Acara ini lebih mirip resepsi makan malam di mana jajaran pemimpin daerah, pemimpin agama, dan organisasi pemuda, saling ramah-tamah di meja-meja bundar.
Keseluruhan acara merupakan sederet kata sambutan sejumlah tokoh, penyalaan obor dan pemotongan tumpeng, lalu ditutup makan malam yang disajikan prasmanan.
Uskup Bandung, Antonius Subianto Bunjamin, selaku tuan rumah berharap acara yang sudah berjalan 11 tahun ini membuat hubungan lintas-iman makin kuat.
“Semoga dengan pertemuan-pertemuan ini kita makin dikukuhkan untuk membangun persaudaraan yang ada di dalam diri kita, sehingga masyarakat dan umat yang kita pimpin sungguh makin sejahtera,” ujarnya dalam sambutan.
Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ini menekankan pentingnya hubungan antara pemimpin agama dan pemerintah dalam menjaga kerukunan.
Muslimah berjilbab Noviani Puspita Sari mengatakan acara ini membuatnya takjub. Sebab dia dapat melihat perwakilan berbagai kelompok agama membicarakan persatuan.
“Kita sebenarnya bisa bersatu. Cuma banyak orang-orang di luar tuh ingin memecah belah, jadi banyak orang intoleran dan radikal. Yang penting kita sama-sama bareng dan bersatu,” ujarnya yang baru pertama kali ke “open house” Gereja Katedral Bandung ini.
Namun acara ini dinilai hanya seremonial dan tidak menjawab masalah sesungguhnya.
Koordinator Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) di Bandung, Fany S Alam, yang juga hadir di acara tersebut, mengatakan citra harmonis itu tidak terjadi di lapangan. Sebab masih ada sejumlah kasus intoleransi di kota Bandung.
“Kalau pemerintah ingin menyelesaikan masalah-masalah klasik seperti penutupan gereja dan pembubaran Asyura (Syiah), mereka (pemerintah) ‘kan kebanyakan diplomatis untuk menghadapi hal seperti itu,” papar Fany, yang merupakan pelatih Juru Bicara Pancasila ini.
“Yang tidak pernah dilihat mereka itu, kejadian seperti itu sering terjadi dan biasanya penanganannya represif. Selalu mereka datang di saat-saat terakhir ketika ada protes dari masyarakat tapi mereka tidak memiliki inisiasi awal,” tambahnya.
LBH Bandung mencatat, pada 2017 terdapat setidaknya tujuh pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Tiga kasus di antaranya adalah pembubaran acara Asyura dari kelompok Syiah, penolakan acara tahunan Ahmadiyah, dan protes terhadap gereja di Sarijadi.
Perwakilan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dari kelompok Syiah serta Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga hadir dalam resepsi tersebut. Namun mereka bukan termasuk yang diundang bicara. Sementara kasus yang mereka alami sama sekali tidak dibahas.
Wakil Walikota Bandung, Yana Mulyana, yang berpidato dalam acara tersebut, menolak berkomentar terkait tiga kasus yang menimpa minoritas agama di atas. Dia hanya menekankan bahwa Bandung jadi contoh kota harmonis.
“Baru juga dua bulan (menjabat). Tapi intinya begini: Malam ini kita lihat bagaimana kerukunan teman-teman lintas agama dan salah satunya membuktikan bahwa Bandung salah satu kota yang paling toleran terhadap agama yang diakui pemerintah,” ucapnya kepada wartawan usai acara.
Yana, yang didukung PKS dan Gerindra saat pilkada, mengatakan kuncinya adalah silaturahmi. “Kuncinya mungkin silaturahmi. Malam ini saya lihat, dan menurut informasi, paling banyak dihadiri perwakilan dari tokoh-tokoh agama yang ada di kota Bandung,” kata pasangan Walikota Bandung Oded Danial ini.
Namun bagi pegiat komunitas Fany S Alam, silaturahmi saja tidak cukup. Dia meminta pemerintah Bandung menelurkan regulasi yang menjamin hak-hak kelompok minoritas.
“Yang bisa mengakomodir kepentingan minoritas beragama, itu sangat penting. Jadi mungkin nanti mereka akan mengeluarkan satu bentuk perda atau peraturan kota yang ibaratnya bisa meminimalisir kejadian-kejadian intoleransi,” ujarnya seraya mengatakan siap berkolaborasi dengan pemerintah dan membagi data yang dia miliki. [rt/em]