Arab Saudi, yang didominasi muslim Sunni dan Iran dengan mayoritas muslim Syiah yang umumnya orang Persia, tampaknya ditakdirkan untuk saling bertentangan, lantaran teluk Parsi yang kaya minyak dan gas bumi. Hubungan memburuk setelah perang Amerika di Irak, tetapi semakin meruncing ketika mereka bereaksi terhadap peristiwa setahun ini di seluruh kawasan itu.
Teheran mendukung pergolakan di Tunisia dan Mesir, sementara Arab Saudi mendukung pemerintah di kedua negara itu. Di Suriah, dukungan terbalik, di mana Iran berupaya untuk membuat pemerintah Assad yang terkepung itu tetap berkuasa dan Arab Saudi mengimbau pemberontak dipersenjatai lebih baik.
Peneliti Nadim Shehadi di Chatham House, London mengatakan bukan kedua negara itu saja yang tampaknya membuat pendekatan yang bertentangan. Kata Nadim, "Pergolakan Arab itu mengejutkan semua orang dan tidak ada satu pemain pun yang kebijakannya konsisten, bahkan Amerika, Eropa atau Rusia. Oleh karena itu, semuanya selalu tampak berstandar ganda."
Di antara standar-standar yang tidak digunakan oleh Arab Saudi dan Iran, kata beberapa analis politik, adalah hak-hak demokratis kalangan yang tertindas. Kedua negara tidak memungkinkan protes di dalam negeri mereka, dengan menggabungkan razia keamanan dengan janji peningkatan anggaran pemerintah.
Berbagai siasat juga dapat dilihat dalam dukungan atau tentangan mereka terhadap berbagai kelompok di seluruh pelosok kawasan itu. Abdulaziz Sager, kepala Gulf Research Council, mengatakan Suriah merupakan satu-satunya yang paling terlihat dalam konfrontasi yang diwakili di kawasan itu. Selanjutnya, ia mengatakan, "Iran ingin memastikan bahwa Irak, Suriah, Lebanon / Hizbullah, atau apa yang kita sebut Bulan Sabit Syiah, bagi mereka cukup penting untuk mengimbangi kekuatan sisi lain dunia Arab, yaitu Timur Tengah, Teluk. Realitanya sekarang ini, merupakan dua blok."
Kedua blok tersebut tercermin di panggung global, dengan Amerika sebagian besar mendukung blok Saudi, dan Rusia berpihak dengan Iran. Tapi Sager mengatakan tidak jelas bahwa dukungan Syiah akan menjamin pemerintah Suriah memilih Teheran atas Riyadh.
Abdulaziz Segar mengatakan, " Secara historis Saudi berhubungan baik dengan Suriah, tapi sayangnya orang Suriah tidak mendengarkan nasihat Saudi cara seharusnya mereka menangani bentrokan sejak awal."
Satu lagi yang diperselisihkan dalam adu kuat antara Saudi dan Iran adalah Bahrain, di mana Riyadh membantu pemerintah Sunni memadamkan pergolakanyang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai pergolakan oleh kelompok Syiah yang termaginalkan.
Manuver seperti itu, secara teori bisa berlarut-larut, tapi Shehadi mengatakan perubahan permainan sudah diambang pintu. Jika kini Iran hampir bisa membuat senjata nuklir, seperti yang dikatakan pihak Barat dan dibantah Teheran, analis seperti Shehadi mengatakan pengaruhnya pada tindakan regional dan global akan sangat mendalam.
Shehadi mengatakan potensi nuklir Iran dapat memungkinkan Teheran memperlakukan setiap negara di kawasan tersebut sama seperti Uni Soviet memperlakukan Eropa Timur.
Teheran mendukung pergolakan di Tunisia dan Mesir, sementara Arab Saudi mendukung pemerintah di kedua negara itu. Di Suriah, dukungan terbalik, di mana Iran berupaya untuk membuat pemerintah Assad yang terkepung itu tetap berkuasa dan Arab Saudi mengimbau pemberontak dipersenjatai lebih baik.
Peneliti Nadim Shehadi di Chatham House, London mengatakan bukan kedua negara itu saja yang tampaknya membuat pendekatan yang bertentangan. Kata Nadim, "Pergolakan Arab itu mengejutkan semua orang dan tidak ada satu pemain pun yang kebijakannya konsisten, bahkan Amerika, Eropa atau Rusia. Oleh karena itu, semuanya selalu tampak berstandar ganda."
Di antara standar-standar yang tidak digunakan oleh Arab Saudi dan Iran, kata beberapa analis politik, adalah hak-hak demokratis kalangan yang tertindas. Kedua negara tidak memungkinkan protes di dalam negeri mereka, dengan menggabungkan razia keamanan dengan janji peningkatan anggaran pemerintah.
Berbagai siasat juga dapat dilihat dalam dukungan atau tentangan mereka terhadap berbagai kelompok di seluruh pelosok kawasan itu. Abdulaziz Sager, kepala Gulf Research Council, mengatakan Suriah merupakan satu-satunya yang paling terlihat dalam konfrontasi yang diwakili di kawasan itu. Selanjutnya, ia mengatakan, "Iran ingin memastikan bahwa Irak, Suriah, Lebanon / Hizbullah, atau apa yang kita sebut Bulan Sabit Syiah, bagi mereka cukup penting untuk mengimbangi kekuatan sisi lain dunia Arab, yaitu Timur Tengah, Teluk. Realitanya sekarang ini, merupakan dua blok."
Kedua blok tersebut tercermin di panggung global, dengan Amerika sebagian besar mendukung blok Saudi, dan Rusia berpihak dengan Iran. Tapi Sager mengatakan tidak jelas bahwa dukungan Syiah akan menjamin pemerintah Suriah memilih Teheran atas Riyadh.
Abdulaziz Segar mengatakan, " Secara historis Saudi berhubungan baik dengan Suriah, tapi sayangnya orang Suriah tidak mendengarkan nasihat Saudi cara seharusnya mereka menangani bentrokan sejak awal."
Satu lagi yang diperselisihkan dalam adu kuat antara Saudi dan Iran adalah Bahrain, di mana Riyadh membantu pemerintah Sunni memadamkan pergolakanyang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai pergolakan oleh kelompok Syiah yang termaginalkan.
Manuver seperti itu, secara teori bisa berlarut-larut, tapi Shehadi mengatakan perubahan permainan sudah diambang pintu. Jika kini Iran hampir bisa membuat senjata nuklir, seperti yang dikatakan pihak Barat dan dibantah Teheran, analis seperti Shehadi mengatakan pengaruhnya pada tindakan regional dan global akan sangat mendalam.
Shehadi mengatakan potensi nuklir Iran dapat memungkinkan Teheran memperlakukan setiap negara di kawasan tersebut sama seperti Uni Soviet memperlakukan Eropa Timur.