JAKARTA —
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto telah menyatakan diri maju sebagai calon presiden (capres) pada pemilihan presiden 2014 mendatang, dengan menggandeng pengusaha yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura Hary Tanoesoedibjo, untuk mendampingi sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Pensiunan jenderal angkatan darat itu mengatakan dirinya bersama Hary Tanoe siap mengambil peran untuk memimpin perubahan di Indonesia.
Wiranto mengatakan berkomitmen menjaga toleransi kehidupan bersama antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang berbeda keyakinan.
“Kami ini merupakan pasangan yang dapat merajut perbedaan etnik dan agama. Pasangan kami juga merupakan refleksi dari semangat toleransi di antara kelompok mayoritas dan minoritas. Pasangan kami ini juga menyatukan perbedaan antar generasi dan profesi untuk saling melengkapi. Pasangan kami ini juga memelopori keberanian dan ketegasan dalam mengambil sikap untuk pengabdian. Kesemuanya itu benar-benar dibutuhkan untuk mengembalikan kejayaan Indonesia,” ujarnya pada Selasa (2/7).
Wiranto, yang pernah menjabat sebagai panglima militer saat kepemimpinan mantan presiden Soeharto, mengatakan berbagai isu miring seputar dirinya, diantaranya terkait soal tudingan sebagai dalang kerusuhan Mei 1998 dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Leste, tidak akan menyurutkan niatnya untuk bertarung dalam pemilihan presiden 2014.
Sementara itu, Hary Tanoesoedibjo mengatakan, latar belakang yang berbeda antara dirinya dengan Wiranto, bukan menjadi penghalang dirinya untuk mendampingi Wiranto sebagai calon wakil presiden Partai Hanura.
“Dengan melihat latar belakang kami yang berbeda, dimana bapak Wiranto memiliki latar belakang militer, sedangkan saya berlatar belakang ekonomi dan bisnis, akan saling melengakapi. Sehingga merupakan satu sinergi yang maksimal untuk memimpin bangsa ini,” ujarnya.
Hary mengklaim bahwa meski dirinya adalah pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Group yang mencakup stasiun televisi RCTI, Global TV dan MNC TV; koran Sindo; portal berita okezone.com; radio Sindo Trijaya FM dan beberapa media lainnya, namun dirinya berkomitmen untuk tetap menjaga independensi pemberitaan dan komposisi iklan di Group MNC.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ibramsyah, kepada VOA mengatakan, berbagai survei menunjukkan pasangan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo tidak mempunyai keterpilihan yang menonjol untuk maju dalam pemilihan presiden 2014. Apalagi menurutnya, Hary Tanoesoedibjo adalah orang baru di dunia politik.
“Setelah pemilu legislatif 2014 nanti, itu konstelasi akan berubah total. Apalagi dengan sistem presidential treshold 20%, itu keliatannya Hanura tidak akan bisa sendiri. Dua partai pun tidak akan cukup (untuk mencalonkan capres-cawapres), mungkin tiga atau lima partai. Jadi Hanura harus segera ubah strategi politiknya nanti (setelah pemilu legislatif),” ujarnya.
Sementara itu, terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan Wiranto saat menjabat sebagai panglima militer, Wakil Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Choirul Anam meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) meneliti rekam jejak calon-calon presiden dan wakil presiden sebelum maju dalam pencalonan 2014 mendatang.
“KPU harus jeli melihat pencalonan ini. Secara substansi Wiranto tidak layak. Ada satu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Timor Leste yang disebut Comissions of Truth and Friendship (Komisi Kebenaran dan Persahabatan, CTF) yang mengatakan harus ada pertanggungjawaban dari Wiranto melalui mekanisme pengadilan (terkait kasus dugaan pelanggaran HAM pasca jajak pendapat 1999),” ujarnya.
“Sampai sekarang nggak ada mekanime itu. Bisa dibayangkan jika Wiranto terpilih, bisa ditangkap dia kalau ke luar negeri. Gugatan internasional dibawah Serious Crime Unit (SCU) meminta pengadilan ulang. Kalau Indonesia nggak mau mengadili ulang, dia akan diancam melalui mekanisme internasional. Itu memungkinkan.”
Choirul menambahkan, dalam laporan the Commission of Expert (COE) yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB, disebutkan secara individual, Wiranto (yang memangku otoritas tertinggi keamanan di Timor Leste saat itu) bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh tentara atau polisi Indonesia maupun milisi sipil pro-integrasi.
Pensiunan jenderal angkatan darat itu mengatakan dirinya bersama Hary Tanoe siap mengambil peran untuk memimpin perubahan di Indonesia.
Wiranto mengatakan berkomitmen menjaga toleransi kehidupan bersama antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang berbeda keyakinan.
“Kami ini merupakan pasangan yang dapat merajut perbedaan etnik dan agama. Pasangan kami juga merupakan refleksi dari semangat toleransi di antara kelompok mayoritas dan minoritas. Pasangan kami ini juga menyatukan perbedaan antar generasi dan profesi untuk saling melengkapi. Pasangan kami ini juga memelopori keberanian dan ketegasan dalam mengambil sikap untuk pengabdian. Kesemuanya itu benar-benar dibutuhkan untuk mengembalikan kejayaan Indonesia,” ujarnya pada Selasa (2/7).
Wiranto, yang pernah menjabat sebagai panglima militer saat kepemimpinan mantan presiden Soeharto, mengatakan berbagai isu miring seputar dirinya, diantaranya terkait soal tudingan sebagai dalang kerusuhan Mei 1998 dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Leste, tidak akan menyurutkan niatnya untuk bertarung dalam pemilihan presiden 2014.
Sementara itu, Hary Tanoesoedibjo mengatakan, latar belakang yang berbeda antara dirinya dengan Wiranto, bukan menjadi penghalang dirinya untuk mendampingi Wiranto sebagai calon wakil presiden Partai Hanura.
“Dengan melihat latar belakang kami yang berbeda, dimana bapak Wiranto memiliki latar belakang militer, sedangkan saya berlatar belakang ekonomi dan bisnis, akan saling melengakapi. Sehingga merupakan satu sinergi yang maksimal untuk memimpin bangsa ini,” ujarnya.
Hary mengklaim bahwa meski dirinya adalah pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Group yang mencakup stasiun televisi RCTI, Global TV dan MNC TV; koran Sindo; portal berita okezone.com; radio Sindo Trijaya FM dan beberapa media lainnya, namun dirinya berkomitmen untuk tetap menjaga independensi pemberitaan dan komposisi iklan di Group MNC.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ibramsyah, kepada VOA mengatakan, berbagai survei menunjukkan pasangan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo tidak mempunyai keterpilihan yang menonjol untuk maju dalam pemilihan presiden 2014. Apalagi menurutnya, Hary Tanoesoedibjo adalah orang baru di dunia politik.
“Setelah pemilu legislatif 2014 nanti, itu konstelasi akan berubah total. Apalagi dengan sistem presidential treshold 20%, itu keliatannya Hanura tidak akan bisa sendiri. Dua partai pun tidak akan cukup (untuk mencalonkan capres-cawapres), mungkin tiga atau lima partai. Jadi Hanura harus segera ubah strategi politiknya nanti (setelah pemilu legislatif),” ujarnya.
Sementara itu, terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan Wiranto saat menjabat sebagai panglima militer, Wakil Direktur Eksekutif Human Right Working Group (HRWG) Choirul Anam meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) meneliti rekam jejak calon-calon presiden dan wakil presiden sebelum maju dalam pencalonan 2014 mendatang.
“KPU harus jeli melihat pencalonan ini. Secara substansi Wiranto tidak layak. Ada satu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Timor Leste yang disebut Comissions of Truth and Friendship (Komisi Kebenaran dan Persahabatan, CTF) yang mengatakan harus ada pertanggungjawaban dari Wiranto melalui mekanisme pengadilan (terkait kasus dugaan pelanggaran HAM pasca jajak pendapat 1999),” ujarnya.
“Sampai sekarang nggak ada mekanime itu. Bisa dibayangkan jika Wiranto terpilih, bisa ditangkap dia kalau ke luar negeri. Gugatan internasional dibawah Serious Crime Unit (SCU) meminta pengadilan ulang. Kalau Indonesia nggak mau mengadili ulang, dia akan diancam melalui mekanisme internasional. Itu memungkinkan.”
Choirul menambahkan, dalam laporan the Commission of Expert (COE) yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal PBB, disebutkan secara individual, Wiranto (yang memangku otoritas tertinggi keamanan di Timor Leste saat itu) bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh tentara atau polisi Indonesia maupun milisi sipil pro-integrasi.