, sastra dan ilmu politik. Tapi, sebagian besar dari kurikulum wajib Zaytuna terdiri dari studi Islam dan kitab suci Al-Qur’an.
“Kami ingin memanifestasikan Islam dalam cara pikir Amerika,” ujar Imam Zaid Shakir, pendiri dan salah satu professor di Zaytuna.
Cendekiawan Muslim Amerika
Imam Shakir menyebut kebanyakan akademisi Islam di Amerika berasal dari negara-negara lain, seperti Pakistan, Yaman dan Mesir. Jadi, walaupun ada berjuta-juta warga Muslim di Amerika, agama Islam tetap tersimak asing di sini. Tapi, menurut Shakir, para pengajar di Zaytuna adalah orang-orang dengan latar belakang serupa dengan dirinya.
“Orang-orang yang dilatih dan dididik di sini, yang mengerti nuansa dan kompleksitas masyarakat kita. Dan mereka orang-orang yang nyaman dengan sisi Amerika mereka di satu sisi, dan sisi keislaman di sisi lain,” ujar Imam Shakir mengenai dosen-dosen di Zaytuna College.
Zaytuna mengikuti tradisi perguruan-perguruan tinggi lain di Amerika yang didirikan berdasarkan pada sebuah agama.
“Harvard, Princeton dan Yale,” seorang pengamat memberi contoh. Pengamat tersebut, Dr. Michael Higgins, mempelajari hubungan antara agama dan pendidikan tinggi di Amerika. Ia mengingatkan, kelompok-kelompok agamis lah yang mendirikan universitas-universitas tersohor tersebut.
Siap Hadapi Rasa Curiga
Walaupun perguruan tinggi berbasis agama lumrah di Amerika, Higgins khawatir keberadaan Zaytuna akan mengundang kecurigaan di era pasca-11 September ini, di mana banyak persepsi akan Islam sebagai agama yang membolehkan dan bahkan mengajarkan, kekerasan dan ketidakrukunan. “Saya rasa akan banyak yang akan memandang sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berdasarkan Islam, dengan rasa cemas,” ujar Higgins.
Tapi menurut Imam Shakir, mereka yang menentang keberadaan Zaytuna hanyalah mewakili sekelompok kecil warga Amerika. Ini, menurut Shakir, karena yang mereka tahu hanyalah sekelompok kecil komunitas Islam yang militan.
“Yang mereka lihat adalah para pembom, orang-orang gila,” ujar Shakir. “Dan, saya kira inilah mengapa Zaytuna College sangat penting. Kita ingin membuktikan diri kita, untuk membungkam para pengeritik Islam.”
Buktikan Diri
Tugas membungkam para pengeritik berada di tangan para calon mahasiswa Zaytuna.
Salah satunya adalah Dustin Craun, 30 tahun, seorang mualaf. Craun sudah mengantongi gelar Sarjana tapi merasa gelarnya dari perguruan tinggi tradisional kekurangan sesuatu yang fundamental.
“Keindahan pengetahuan Islam ada pada keseimbangannya antara pikiran, hati dan jiwa,” ujar Craun.
Shakir berdoa bagi kesuksesan para mahasiswanya yang membawa nama perguruan tinggi Islam pertama di Amerika. Shakir berkeyakinan Islam tak akan mengakar di tanah manapun, hingga tanah tersebut melahirkan cendekiawan-cendekiawan Muslimnya sendiri. Dan inilah, menurut Shakir, mengapa ia mendirikan Zaytuna College.