“Saya sedih sekali. Saya inginnya tetap bisa sekolah,” demikian ujar salah seorang anak penderita HIV dengan mata terkaca-kaca menahan tangis ketika diwawancarai VOA di rumah milik HKBP di Desa Nainggolan, Pulau Samosir, Sumatera Utara, Kamis sore (25/10). Air mata tak terbendung lagi ketika ia menceritakan dengan terbata, kesedihannya karena tidak punya teman lagi sekarang. Ia berlari ke sudut ruangan, menangis.
Hari Kamis (25/10) ini adalah batas waktu yang diberikan warga desa kepada pengasuh ketiga anak itu untuk mengeluarkan anak-anak pengidap HIV itu dari desa mereka. Sebelumnya ketiganya juga sudah dilarang bersekolah di PAUD Welipa dan SDN-2 Nainggolan karena orang tua anak-anak di sekolah itu khawatir anak-anak mereka tertular penyakit itu.
Camat & Kapolsek Minta Warga Tidak Anarkis
Hingga batas waktu yang diberikan berakhir, ketiga anak itu masih tetap aman berada di rumah yang diasuh HKBP Nainggolan. Menurut camat Nainggolan, Barisan Parluhutan Simanulang, setelah diadakan pertemuan yang melibatkan orang tua, komite sekolah, kepala sekolah, kepala dinas kesehatan, kepolisian dan otorita berwenang, disepakati untuk “tidak mengambil tindakan di luar ketentuan” dan meminta semua pihak menandatangani kesepakatan itu. “Artinya, jangan ada tekanan secara fisik maupun psikis terhadap anak-anak itu, dan juga terhadap Komite AIDS HKBP,” tegas Simanulang. Lebih jauh disampaikannya, “kita sudah tahan masyarakat, minta tolong agar dipahami. Jangan melakukan hal-hal anarkis. Mereka menerima. Mereka menunggu keputusan pimpinan HKBP dan pemerintah kabupaten Samosir untuk mencari jalan keluar terbaik.”
Komite AIDS HKBP : Anak-Anak Aman, Tapi Tetap Tak Bisa Sekolah
Ditemui secara terpisah, anggota Komite AIDS HKBP Diakones Enni Simajuntak membenarkan bahwa hingga batas waktu yang diberikan berakhir, ketiga anak-anak penderita HIV itu masih aman di rumah yang mereka bina. “Seperti permintaan (warga.red) supaya memindahkan anak-anak dalam tujuh hari, pas hari ini batasnya. Warga tidak ada yang melakukan apa-apa, seperti gugatan dll; karena pada pertemuan di kantor camat yang dihadiri Kapolsek dll sudah ditekankan agar masyarakat tidak melakukan tindakan anarkis yang dapat mengganggu kenyamanan disini. Jadi sampai sekarang memang masyarakat tidak melakukan apa-apa terhadap kami.”
Khawatir Perlakuan Buruk Berlanjut, Anak Penderita HIV Tak Lagi Keluar Rumah
Namun ditambahkannya bahwa saat ini anak-anak penderita HIV itu memang tidak bersekolah lagi atau sekedar bermain di luar rumah.
“Anak-anak tetap bermain, kadang pagi-pagi belajar. Tetapi kalau untuk main di luar rumah sudah tidak kita kasih lagi. Mereka hanya bermain dan belajar di RS HKBP Nainggolan ini.” Menurut Enni, ini dikarenakan buruknya perlakuan warga sekitar. “Kalau ada les di sekolah atau sekolah minggu, mereka diejek. Bahkan ketika mereka jajan di warung, ada perlakuan yang tidak baik terhadap mereka, dari pemilik warung atau kawan-kawannya. Diintimidasi secara halus. Mereka selalu mengadu pada kami. Jadi kita batasi mereka di luar rumah.”
Enni mengatakan kepala sekolah setempat sempat menjanjikan agar anak-anak itu dapat segera sekolah kembali dan mendaftar secara online. Tetapi karena masalah ini berlarut-larut, pendaftaran sekolah lewat online pun sudah tutup. “Jadi saat ini belum jelas status anak-anak (di sekolah itu.red), masih siswa atau tidak. Karena hanya sekolah satu hari saja,” tambahnya.
Camat Benarkan Sikap Warga yang Tak Ingin Anak HIV Sekolah di Lokasi yang Sama
Camat Nainggolan Barisan Parluhutan Simanulang membenarkan bahwa memang meskipun tidak melakukan tindakan apapun terhadap ketiga anak penderita HIV, “warga masyarakat tetap bersikukuh tidak ingin anak-anak itu digabung sekolahnya dengan anak-anak mereka. Mereka takut ketika anak-akan bermain bersama, berbenturan, sama-sama luka, nah bagaimana? Itu yang mereka takuti.”
Kepsek: Tidak Benar Kami Tidak Menerima Anak HIV, Ortu Siswa Lain yang Menolak
Hal disampaikan Kepala SDN-2 Nainggolan, Engli Situmorang, yang mengatakan “semua warga cemas, orang tua tidak setuju kalau pihak sekolah menerima anak-anak itu. Mereka tidak paham tentang HIV-AIDS karena sosialisasi tidak pernah ada disini.” Tetapi Engli buru-buru menambahkan bahwa sekolah tetap menerima siapapun, termasuk ketiga anak penderita HIV itu, untuk bersekolah.
“Saya mendengar di luar sana seolah-olah sekolah tidak menerima. Tidak benar itu. Kami sangat menerima. Orang tua siswa yang tidak menerima. Bagaimana jika nanti dipindahkan semua anak-anak mereka, gak enak juga. Makanya dicari solusi terbaik,” ujarnya.
Hingga laporan ini disampaikan tidak ada warga Desa Nainggolan yang secara terang-terangan bersedia diwawancarai VOA. Tetapi secara sembunyi-sembunyi mereka menegaskan tidak menginginkan anak-anak penderita HIV itu bersekolah di sekolah di tempat yang sama dengan anak-anak mereka.
Tiga anak yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua perempuan berinisial H (11), SA (10), dan S (7), penduduk luar Desa Nainggolan, didatangkan ke RS HKBP Nainggolan untuk dirawat di sana. Pemkab Samosir kemudian mendaftarkan ketiganya di sekolah, yaitu satu anak di PAUD Welipa dan dua lainnya di SDN-2 Nainggolan. Tetapi baru satu hari bersekolah, ketiganya tidak lagi diijinkan masuk. Ini dikarenakan sebagian besar orang tua siswa lainnya menolak anak mereka berada di kelas dan sekolah yang sama dengan ketiga anak penderita HIV itu. [aa/em]