Serangan militer Turki terhadap daerah kantong Afrin yang dikuasai Kurdi, dan dukungan Amerika terhadap milisi YPG Kurdi di sana telah memicu krisis yang membahayakan hubungan Amerika-Turki.
Tapi setelah beberapa jam pertemuan pribadi dengan presiden dan menlu Turki tanpa kehadiran pembantu atau penerjemah Amerika, Menlu Rex Tillerson dan mitranya mengatakan mereka telah mencegah sebuah krisis.
"Kami tidak akan bertindak sendiri-sendiri lagi, Amerika melakukan satu hal dan Turki melakukan yang lainnya. Mulai sekarang dan seterusnya kami akan bertindak bersama, bersatu, bekerja sama untuk mengatasi isu-isu yang menyulitkan kami," jelasnya.
Menlu Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, "Kami punya opsi memperbaiki hal ini dan melanjutkan hubungan kami, atau kami bisa masuk ke dalam posisi yang jauh lebih buruk. Tetapi setelah yang kami umumkan kemarin, kami telah mengambil langkah penting dalam rangka menormalisir hubungan kami. Kami mencapai sebuah kesepakatan dan pemahaman."
Kedua menlu mengatakan kelompok-kelompok kerja akan dibentuk untuk menyelesaikan rinciannya, termasuk di mana pasukan akan ditempatkan untuk menghindari konfrontasi di Suriah.
Ketika Tillerson meninggalkan Turki, pengadilan Turki menghukum enam wartawan, termasuk dua saudara laki-laki, hukuman seumur hidup karena membantu merencanakan kudeta yang gagal 2016. Para analis mengatakan Amerika dan Turki masih berbeda pendapat sehubungan tindakan keras Erdogan yang meluas di hampir semua lapisan masyarakat setelah kudeta yang gagal itu.
Lisel Hintz dari John Hopkins University mengatakan, "Amerika sejak lama berusaha untuk mendukung semacam demokratisasi di Turki tapi menyadari hal itu belum berhasil dan Amerika tidak bisa banyak mempengaruhi Erdogan."
Menlu Tillerson mengatakan bahwa Amerika sejak lama mendukung demokrasi di Turki, dan menghormati supremasi hukum, peradilan yang mandiri, dan pers terbuka yang merupakan sumber kekuatan dan stabilitas. [my/jm]