Wahid Foundation kembali meluncurkan laporan tahunan mengenai “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan serta Politisasi Agama 2017.” Lembaga pemantau kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia ini sejak tahun 2008 memang secara rutin meluncurkan laporan tahunan. Namun dalam laporan tahunan kesepuluh ini, yang merujuk pada apa yang terjadi sepanjang tahun 2017, Wahid Foundation menggarisbawahi kuatnya politisasi agama pada pemilihan kepala daerah di Jakarta.
Politisasi agama secara umum diterjemahkan sebagai manipulasi pemahaman/ajaran/pengetahuan agama lewat propaganda, indoktrinasi, kampanye dan sosialisasi di wilayah publik agar diinterpretasikan atau didefinisikan seolah-olah sebagai pemahaman/ajaran/pengetahuan sesungguhnya untuk mempengaruhi konsensus/kebijakan publik demi kepentingan satu pihak.
Dalam sambutannya di acara peluncuran laporan di Jakarta hari Rabu (8/8), Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid bersyukur karena laporan tahunan ini menjadi rujukan pemerintah dan lembaga nirlaba lokal dan asing yang ingin mengetahui perkembangan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tahun ini Wahid Foundation secara khusus menganalisa kasus-kasus politisasi agama di Pulau Jawa.
Salah satu hasil analisa badan itu adalah terjadinya peningkatan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Oleh karena itu Wahid Foundation menyerukan agar pemerintah dan masyarakat tanggap, dan berupaya keras mencegah terjadinya peningkatan lebih lanjut.
Dalam pemilihan kepala daerah serentak di Jawa tahun lalu, ujar Yenny, Wahid Foundation mencatat ada 28 peristiwa politisasi agama dengan 36 tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Politisasi agama terbanyak terjadi menjelang pemilihan putaran pertama Gubernur DKI Jakarta, yakni 24 kejadian; disusul Jawa Barat (tiga peristiwa), dan Banten (satu peristiwa).
Yenny mengatakan korban individu terbanyak adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mengalami sepuluh tindakan, diikuti Ridwan Kamil (Jawa Barat) dan Rano Karno (Banten).
Dari 28 peristiwa politisasi agama di Jawa sepanjang 2017 itu, hanya ada satu peristiwa yang melibatkan aktor negara, dan sisanya oleh aktor non-negara. Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam enam tindakan politisasi agama dan terhadap pengelola rumah ibadah.
Menurut Wahid Foundation, politisasi agama yang paling berbahaya adalah ujaran kebencian dan diskriminasi yang tidak saja menyasar individu, tetapi juga gender, etnis, agama, keyakinan atau kelompok tertentu.
Yenny Wahid mencontohkan politisasi agama terhadap perempuan dan anak perempuan ketika kampanye putaran kedua pilkada Jakarta, di mana sempat beredar ancaman di media sosial yang mengatakan bahwa perempuan pendukung Ahok halal diperkosa. Juga meluasnya informasi tentang jenazah seorang nenek bernama Hindun yang ditolak untuk disholatkan karena semasa hidupnya ia mendukung Ahok.
Namun, Wahid Foundation mencatat bahwa politisasi agama dalam pilkada Jakarta tidak terjadi di daerah-daerah lain yang juga melangsungkan pilkada. Ini menunjukkan bahwa masalah utama yang melatarbelakangi politisasi ini bukan karena warga Indonesia anti perbedaan agama dan keyakinan, tetapi karena dua hal.
"Pertama, penggunaan idiom atau simbol agama secara eksesif dan tidak tepat di ruang-ruang publik. Kedua, adanya usaha-usaha sebagian kelompok untuk memanfaatkan perassan tidak suka, rasa terancam, dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda untuk meraih dukungan publik, untuk meraih pula dukungan politik," ujar Yenny.
Yenny menilai kasus politisasi agama di Jakarta sedianya menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi ancaman-ancaman intoleransi.
Dalam laporan Wahid Foundation itu disampaikan bahwa selama tahun 2017 terjadi 213 peristiwa politisasi agama dengan 265 tindakan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sementara pada tahun 2016 terjadi 204 peristiwa dengan 315 tindakan pelanggaran.
Yang menarik, aktor utama pelanggaran terhadap kebebasan beragama adalah aktor non-negara – yaitu dengan 170 tindakan; dan aktor negara dengan 95 tindakan. Pada 2016, pelanggaran atas kebebasan beragama terbanyak dilakukan oleh negara, yakni 159 tindakan dan sisanya 156 tindakan dilakukan oleh negara.
Tiga pelanggaran terbanyak dilakukan dengan cara verbal, yakni ujaran kebencian, larangan beraktivitas, dan intimidasi atau ancaman. Hal ini diprediksi akan semakin dominan tahun depan.
Korban pelanggaran kebebasan beragama terbanyak sepanjang 2017 adalah komunitas Ahmadiyah (31 tindakan), lalu warga masyarakat (27 tindakan) dan Hizbut Tahrir (18 tindakan).
Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait mengatakan kompetisi dalam perebutan kekuasaan lewat pemilu harus menghasilkan pemimpin yang pro-persatuan dan persaudaraan, bukan mendukung perpecahan dan kebencian.
"Siapapun orangnya, saya pikir yang penting dia tidak pro pada kebencian sebagai instrumen untuk mencapai kekuasaan. Saya pikir bagus sekali kalau kita doakan dan suarakan sekarang ini. Kompetisi penting, kekuasaan penting, tapi lebih penting persaudaraan daripada kebencian," tukas Maruarar.
Sementara, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Riri Khariroh mengakui kerentanan dan diskriminasi terhadap perempuan semakin kuat ketika mereka masuk dalam sebuah kelompok minoritas agama. Ditambahkannya, diskriminasi itu kian menguat kalau perempuan itu berasal dari kalangan miskin, berasal dari pengungsian, berusia remaja, usia renta, dan janda.
Menurut Riri, perempuan dari kelompok minoritas agama kerap menjadi korban kekerasan psikologis, mulai dari ujian kebencian, stigmatisasi, pelabelan, dan intimidasi.
"Misalnya perempuan Ahmadiyah, mereka mendapat stigma bahwa mereka adalah perempuan yang najis. Perempuan Syiah adalah perempuan yang tidak baik-baik di mana halal untuk diperkosa. Itu terjadi," kata Riri.
Riri mengatakan ada sejumlah kasus di mana perempuan yang berbeda keyakinan dengan pasangannya juga dipaksa bercerai. Juga laporan bahwa perempuan dari kelompok minoritas agama sulit mendapat akses layanan publik, seperti KTP, pekerjaan, pendidikan formal dan informal.
Lebih lanjut Riri mengatakan yang menjadi tantangan dalam penegakan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah masih adanya kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama, lemahnya penegakan hukum, dan masih adanya fatwa-fatwa tidak ramah terhadap kelompok minoritas agama.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui mudahnya peyebarluasan ujaran kebencian karena tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Untuk itu ia berkomitmen melindungi masyarakat dari penyebaran ujaran kebencian atau kabar bohong. Rudiantara meminta masyarakat supaya tidak langsung menyebar kembali pesan diteruskan di grup-grup WhatsApp atau Facebook; dan meminta masyarakat untuk menyaring semua informasi diterima. [fw/em]