Jenis pesawat yang jatuh di Addis Ababa Minggu pagi (10/3) dan menewaskan 157 penumpang dan awak, sama dengan yang jatuh di Tanjung Karawang, Jakarta, Oktober lalu, yang menewaskan 189 orang; yaitu Boeing 737 MAX 8. Eva Mazrieva mewawancarai pakar penerbangan yang juga pejabat di Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman.
VOA: Ada beberapa persamaan dalam insiden jatuhnya pesawat di Addis Ababa, Ethiopia, hari Minggu (10/3) dengan yang jatuh di Tanjung Karawang, Jakarta, 29 Oktober 2018. Yaitu pesawat Boeing 737 MAX 8 dan jatuh tak lama setelah tinggal landas. Dalam insiden di Addis Ababa, pilot sempat mengirim “distress call” enam menit setelah lepas landas dan diijinkan kembali ke bandara Bole, tetapi gagal. Apa yang bisa kita baca dari hal ini?
Gerry: “Saya belum tahu pasti pada menit keberapa crew ET302 melaporkan kena masalah. Kesamaannya adalah kru pesawat melaporkan "kesulitan" dan meminta kembali ke bandara asal. Kebetulan sama. Namun apakah penyebabnya sama? Mungkin sekali, tetapi itu belum bisa dipastikan saat ini. Data-data yang didapat dari situs pelacakan manuver pesawat terbang memang memperlihatkan ada kemiripan-kemiripan yang menarik perhatian.”
VOA: Pasca kecelakaan pesawat Lion Air jenis Boeing 737 MAX 8 di Jakarta, Boeing mengidentifikasi bahwa data yang salah dari indikator kecepatan pesawat dan sensor yang melaporkan sudut hidung pesawat mungkin telah memicu sistem pencegahan otomatis yang dipasang Boeing, dan tidak diberitahukan kepada pilot atau maskapai penerbangan sebelumnya. Boeing kemudian mengeluarkan buletin untuk memberi penjelasan tentang perubahan ini. Tetapi kemudian terjadi kecelakaan di Addis Ababa. Apakah hal ini menunjukkan bahwa buletin saja tidak cukup?”
GERRY: “Buletin yang dikeluarkan Boeing pasca kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 bersifat SEMENTARA, sambil menunggu perbaikan yang bersifat lebih permanen. Tadinya diharapkan buletin yang lebih permanen bisa diterbitkan April ini, namun sepertinya jika saya tidak salah ingat diundur ke bulan Juni. Mungkin setelah kecelakaan ini, jika hasil investigasi mengarah pada faktor-faktor yang penyebabnya mirip, kemungkinan besar perbaikan buletin yang sudah dibuat bisa dirilis segera. Jika tidak sangat berisiko pesawat Boeing 737 jenis MAX 8 dan MAX 9 bisa di-grounded.”
VOA: Secara sederhana, apa yang membedakan Boeing 737 Next Generation dan Boeing 737 MAX?
Gerry : “Boeing 737 MAX adalah pemutakhiran 737 Next Generation, yang merupakan pemutakhiran Boeing 737 generasi-generasi awal. Ada display cockpit yang baru. Dan untuk lebih efisien dibanding “next generation,” dipasang mesin, sayap dan ekor baru. Mesin baru ini besar diameternya dan tidak muat di posisi seperti yang ada di “next generation.” Jadi harus diletakkan lebih ke depan dan ke atas, dibanding posisi sebelumnya di “next generation.” Efeknya adalah jika pesawat 'stall' maka ukuran mesin itu berpotensi membuat pesawat makin mendongak, dan ini berbahaya untuk MAX 8 dan MAX 9. Oleh karena itu Boeing memasang sistem baru MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) dimana jika pesawat mendekati atau sedang 'stall' maka pesawat akan secara otomatis menurunkan hidung pesawat. Ini menggunakan 'angle of attack' vane – sudut antara garis referensi badan pesawat dan aliran yang datang. Dikhawatirkan jika 'angle of attack' vane ini rusak dan mengirim data yang salah, pesawat bisa tiba-tiba menurunkan hidungnya sendiri. Oleh karena itu Boeing harus perbaiki sistem MCAS ini.”
VOA: Haruskah penumpang nervous ketika terbang dengan Boeing 737 MAX?
Gerry: “Sebaiknya perbaikan bagi sistem MCAS yang dibuat setelah kecelakaan JT-610 dipersiapkan untuk segera dirilis, versi sementara juga cukup, sambil menunggu yang permanen. Ini penting guna mencegah terulangnya kejadian serupa dan mengurangi dampak ekonomis pengguna MAX 8 dan MAX 9 jika sampai terjadi 'grounding'.” [em]