Arsip dokumen tahun 1997-1999 yang baru dideklasifikasi oleh Kedutaan Amerika di Jakarta memberikan wawasan baru tentang kebijakan luar negeri Amerika di Indonesia pada masa transisi yang bergejolak, dari era kediktatoran militer Soeharto menuju ke era demokrasi baru; demikian pula krisis keuangan Asia yang melanda kawasan itu secara bersamaan.
Arsip dokumen setebal 500 halaman yang dideklasifikasi itu dipublikasikan oleh badan nirlaba National Security Archive atau Badan Arsip Keamanan Nasional – di Universitas George Washington.
Musim gugur lalu, National Security Archive mempublikasikan ribuan arsip dokumen era 1960an dari Kedutaan Amerika di Jakarta di mana militer Indonesia dengan dukungan dari Amerika, menewaskan satu juta pendukung Partai Komunis Indonesia dan kelompok kiri.
Fokus utama dalam kumpulan arsip dokumen yang dideklasifikasi kali ini – yang menguatkan dan melengkapi catatan sejarah yang sudah ada – adalah bahwa Amerika mendukung pemerintah militer Soeharto hingga runtuh pada tahun 1998 dan bahwa Washington “memainkan peran yang cukup menentukan dalam meyakinkan Soeharto untuk menandatangani program penyesuaian struktural Dana Moneter Internasional IMF, yang diyakini oleh banyak ilmuwan sebagai penyebab tergulingnya Soeharto,” ujar Dr. Bradley Simpson, seorang profesor dan pakar hubungan luar negeri Amerika di Universitas Connecticut yang memimpin upaya deklasifikasi arsip dokumen ini.
Hal baru dalam dokumen itu menggarisbawahi bagaimana presiden Amerika ketika itu – Bill Clinton – menyampaikan dukungan pada pemerintahan Soeharto meskipun ada banyak bukti bahwa pemerintahan itu terlibat dalam sejumlah pelanggaran HAM.
“Kepemimpinan Anda telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kemakmuran bagi Indonesia dan rakyatnya. Saya yakin Anda dapat mengatasi kesulitan saat ini,” kata Simpson membacakan pernyataan Presiden Clinton kepada Presiden Soeharto.
Kata-kata itu disampaikan Presiden Clinton, berdasarkan transkripsi atau salinan pembicaraannya melalui telepon dengan Presiden Soeharto pada tanggal 13 Februari 1998 dari Camp David, atau berarti sekitar tiga bulan sebelum pemimpin yang sudah lama berkuasa itu lengser.
“Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa Amerika menilai militer Indonesia sebagai “kekuatan yang menciptakan stabilitas” meskipun mereka tahu persis kegiatan KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus) pada musim semi 1998,” imbuh Simpson.
Militer Indonesia Ditengarai di Balik Penculikan Mahasiswa Tahun 1998, yang Sebagian Hingga Kini Masih Belum Ditemukan
Pada April-Mei 1998 militer secara brutal membubarkan demonstrasi-demonstrasi anti-Soeharto yang dilakukan mahasiswa dan menculik para aktivis mahasiswa, yang sebagian bahkan hingga hari ini masih belum diketahui keberadaannya.
“Pemerintah Clinton pula yang ketika itu menyampaikan pendapat terakhir tentang usulan Soeharto untuk membentuk dewan mata uang ("Currency Board") yang akan secara artifisial menstabilkan nilai mata uang rupiah dibanding membiarkannya mengambang dan terus terpukul di pasar mata uang internasional.”
Simpson menambahkan, ketika itu dalam pembicaraan telepon yang sama dengan Soeharto, Clinton mengatakan, “Saya telah berkonsultasi dengan IMF dan negara-negara G7, dan setiap orang tampaknya yakin bahwa jika Anda membentuk dewan ini maka Anda akan mempertaruhkan semua kemajuan yang telah anda dicapai.”
Pada tahun 1998 Indonesia menjadi salah satu negara korban krisis keuangan Asia, dimana devaluasi mata uang menyapu seluruh kawasan – diawali dengan Thailand – pada tahun 1997.
Saran Steve Hanke pada Soeharto Sempat Timbulkan Kemarahan Amerika dan IMF
Steve Hanke, pakar ekonomi Amerika yang ketika itu menjadi penasehat Soeharto, menuduh Clinton dan IMF secara sengaja menyarankan Indonesia untuk tidak mengambangkan rupiah untuk mempercepat jatuhnya Soeharto. Hanke menyarankan Soeharto untuk membuat dewan mata uang ortodoks yang menetapkan kurs rupiah.
“Ketika berita itu sampai ke publik, rupiah melonjak 28% terhadap dolar Amerika, baik di pasar tunai maupun pasar-pasar lain selama satu tahun ke depan,” ujar Hanke. “Perkembangan ini menimbulkan kemarahan pemerintah Amerika dan IMF,” ujar Hanke, dan memicu pembalasan dari keduanya.
Tidak lama setelah hal ini terjadi, kepresidenan Soeharto jatuh.
Dokumen yang Dideklasifikasi Ungkap Peran Prabowo Subianto
Dokumen-dokumen itu juga mengungkap peran jendral purnawirawan Prabowo Subianto, menantu Soeharto, yang hingga kini masih menjadi berita utama karena kemungkinan besar akan kembali bertarung dalam pemilu presiden tahun 2019. Prabowo juga ikut bertarung dalam pemilu presiden tahun 2014 melawan Joko Widodo, dan kalah.
Kawat dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta pada bulan Agustus 1998 menunjukkan bahwa Prabowo akan diadili oleh “dewan kehormatan” militer karena perannya menculik dan menyiksa sejumlah aktivis mahasiswa. Tetapi kawat lain mengisyaratkan bahwa pejabat-pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta yakin bahwa personil militer berpangkat lebih rendah yang akan diadili dibanding sosok berpengaruh seperti Prabowo.
Dokumen lain menunjukkan bahwa sebagian amunisi dan material bagi KOPASSUS pada masa ini disediakan oleh Amerika. Hal ini menguatkan laporan wartawan seperti Allan Nairn.
Awal tahun ini Menteri Pertahanan Amerika Jim Mattis mengatakan bahwa ia sedang menjelajahi kemungkinan membuka kembali hubungan dengan unit militer Indonesia yang kontroversial (KOPASSUS.red), yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur dan terhadap sejumlah demonstran mahasiswa, yang hingga kini tidak pernah diadili.
Mengapa Publikasi Dokumen Dilakukan Sekarang?
Publikasi dokumen-dokumen ini dinilai tidak biasa karena sebagian dokumen masih tergolong baru. Kajian deklasifikasi secara otomatis dilakukan hanya setelah 25 tahun. “Ini jauh sebelum batas deklasifikasi itu,” ujar Simpson.
Meskipun demikian masih banyak dokumen yang tergolong rahasia, yang dapat mengungkap kebijakan yang diketahui Amerika terkait tindakan Indonesia di Timor Timur – yang secara brutal diduduki selama 22 tahun – dan tentang penumpasan gerakan separatis di Aceh.
Deklasifikasi arsip dokumen ini disebarluaskan di Indonesia oleh majalah Tempo, yang ketika era Soeharto sempat ditutup.
Akankah Trump Ikuti Jejak Clinton dengan “Diplomasi Deklasifikasi?”
Kini, deklasifikasi dokumen-dokumen federal ini dilakukan oleh badan nirlaba seperti National Security Archive, tetapi sebagian pemerintahan sebelumnya tidak ikut berperan untuk mendorong proses deklasifikasi ini.
“Ini dimulai pada era Clinton,” ujar Peter Kornbluh, analis senior di National Security Archive, merujuk pada presiden yang dikenal luas karena deklasifikasi dokumen-dokumen Indonesia dan banyak disebut di dalamnya. “Ia dikenal sebagai “declassification president” karena memberi otorisasi pada sejumlah proyek deklasifikasi lewat perintah eksekutif.” “Diplomasi deklasifikasi” ini tampaknya terhenti pada era pemerintahan Trump sekarang ini. [em/al]