Aksi buruh di depan Gedung Negara Grahadi diikuti oleh ratusan buruh dan pekerja dari sejumlah daerah di Jawa Timur, yang menyuarakan hak buruh terkait upah layak dan penghapusan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 Tahun 2015.
Hakim, perwakilan buruh dari Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) menyerukan penghapusan PP 78 Tahun 2015, yang tidak mendasarkan penghitungan penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Buruh juga mendesak penghapusan sistem kerja kontrak atau outsourcing, serta penghapusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang dinilai tidak berpihak pada buruh, “PP 78 Tahun 2015 terkait dengan kebijakan upah, itu adalah salah satu bentuk yang sangat bersentuhan dengan kami, karena kami punya undang-undang terus ditumpangi dengan PP ini. Ini sangat merugikan karena upah itu tidak ditentukan oleh inflasi. Upah itu berdasarkan survei kebutuhan layak. Nah ini, yang paling mendasar hari ini yang harusnya ini dicabut oleh negara, pemerintah khususnya. Ya PP 78 terkait dengan penetapan upah, terus terkait dengan buruh kontrak dan outsourcing, dan juga terkait dengan PHI.”
Tidak hanya buruh, aksi yang dikenal dengan May Day ini juga diikuti oleh sejumlah jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl menyerukan kepada jurnalis yang juga merupakan buruh untuk mau memperjuangkan hak-haknya yang selama ini banyak yang tidak diberikan oleh perusahaan media.
Sebagai kelas pekerja, Faridl mengajak jurnalis untuk memperjuangkan kesejahteraan jurnalis yang tidak jauh berbeda dengan nasib buruh pada umumnya. Konvergensi media yang telah banyak dilakukan perusahaan media, menjadikan jurnalis harus bekerja dengan banyak keahlian namun hanya mendapatkan upah tunggal.
“Sekarang kita mengenal era yang disebut sebagai industri 4.0 misalnya. Banyak orang yang menganggap era industri ini sebagai sebuah kemajuan teknologi, tapi kalau kita lihat sebenarnya isu ini sebagai penegas dari konvergensi media yang sudah dilakukan oleh banyak perusahaan media untuk mengeksploitasi tenaga kerja yang kita sebut sebagai jurnalis. Misalnya, ada banyak pekerjaan yang dilakukan satu jurnalis tapi mereka dibayar dengan upah tunggal. Misalnya mereka bekerja di plattform cetak tapi mereka diwajibkan menulis di online, mereka diwajibkan meng-upload video, bahkan mereka sekarang diwajibkan untuk membuat live video di medos-medsos seperti Facebook misalnya. Mereka bekerja tiga sampai empat pekerjaan berbeda tapi dibayar dengan upah tunggal. Ini yang kita sebut sebagai eksploitasi,” jelasnya.
Sementara itu, sejumlah buruh dari Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) mendesak pemerintah untuk merevisi PP 78 Tahun 2015, terutama dalam penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak yang berkualitas. Hal ini disampaikan Ketua Bidang Sektor Industri KRPI, Jamaludin, di Surabaya.
“Kita meminta kepada pemerintahan pak Jokowi untuk segera merevisi, sekarang kan sedang berproses antara timnya, pasalnya adalah di pasal 44 dan 45. Kita ke depan ingin agar pengupahan ini berbasiskan kepada KHL, kebutuhan hidup layak, survei komponen KHL yang lebih berkualitas, jadi kita kembali ke survei KHL dulu, kemudian dirundingkan di dalam lembaga dewan pengupahan.”
Dalam keterangan kepada media, KRPI juga menyuarakan komitmennya terhadap Trikarsa, yang merupakan intisari ajaran Soekarno, yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju, sejahtera, dan berkeadilan sosial. Jamaludin juga mendesak pemerintahan Presiden Jokowi agar merevisi peraturan pemerintah mengenai jaminan sosial bagi pekerja, terutama terkait dengan jaminan pensiun, kecelakaan kerja, kematian, dan jaminan kesehatan yang regulasinya perlu diperbaiki.
“Jadi kita tetap meminta kepada pemerintahan pak Jokowi ini untuk merevisi PP tentang jaminan pensiun, kemudian jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, maupun soal jaminan kesehatan. Jadi soal pensiun kita ingin ke depan ada perbaikan regulasi. Kalau soal outsourcing kita mendesak agar outsourcing ini tidak pada core bisnis, jadi dihapuslah,” kata Jamaludin.
Ketua Umum KRPI, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, banyak persoalan yang dihadapi para buruh hingga saat ini tidak lepas dari banyaknya masalah terkait kebijakan di sektor hulu. Rieke menyebut, sudah saatnya Indonesia memiliki Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang menjembatani dan menyatukan visi misi pembangunan Indonesia, sehingga pembangunan di sektor industri, perdagangan, ketenagakerjaan serta sektor kesejahteraanyang lain dapat menjadi satu kesatuan.
“Di sektor hulu, paling urgent adalah kita harus mempunyai Badan Riset dan Inovasi Nasional, sehingga kebijakan antara industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, juga dengan kebijakan pembangunan di sektor kesejahteraan yang lainnya, pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, juga di sektor pemerintahan. Bagaimana pemerintahan dari pusat hingga daerah diikat dalam satu visi misi pembangunan yang berbasis pada riset dan inovasi nasional kita sendiri,” papar Rieke. [pr/uh]