Setelah ditahan dan dibebaskan oleh Badan Penegak Imigrasi dan Bea Cukai, satu kelompok yang beranggotakan 15 perempuan transgender dari Honduras mengungkapkap kepada VOA, alasan mengapa mereka meninggalkan negara mereka dan tantangan yang dihadapi.
Aksi kekerasan dan persekusi oleh anggota-anggota keluarga dan polisi adalah alasan utama mengapa Perla dan Carla, dua dari 15 perempuan trasgender yang tiba di perbatasan Amerika, meninggalkan Honduras.
“Saya seorang perempuan trans, saya bekerja di jalan mencari uang. Saya harus meninggakan negara saya karena kerap dianiaya polisi dan kelompok kriminal, juga orang-orang yang terus mendiskriminasi saya,’’ kata Perla.
Sedikitnya 267.000 anggota komunitas LGBTQI (lesbian, gay, biseksual, trasgender, queer dan interseks) dari negara-negara di Amerika Tengah hidup di Amerika karena diskriminasi dan aksi kekerasan di negara asal mereka, demikian menurut Forum Migrasi dan Perpindahan 2018 di Honduras. Seorang perempuan transgender yang juga mencari suaka di Amerika, Gabriela Pineda, mengatakan.
“Setiap saat ayah saya mengancam. Dua abang saya juga kerap memukuli dan mengunci saya di dalam ruangan, tanpa makanan dan minuman, selama berhari-hari. Saya datang ke kantor polisi, tetapi mereka tidak mau mendengar saya karena keadaan saya ini,” kata Gabriela.
Perla dan Gabriela adalah dua dari 15 perempuan transgender yang ditahan oleh agen-agen Patroli Perbatasan di berbagai tempat di sepanjang perbatasan selatan Amerika-Meksiko, pada hari berbeda, Februari lalu. Mereka ditahan di satu pusat penahanan yang sama. Mereka datang bersama kilafah migran yang datang dari beberapa negara di Amerika Tengah.
“Perjalanan kami sangat berat, tidur di jalan. Kadang-kadang kami menemukan tempat beristirahat, namun seringkali tidak. Tetapi tidak pernah terlintas di pikiran kami untuk kembali ke tanah air. Kami hanya ingin pergi,” kata Jacobo Noel Turcio, perempuan transgender yang juga ditahan di perbatasan.
Kelompok itu ditahan di Pusat Penahanan Texas milik Badan Penegak Imigrasi dan Bea Cukai ICE hingga Ruby COrado, Direktur “Casa Ruby” – suatu LSM di Washington DC yang membantu korban aksi kekerasan – setuju untuk mensponsori kelompok itu.
“Kami sedang menangani 15 penyintas, yang bertahan dari kondisi buruk terhadap komunitas LGBTQI di negara-negara Amerika Tengah,” kata Direktur Eksekutif “Casa Ruby”, Larry Villegas Perez.
“Kami memberi mereka tempat tinggal, makanan, layanan kesehatan mental, perawatan HIV, proses identifikasi, akses pada layanan kesehatan, perumahan dan belajar bahasa Inggris,” kata Perez menambahkan.
Meskipun pemerintah Trump telah memperketat aturan untuk mengajukan permohonan suaka, sebagian besar kelompok ini berharap mereka masih dapat mendaftarkan diri.
Pengacara kasus imigrasi Diego Ferreyra menjelaskan via Skype, “jika mereka melarikan diri dari persekusi dan benar-benar memiliki alasan meninggalkan negara mereka karena ketakutan, maka mereka dapat mengajukan suaka. Tetapi sebagian dari mereka tidak memahami hak-hak itu.”
“Menyadari hak-hak untuk mendaftar jenis bantuan ini dan mampu mengidentifikasi serta mengakses sumber-sumber yang ada, merupakan tantangan tersendiri. Ini yang sering kami temui pada komunitas imigran ini,” papar Diego.
Sebagian diantara mereka justru khawatir dengan nasib mereka di Amerika jika tidak mendapat suaka.
“Pada satu kesempatan, kami diculik dan diperkosa oleh polisi. Kami dibawa ke satu tempat di mana mereka mengikat kami, dan kemudian meninggalkan kami disana,” tutur Perla.
Kelima belas perempuan transgender itu berhadap dapat tinggal di Amerika dan memulai kehidupan baru, jauh dari diskriminasi dan rasa takut berkelanjutan karena menjadi kelompok minoritas. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada proses hukum yang panjang, yang harus terlebih dahulu dilalui. [em]