Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Juni tahun ini, ada 14 perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah dan 17 perempuan terpilih menjadi wakil kepala daerah. Mereka terpilih dengan rata-rata kemenangan 46,84 persen.
Tiga puluh satu perempuan menang di 31 daerah, yakni di tiga provinsi (satu menjadi gubernur dan dua menjadi wakil gubernur), 19 kabupaten (sepuluh bupati dan sembilan wakil bupati), serta sembilan kota (tiga wali kota dan enam wakil wali kota).
Potret kepala daerah perempuan terpilih dalam Pilkada serentak 2018 ini menjadi tema diskusi yang digelar di kantor Komisi Pemilhan Umum di Jakarta, Rabu (1/8).
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), Mahardhika, menilai partai politik di Indonesia kurang serius mendukung kaum hawa sebagai calon kepala daerah. Mahardhika menekankan dalam Pilkada 2018 hanya ada sebelas dari 31 perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang mencantumkan visi, misi, dan program bagi perempuan; yang berarti mereka tidak memiliki program berperspektif perempuan dan hanya mencomot isu-isu perempuan untuk tataran retorika semata. Bukan implementasi lebih lanjut.
"Ini juga sebagai pertanda bahwa partai tidak serius dalam mengusung kepentingan perempuan. Tidak jelas terlihat platform, ideologi, dan kepentingan perempuan dalam visi misi itu. Jadi partai hanya bersifat pragmatis, tidak memilih kadernya sebagai calon kepala daerah berdasarkan pertimbangan ideologis yang memperjuangkan kepentingan perempuan, tetapi lebih mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas calon," ungkap Mahardhika.
Baca juga: Isu Lingkungan yang Hilang dari Panggung Pilkada
Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menurutnya menjadi partai terbanyak yang tergabung dalam koalisi yang mendorong kemenangkan perempuan dalam Pilkada 2018. Disusul oleh Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai nasional Demokrat (Nasdem).
Patai Golkar tergabung dalam koalisi yang memenangkan 17 perempuan dalam Pilkada 2018, Demokrat memenangkan 14 perempuan, dan PKB memenangkan 13 perempuan.
Menurut Mahardhika, jika dibandingkan dengan 101 perempuan yang mendaftar sebagai kandidat kepala daerah pada Pilkada 2018, hanya 30,69 persen perempuan bisa menang Pilkada. Di Pilkada 2015, ada 37,1 persen perempuan menang dan pada Pilkada 2017 ada 26,67 persen perempuan yang menang.
Mahardhika menambahkan rekapitulasi hasil Pilkada 2015, 2017, dan 2018 menunjukkan secara keseluruhan ada 92 perempuan yang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mereka tersebar di 91 daerah (empat provinsi, 69 kabupaten, dan 18 kota) dari 542 daerah yang menggelar pilkada.
Latar belakang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah didominasi oleh empat kategori, yaitu jaringan kekerabatan, kader partai, legislator, dan petahana.
Dalam kesempatna yang sama Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengatakan untuk menjadi calon kepala daerah, kaum perempuan harus berjuang lebih keras ketimbang laki-laki dimana mereka harus mampu meyakinkan elit-elit partai dari tingkat lokal hingga nasional.
Aditya menekankan popularitas dan elektabilitas menjadi faktor penentu perempuan dapat dipilih partai atau koalisi partai untuk menjadi calon kepala daerah. Dan jaring kekerabatan menjadi hal sangat penting bagi perempuan yang menjadi calon kepala daerah. Dengan kata lain kandidat perempuan akan sangat diuntungkan jika ia berkedudukan sebagai istri bupati, istri gubernur, istri wali kota, atau pejabat publik lainnya.
"PR ke depannya adalah bukan lagi menghadirkan jumlah perempuan banyak di DPR atau menjadi kepala daerah, tetapi konkretnya secara subtantif, perempuan-perempuan ini bisa menghasilkan berapa banyak perda yang sangat pro terhadap gender atau isu-isu yang mendukung perempuan, seperti isu pendidikan, anak, pelayanan anak, dan sebagainya," ujar Aditya.
Destika Gilang Lestari dari Solidaritas Pembela Keterwakilan Perempuan (SPKP) dengan gamblang memaparkan tantangan lain bagi perempuan supaya dapat terpilih sebagai kepala daerah, yaitu menjelaskan secara jernih ayat-ayat suci Al Qur'an yang kerap dijadikan alat untuk menghambat mereka.
Destika mencontohkan pilkada Aceh, kandidat petahana kalah dalam pilkada karena masyarakat meyakini penafsiran ayat Al-Quran bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
"Di tingkat pengambilan keputusan terendah pun, perempuan sangat sulit untuk mendapatkan itu. Paling rendah misalkan kepala desa. Itu juga dikaitkan dengan penafsiran agama bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Itu yang menjadi besar kawan-kawan perempuan," tukas Destika.
Destika menegaskan SPKP mempunyai mandat untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan, sehingga sedikitnya mencapai 30% dari total kursi di DPR. [fw/em]