JAKARTA —
Masa kampanye pemilihan umum di media massa baru diperbolehkan mulai 16 Maret 2014, namun para elite politik yang juga pemilik media massa telah dengan leluasa memunculkan iklan-iklan untuk memuluskan kepentingan politiknya, yang memicu kekhawatiran sejumlah kalangan apakah media akan bisa bersikap independen dalam pemilu mendatang.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, dalam sebuah diskusi Selasa malam (19/11) di Jakarta, mengatakan berita-berita politik yang adil dan cerdas lebih penting dimuat media.
“Bagi kami sebagai penyelenggara pemilu adalah bagaimana semua media baik yang berpihak atau tidak berpihak arah perhatiannya lebih kepada peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu dan yang lebih penting kualitas kontestan yang ada Apakah media memberi ruang yang cukup bagi para kandidat ini baik bagi partai politik maupun calon legislatif,” ujarnya.
Di Indonesia saat ini ada 500 media yang yang dimiliki oleh sedikit pengusaha yang sebagian besar ikut dalam pemilu mendatang. Hampir semua kelompok besar tersebut memiliki perusahaan media massa dengan berbagai macam bentuk, mulai dari cetak, penyiaran, hingga portal berita daring.
Pengamat komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto menilai selama ini banyak aturan yang sudah dilanggar oleh tokoh politik yang menjadi pemilik media dalam upaya mereka mempopulerkan dirinya. Namun ia yakin upaya ini tidak begitu saja dapat menaikkan elektabilitas tokoh tersebut.
“Tidak berhubungan langsung antara popularitas tokoh yang muncul setiap hari di media dengan elektabilitasnya. Justru yang paling diminati sekarang adalah dekatnya calon pemimpin dengan basis massa atau komunitasnya. Seketika kandidat punya ciri transformatif justru jauh lebih powerful dalam mempersuasi pemilih di kantong-kantong pemilih,” ujarnya.
Gun Gun mengatakan media sebagai ruang publik tidak boleh berpihak kepada pemilik modal. Political literacy atau pengetahuan politik yang memadai dari publik akan membuat peran media tidak terlalu besar dalam mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilihan umum, ujarnya.
“Sekali lagi bukan soal elektabilitas yang kita persoalkan Tapi ini soal pemanfaatan ruang publik,” ujarnya.
Mengenai munculnya berbagai kelompok besar media massa yang tidak hanya memiliki kepentingan bisnis, namun juga kepentingan politik pemiliknya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Tantowi Yahya mengatakan, sudah ada kesepakatan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPU terkait penggunaan media dalam pemilu.
“KPU mempercayai KPI sebagai polisi yang dapat mengatur siapapun yang berpotensi atau telah melanggar penggunaan spektrum yang berupa kekayaan terbatas milik masyarakat,” ujarnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, dalam sebuah diskusi Selasa malam (19/11) di Jakarta, mengatakan berita-berita politik yang adil dan cerdas lebih penting dimuat media.
“Bagi kami sebagai penyelenggara pemilu adalah bagaimana semua media baik yang berpihak atau tidak berpihak arah perhatiannya lebih kepada peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu dan yang lebih penting kualitas kontestan yang ada Apakah media memberi ruang yang cukup bagi para kandidat ini baik bagi partai politik maupun calon legislatif,” ujarnya.
Di Indonesia saat ini ada 500 media yang yang dimiliki oleh sedikit pengusaha yang sebagian besar ikut dalam pemilu mendatang. Hampir semua kelompok besar tersebut memiliki perusahaan media massa dengan berbagai macam bentuk, mulai dari cetak, penyiaran, hingga portal berita daring.
Pengamat komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gun Gun Heryanto menilai selama ini banyak aturan yang sudah dilanggar oleh tokoh politik yang menjadi pemilik media dalam upaya mereka mempopulerkan dirinya. Namun ia yakin upaya ini tidak begitu saja dapat menaikkan elektabilitas tokoh tersebut.
“Tidak berhubungan langsung antara popularitas tokoh yang muncul setiap hari di media dengan elektabilitasnya. Justru yang paling diminati sekarang adalah dekatnya calon pemimpin dengan basis massa atau komunitasnya. Seketika kandidat punya ciri transformatif justru jauh lebih powerful dalam mempersuasi pemilih di kantong-kantong pemilih,” ujarnya.
Gun Gun mengatakan media sebagai ruang publik tidak boleh berpihak kepada pemilik modal. Political literacy atau pengetahuan politik yang memadai dari publik akan membuat peran media tidak terlalu besar dalam mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilihan umum, ujarnya.
“Sekali lagi bukan soal elektabilitas yang kita persoalkan Tapi ini soal pemanfaatan ruang publik,” ujarnya.
Mengenai munculnya berbagai kelompok besar media massa yang tidak hanya memiliki kepentingan bisnis, namun juga kepentingan politik pemiliknya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Tantowi Yahya mengatakan, sudah ada kesepakatan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPU terkait penggunaan media dalam pemilu.
“KPU mempercayai KPI sebagai polisi yang dapat mengatur siapapun yang berpotensi atau telah melanggar penggunaan spektrum yang berupa kekayaan terbatas milik masyarakat,” ujarnya.