Tautan-tautan Akses

Studi: Anak-anak Perempuan Ragu Perempuan Bisa Brilian


Boneka Barbie seri pembawa berita dan ahli komputer di sebuah pameran di New York. (AP/Mark Lennihan)
Boneka Barbie seri pembawa berita dan ahli komputer di sebuah pameran di New York. (AP/Mark Lennihan)

Stereotip seperti itu tidak mengherankan, tapi penemuan ini menunjukkan bias-bias seperti itu dapat mempengaruhi anak-anak sejak sangat dini.

Apakah perempuan bisa menjadi brilian? Anak-anak perempuan tidak terlalu yakin.

Sebuah studi yang diterbitkan Kamis (26/1) di jurnal ​Science menunjukkan bahwa anak-anak perempuan berusia paling muda enam tahun dapat diarahkan untuk meyakini bahwa laki-laki pada dasarnya lebih cerdas dan lebih berbakat dibandingkan perempuan, membuat anak-anak perempuan kurang termotivasi untuk bisa melakukan aktivitas-aktivitas baru atau mencapai karir ambisius.

Bahwa stereotip seperti itu ada tidak terlalu mengherankan, namun penemuan itu menunjukkan bahwa bias-bias tersebut dapat mempengaruhi anak-anak sejak sangat dini.

"Sebagai masyarakat, kita lebih mengasosiasikan tingkat kemampuan intelektual tinggi dengan laki-laki daripada perempuan, dan penelitian kami menunjukkan bahwa asosiasi ini diserap oleh anak-anak yang masih berusia enam atau tujuh tahun," ujar Andrei Cimpian, profesor madya di departemen psikologi di New York University. Cimpian adalah salah satu penulis studi tersebut, yang mengamati 400 anak usia lima sampai tujuh tahun.

Dalam bagian pertama studi tersebut, anak-anak perempuan dan laki-laki menceritakan sebuah kisah tentang seseorang yang "sangat, sangat pintar," atau konsep anak-anak tentang kemampuan otak yang brilian. Mereka kemudian diminta untuk mengidentifikasi orang tersebut di antara foto-foto dua perempuan dan dua laki-laki. Orang-orang di foto itu berpakaian profesional, terlihat berusia sama dan sama-sama terlihat gembira.

Pada usia lima tahun, baik anak perempuan maupun laki-laki cenderung mengasosiasikan kecemerlangan dengan gender mereka, sehingga sebagian besar anak perempuan memilih perempuan dan sebagian besar laki-laki memilih laki-laki.

Namun ketika mereka semakin besar dan mulai bersekolah, anak-anak ternyata mulai mendorong stereotip gender. Pada usia enam dan tujuh, anak-anak perempuan "secara signifikan" lebih tidak memilih perempuan. Hasilnya serupa ketika anak-anak ditunjukkan foto-foto teman sebaya mereka.

Prestasi Sekolah

Menariknya, ketika diminta untuk memilih anak-anak yang kelihatannya berprestasi di sekolah, bukannya pintar, anak-anak perempuan memilih prempuan, yang berarti bahwa persepsi mereka tentang kebrilianan tidak didasarkan pada kinerja akademis.

Siswi-siswi Princess Alia School for Girls di Amman, Yordania menyanyikan lagu mengenai persamaan gender. (Foto: Dok)
Siswi-siswi Princess Alia School for Girls di Amman, Yordania menyanyikan lagu mengenai persamaan gender. (Foto: Dok)

Pada bagian kedua studi, anak-anak diperkenalkan pada dua permainan papan (board games), satu digambarkan sebagai aktivitas "untuk anak-anak yang sangat, sangat pintar" dan yang lainnya "untuk anak-anak yang mencoba sangat, sangat keras." Anak-anak perempuan dan laki-laki berusia lima tahun sama-sama memilih permainan pertama, namun yang berusia enam dan tujuh tahun, hanya anak-anak laki-laki yang masih ingin memainkan permainan itu, sementara yang perempuan memilih aktivitas lain.

Akibatnya, karena percaya mereka tidak sepintar anak-anak laki-laki, anak-anak perempuan cenderung menjauh dari jurusan dan bidang yang sulit, menyebabkan perbedaan besar dalam aspirasi dan pilihan karir antara perempuan dan laki-laki.

"Stereotip-stereotip ini membuat perempuan tidak terdorong mengejar banyak karir yang presitisius, dan perempuan kurang terwakili di bidang-bidang yang menjunjung kecemerlangan," tulis para peneliti.

Masih belum jelas dari mana stereotip itu datang. Orangtua, guru dan kawan-kawan serta media adalah tersangka utama, ujar Cimpian. Namun jelas bahwa harus ada tindakan yang diambil agar bias-bias ini tidak menghambat aspirasi profesional anak-anak perempuan.

"Tanamkan ide bahwa keberhasilan dalam semua pekerjaan bukanlah kemampuan bawaan, apa pun itu, tapi yang lebih penting adalah tekun dan bersemangat," ujar Cimpian, menambahkan bahwa paparan terhadap perempuan-perempuan yang sukses dan dapat menjadi panutan juga membantu.

Perusahaan-perusahaan mainan seperti Mattel, pembuat boneka Barbie, telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi stereotip gender. Kampanye Barbie "Kamu bisa jadi apa saja" menunjukkan kepada anak-anak perempuan bahwa mereka bisa menjadi paleontologis, dokter hewan atau profesor, selain karir-karir lainnya. Kampanye tersebut juga menekan kemungkinan bahwa anak perempuan bisa membayangkan dirinya menjadi putri dongeng.

Rebecca S. Bigler, profesor psikologi di University of Texas di Austin, menggambarkan studi Cimpian sebagai "upaya yang luar biasa baik." Ia menyarankan agar stereotip-stereotip yang berkembang di awal sekolah dasar ketika murid-murid terpapar ilmuwan, komponis, penulis dan jenius-jenius terkenal dalam sejarah, yang sebagian besar laki-laki. Bigler mengatakan penting untuk menggabungkan pengetahuan itu dengan informasi mengenai diskriminasi gender.

"Kita harus menjelaskan kepada anak-anak bahwa undang-undang diciptakan secara spesifik untuk mencegah perempuan menjadi ilmuwan, seniman, komponis, penulis, penjelajah, dan pemimpin besar," tambahnya.

"Anak-anak kemudian akan semakin cenderung percaya pada potensi intelektual mereka dan berkontribusi pada keadilan sosial dan persamaan dengan mengejar karir mereka." [hd]

XS
SM
MD
LG