Pengamat politik, Lely Arrianie mengatakan suara perempuan yang lebih dari 90 juta pemilih akan menjadi tolak ukur keberhasilan calon pasangan yang bertarung di Pilpres 2019. Tidak terkecuali suara perempuan di daerah pelosok yang begitu besar tentu menjadi dominan dan mempengaruhi keterpilihan pasangan calon presiden (capres).
"Sangat menentukan karena jumlahnya banyak lebih dari 50 persen. Nah karena itu menentukan, maka tentu masing-masing kandidat terutama Pilpres 2019 bertarung ketat. Meski partisipasi perempuan secara keseluruhan rendah. Tapi biasanya perempuan turut serta keterlibatan dalam politik itu cukup besar. Perempuan dianggap pemilih yang loyal untuk bisa memenuhi target-target politik," kata Lely kepada VOA.
Masih kata Lely, calon legislatif (caleg) juga memiliki peran penting dalam mempromosikan capres yang diusung partai politiknya ke para perempuanterutama di wilayah pelosok. Pileg dan Pilpres yang digelar berbarengan. Membuat sokongan suara keterpilihan caleg dari partai politik tentu tidak paralel dukungannya terhadap Pilpres.
Untuk itu para tim pemenangan masing-masing pasangan capres harus memiliki strategi khusus demi meraup suara perempuan yang begitu dominan dalam setiap gelaran event politik.
"Inti dari kampanye itu persuasif politik. Nah, ketika para caleg sekaligus harus mempromosikan capres yang mereka usung. Program dan isu-isu yang mereka angkat tadi harus bersentuhan dengan gender streaming, tidak bias gender dan sensitif gender," ungkap Lely.
Melihat begitu pentingnya suara perempuan dalam gelaran Pilpres 2019, membuat masing-masing pasangan capres Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga saling mempopulerkan isu tentang perempuan ketika kampanye. Sandiaga Uno misalnya mempopulerkan isu tentang “politik emak-emak” dan berulangkali melempar isu soal mahalnya harga kebutuhan pokok.
Sementara di kubu Jokowi-Ma'ruf Amin mengandalkan program-program Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar yang berkaitan langsung denganperempuan. Maka secara otomatis berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan perempuan juga akan ikut bersentuhan dengan program yang dibuat oleh kubu Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Itu memperlihatkan salah satu bentuk bagaimana perempuan tersebut dipolitisasi dalam setiap momen politik tertentu karena mereka dianggap penting. Jadi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan itu terus diangkat. Mereka saling bersaing ketat," ucap Lely.
Melihat begitu pentingnya suara perempuan di Pilpres 2019. VOA melakukan wawancara terhadap beberapa perempuan terutama daerah-daerah pelosok. Antara lain Siti Aisyah, warga Desa Kuala Penaga, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Penduduk di pesisir Aceh Timur ini memiliki ketertarikannya terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Kalau saya pribadi tetap pilih pak Jokowi, karena dia sudah banyak membantu masyarakat di kawasan desa-desa terpencil. Untuk saat ini ada dampaknya tapi belum merata," ujarnya kepada VOA.
Hal senada juga disampaikan Rahmawati, warga Desa Kuala Penaga yang sehari-hari sebagai perajin terasi ini juga memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
"Saya memilih yang seperti biasa ini, Jokowi. Sebab dia sudah banyak memberikan bantuan terhadap kami seperti Program Keluarga Harapan (PKH)," kata Rahmawati.
Sementara dukungan suara untuk pasangan Prabowo-Sandiaga datang dari perempuan di Sumatera Utara. Safirah Nabila lebih memilih pasangan Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019. Alasan wanita berusia 21 tahun ini karena Indonesia membutuhkan sosok pemimpin baru di periode 2019-2024.
"Indonesia butuh pemimpin yang baru dan program kerjanya harus bagus dari presiden sebelumnya," ungkapnya kepada VOA di Desa Silalahi, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi.
Dukungan untuk pasangan Prabowo-Sandiaga juga datang dari sosok perempuan milenial yakni Zuhra Nazira. Kekaguman terhadap pasangan Prabowo-Sandiaga menjadi alasannya.
"Pastinya ingin Indonesia lebih baik," pungkasnya. [aa/em]